Sabtu, 25 Agustus 2012

Tentang Puasa Syawal



Syaikh Abdul Aziz bin Baz rohimahulloh ketika menjelaskan hadits keutamaan bulan syawal bahwa orang yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan syawal nilainya seperti berpuasa setahun penuh, karena puasa Ramadhan bernilai sama dengan puasa 10 bulan dan puasa syawal bernilai seperti puasa 2 bulan. (http://www.binbaz.org.sa/mat/20984)
.
1 bulan puasa Ramadhan x 10 = 10 bulan
6 hari puasa syawal x 10 = 60 hari = 2 bulan
Total = 12 bulan = 1 tahun
.
Sebagaimana dalam hadits Tsauban rodhiyallohu anhu:

من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها

“Barangsiapa berpuasa 6 hari setelah iedul fitri maka ia seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya.”

[HR Ibnu Majah no.1715, dll. Dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib wat Tarhib no. 1007]

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)


Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

Sumber :

ummushofi.wordpress.com
www.darussalaf.or.id
www.salafy.or.id

Jumat, 24 Agustus 2012

SANG PENCETAK GENERASI PERADABAN

   

Sejenak kupejamkan mata, menatap liarnya dunia dalam bayangan. Apa yang bisa kulakikan untuk melawan dunia yang telah di padati orang-orang lalim? Kamu terlalu kerdil cha… Sekali lagi, terlalu kerdil! lirih dalam benakku.

Ach, tetapi tidak, bukankah sepatutnya aku berbesar hati, lagi-lagi- karena aku seorang muslimah..?

Aku adalah pencetak generasi pembangun peradaban. Ya, aku seorang calon ibu. 

Dari rahim ini akan lahir manusia-manusia baru, yang aku didik dengan mengagumkan, dan mereka akan bertumbuh menjadi sosok yang juga mengagumkan. Insya Allah…

Pertanyaannya sekarang adalah, sudah sejauh mana persiapanku untuk membentuk generasi yang mengagumkan itu? Cukupkah hanya dengan duduk manis di teras rumah sambil sesekali bergosip dengan tetangga? Atau dengan selonjoran didepan tv sambil membuka majalah fashion? TIDAK. Tentu saja tidak cukup dengan itu. Dan justru aku  miris melihat para ibu yang mempunyai habit seperti itu.

Lalu bagaimana? Bisakah aku menjadi ibu yang baik, ibu yang handal, ibu yang mengagumkan…? Itulah yang aku cemaskan sejak awal. Menjadi seorang ibu adalah hal luar biasa, baik bahagianya maupun tanggung jawabnya. Aku merasa panas dingin jika mengingat-ngingat tentang ini. Mengemban amanah sebagai seorang ibu, seperti apakah rasanya? Bisakah aku melakukannya dengan baik…?

Ach, lalu seonggok pemikiran bermanuver di benakku, mengapa aku harus takut..? Allah telah membekaliku dengan bekal yang baik. Dari kisah para Ummahatul mukminin sebagai sosok muslimah-muslimah tangguh yang bisa aku ambil ibrahnya. Aku tinggal berazzam untuk menjadi ibu terbaik bagi anak-anakku kelak. Itu saja…

Lahir sebagai seorang wanita, aku tahu dan sadar betul bahwasannya wanita adalah madrasah pertama yang akan memformat generasi. Apa yang diterima anak maka itulah yang akan menentukan perjalanan hidupnya. Maka, wanita adalah orang pertama yang memberi kontribusi dalam kehidupan pemuda dan bangsa.

Dengan demikian sosok wanita adalah ujung tombak bagaimana nantinya teropong masa depan keberlangsungan umat dan sebuah geherasi suatu bangsa. Karena wanitalah yang nantinya akan melahirkan generasi-generasi penerus peradaban, yang nantinya akan membesarkan dan membimbing mereka dalam mengarungi beratnya kehidupan.

Nah, ini pun menjadi sebuah renungan bagiku dimana aku adalah termasuk sosok pencetak generasi peradaban ini dan tentunya untuk para wanita masa kini lainnya, teman-teman. Apakah kita sudah berusaha untuk meningkatkan kualitas diri kita agar nantinya dapat menciptakan kualitas generasi yang terbaik pula? Apakah kita sudah tahu bagaimana potensi kita untuk melaksanakan tugas berat ke depan sebagai pencetak generasi pemimpin peradaban? Yuk kita renungkan dalam diri kita masing-masing.

Sebuah bangsa yang maju adalah karena ada andil seorang wanita di belakangnya. Seharusnya sebagai seorang wanita, kita berhak bangga atas berbagai kesempatan dan potensi yang telah diberikan Allah untuk kita. Kita bisa melahirkan, kita bisa menjadi ibu bagi para pemimpin bangsa, kita juga bisa menjadi istri bagi para pejuang umat. Nah, lalu apa permasalahannya saat ini? Permasalahannya adalah dari wanitanya sendiri, teman-temanku. Para wanita saat ini, seakan telah melebur dalam kesibukan dunia sehingga seakan kehilangan kodratnya sebagai seorang wanita. Para wanita saat ini, seakan telah terperdaya oleh keegoisan diri sehingga tak lagi pernah peduli akan bagaimana nantinya masa depan umat ini. Mungkin tidak semua wanita saat ini seperti itu, tapi sebagian besar dari wanita saat ini memang seperti itu.

Sering mendengar kan, kasus seorang ABG yang menggugurkan kandungannya, mengaborsi, melakukan zinah dan berbagai hal maksiat lainnya. Sering mendengar juga kan, kasus seorang ibu yang membuang anaknya, ibu yang tidak peduli dengan anaknya sehingga anaknya menjadi brandal, ibu yang seluruh harinya hanya untuk bekerja di kantor, ibu yang kerjaannya setiap hari hanya menghabis-habiskan uang, pergi ke salon dan berfoya-foya.

Pasti juga sering mendengar kan, istri yang selingkuh di belakang suaminya, istri yang durhaka terhadap suami, istri yang tidak lagi mematuhi suami, dan hal mudharat lainnya. Nah, sekarang kita kaitkan kasus-kasus diatas dengan bobroknya pemimpin bangsa saat ini, merosotnya moral para umat saat ini. Banyak pemimpin yang korupsi, bertindak dzalim, melakukan kriminal moralitas, berzinah, dan maksiat lainnya. Pemimpin bangsa dan umat yang sebagian besar didominasi kaum adam merupakan korban dari bobroknya moral wanita yang berada di belakangnya. Percaya atau tidak, tapi kenyataannya memang seperti itu.

Tidakkah kita belajar dari sejarah, sahabatku…akan kesetiaan dan kemuliaan dari seorang Khadijah, akan ketinggian ilmu dan akhlak dari seorang Aisyah, akan kelembutan dan keindahan akhlak dari seorang Fatimah, dan akan kesabaran dan ketangguhan diri dari seorang Asiyah. Tidakkah kita merefleksikan mereka dalam kehidupan kita, teman? Sudah seharusnya kita para wanita muslim menjadi para penggerak wasiat sejarah ini. Sudah seharusnya kita para wanita mukmin menjadi tonggak berdirinya kemajuan umat dan bangsa ini.

Selama masih ada kita, maka harapan kita untuk menjadikan Islam sebagai peradaban akan terwujud. Oleh karena itu, jadilah wanita yang dirindukan Allah, jadilah wanita yang dicintai Allah, karena pada hakikatnya, wanita diberikan kenikmatan dan keindahan yang begitu banyak oleh Sang Maha Pencipta ini.

Semoga aku dan sahabat wanita semua termasuk wanita yang dipercaya Allah untuk menjadi seorang ibu. Ibu terbaik…! Agar setitik donor kebaikan bisa aku berikan untuk peradaban islam, melalui malaikat-malaikat kecil luar biasa yang kelak lahir dari rahimku. Aamiin.

Allahu’alambisshawwab…

Cha, Yogyakarta - 19 Ramadhan 1433 H

Kamis, 23 Agustus 2012

Inilah LELAKI IDAMAN-MU Saudariku...

ilustrasi saja
Oleh : Abie Sabiella dari ummuafif.com

Ada seorang akhwat yang mengatakan ingin mendapatkan suami yang punya penghasilan yang mapan, gagah, bermata teduh, tegap, tampan, senyumnya menawan, berhidung mancung dan… stop! Ukht, anti mau cari calon suami apa mau audisi bintang sinetron?

Seorang pendamping yang ideal tidak bisa dinilai dari segi fisik atau materi saja, walau memang lelaki yang “ganteng” mampu menyejukkan pandangan mata, namun apa artinya kalau mata sejuk namun hati jadi biru lebam, walaupun suami yang kaya raya mampu membelikan segala yang engkau inginkan, tapi mampukah dia membelikan surga buatmu?

Jawabannya adalah “Tidak”! wahai saudariku, bukankah engkau menginginkan kebahagiaan yang tiada akhirnya, bukankah kasih sayang dan kelembutan yang selama ini menjadi impianmu.

Lelaki ideal memang susah dicari, namun bukan hanya “bentuk ideal” yang mampu membuatmu bahagia dan mengantarkanmu menuju rumah tangga yang sakinah, lelaki ideal memang sebuah harapan, namun kadang sebuah harapan yang terpenuhi tak mampu menghadirkan indahnya bahtera rumah tangga.

Sosok ideal seperti gambaran di atas memang telah menjadi patokan dan syarat di sebagian besar akhwat (kalau mau jujur), selain alasan agar sejuk dilihat dan tidak membosankan pandangan, alasan lain adalah agar tidak memalukan di hadapan umahat yang lain kelak! Duhai kasihan saudaraku para ikhwan yang tidak masuk kriteria ini, dan juga penulis mungkin tidak bisa memenuhi syarat-syarat ini, namun sebuah realita dan kenyataan yang ada di lapangan tetap sebuah fakta.

Kenyataan yang terjadi bahwa para ikhwan juga bukan pelanggan tempat-tempat fitness, seorang ikhwan pernah menyampaikan, “yaa akhi mau olah raga yang paling murah lari pagi dan jalan kaki banyak fitnah pandangan mata, kalau malam memang sepi tapi takut dikira maling atau teroris, atau malah kena paru-paru basah!” Ishbir ya akhi, tidak sampai sebegitunya juga kok, meski artikel ini penulis tujukan buat akhwat yang mau cari suami, buat ikhwan yang sedang mau cari belahan hidup juga bisa dipakai sebagai introspeksi apakah sudah memiliki kriteria berikut ini…

PERTAMA : Dia adalah seorang laki-laki yang taat beragama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “…Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (Al Baqarah : 221)

Diharapkan sekali menjadi syarat nomor wahid untuk calon suami idaman (selain sudah muslim tentunya) adalah seorang laki-laki yang taat dan memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala, karena seorang calon suami seperti ini telah memenuhi syarat menjadi calon pemimpin rumah tangga, dengan ilmu agama yang ia miliki dan bekal keimanan-nya, sangat diharapkan calon suami seperti ini mampu mendidik anak dan istrinya kelak menjadi seorang yang shalih dan shalihah, menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang taat pula, sehingga keharmonisan dan tersusunnya suatu rumah tangga yang sakinah bisa (insya Allah) diwujudkan.

KEDUA : Dia adalah orang yang hafal atau mengerti sebagian dari Al-Qur’an : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seseorang dengan (mahar) beberapa ayat Al-Qur’an yang ia hafal. [HR. Al-Bukhari (5029), dan Muslim (1425)]

Seorang calon suami yang banyak memiliki hafalan Al-Qur’an merupakan calon pasangan yang ideal bagi seorang wanita yang shalihah, seorang calon pemimpin rumah tangga yang ideal tentunya harus saggup mengajarkan Al-Qur’an kepada keluarganya kelak, menjaga hafalan dan bacaan Al-Qur’an anak dan istrinya, apalagi jika sang calon suami juga memahami tafsir ayat dari hafalan Al-Qur’annya, sehingga bisa menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan rumah tangga kesehariannya.

KETIGA : Dia adalah seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah (nafkah) dengan kedua macamnya, yaitu kemampuan untuk berjima’, dan kemampuan untuk memberikan pembiayaan nikah juga biaya hidup.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah ketika mereka mampu memenuhi ba-ah, dan beliau juga berkata kepada Fathimah binti Qais : “Adapun Mu’awiyah adalah seorang laki-laki yang fakir.” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Walaupun kaya raya bukan merupakan syarat, namun tetap diharapkan seorang ikhwan memiliki pekerjaan yang mampu dia gunakan untuk biaya pernikahannya dan untuk menghidupi anak-istrinya, walaupun tiap tahun menjadi “kontraktor” (tukang kontrak rumah-red), sudah dianggap mampu untuk memulai kehidupan rumah tangga, selain mampu memberikan kebutuhan biologis pada istrinya (bukan laki-laki yang impoten), sangat diharapkan untuk sebuah rumah tangga tidak dimulai dengan kehidupan menumpang orang tua (Pondok Mertua Indah).

KEEMPAT : Dia adalah seorang laki-laki yang lemah lembut kepada wanita : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Abu Jahm : “Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), maka nikahilah Usamah.” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Hendaklah ada pada diri seorang calon suami sifat lembut dan romantis, karena akan semakin menambah mekarnya bunga-bunga cinta dalam rumah tangga, sehingga seorang wanita bisa benar-benar merasakan ketentraman dalam hidup berumah tangga, seorang calon suami hendaknya seseorang yang mampu tampil bijak dan mampu menahan amarah ketika melihat suatu hal yang tidak mengenakkan hatinya pada istrinya. Seorang calon suami idaman adalah laki-laki yang mampu tampil sebagai pengayom dalam rumah tangganya, juga seorang laki-laki yang pandai menumbuhkan suasana tentram dalam rumah, tidak suka teriak-teriak dan tukang marah, seorang laki-laki yang santun tutur kata dan penuh kasing saying kepada istrinya kelak.

KELIMA : Istrinya senang melihatnya, sehingga di antara keduanya tidak ada kerenggangan dan si wanita tidak ingkar ketika hidup bersamanya. Dalam hal ini memang seorang laki-laki mampu menjaga penampilan dan badannya, sebagaimana seorang ikhwan mengharapkan calon istri yang semampai, begitu juga seorang akhwat ingin mendapatkan seorang calon suami yang memiliki postur ideal (tidak mesti harus tampan seperti bintang sinetron), maksudnya, hendaknya seorang ikhwan tidak membiasakan diri punya perut yang gemuk sehingga tidak enak dipandang, kemudian hendaknya ikhwan menjaga bau tubuhnya agar selalu tampil menyenangkan saat di hadapan istri, potongan rambut juga jangan acak-acakan seenaknya, mengenakan pakaian taqwa dengan baik dan rapi, maka akan menampilkan sosok berwibawa dan sejuk dilihat.

Perkara wajah (tampang) dalam hal ini relatif, tergantung dari pihak calon istri ketika nazhar (melihat calon istri / suami), namun kami nasihatkan kepada ukhti fillah agar tidak hanya melihat ketampanan fisik kemudian melupakan akhlak calon suami, dan ada sebuah tips kecil bagi akhwat yang kurang berkenan ketika nazhar “bahwa cinta bisa mudah tumbuh ketika calon suami memiliki akhlak yang mulia”

KEENAM : Dia adalah seorang laki-laki yang tidak mandul. Hal ini karena adanya riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan keturunan kecuali jika ada beberapa faktor pendukung untuk menikah dengannya.

Buah pernikahan adalah dengan hadirnya anak-anak yang bisa menyejukkan pandangan dalam rumah tangga, sangat diharapkan akan muncul benih-benih yang shalih dan shalihah dalam sebuah pernikahan seorang muslim dengan muslimah, namun jika ada kondisi lain yang tidak memungkinkan menjadi pengecualian bagi seorang muslimah yang berbesar hati untuk menikah dengan seorang lelaki yang mandul namun memiliki akhlak yang mulia, namun hendaknya hal ini disampaikan pada saat proses khitbah agar diketahui kekurangan masing-masing pihak dan tidak ada unsur penipuan dalam pernikahan.

KETUJUH : Berasal dari lingkungan yang mulia, Al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia seperti barang tambang emas dan perak. Yang terbaik dari mereka pada masa jahiliyah adalah yang terbaik pula pada masa Islam apabila mereka berilmu.”

Lingkungan kadang berpengaruh besar terhadap akhlak seseorang, maka pilihlah calon suami yang memiliki pergaulan yang syar’i, bukan laki-laki yang suka nongkrong di pinggir jalan atau laki-laki yang gemar berpesta serta suka bergaul dengan sembarang orang, namun carilah seorang calon suami yang gemar menghadiri ta’lim-ta’lim yang mengajarkan Islam yang syar’i dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dari pergaulan yang mulia ini diharapkan mampu muncul sosok yang bersih dan jauh dari bisikan-bisian maksiyat.

Demikianlah wahai ukhti fillah, termasuk beberapa kriteria seorang lelaki idaman, dan penulis telah banyak bertemu dengan ikhwan-ikhwan yang memenuhi semua criteria di atas, jadi bagi ukhti fillah yang sudah siap menikah tidak susah untuk mendapatkan calon pendamping idaman, banyak ikhwan yang berakhlak mulia siap untuk mendampingimu, (afwan penulis tidak membuka kontak jodoh), namun rumah tangga yang sakinah tidak bisa dibeli dengan harta yang berlimpah atau dengan wajah bak bintang film laga, bisa jadi mereka yang bercelana “cingkrang” walau tidak kebanjiran, atau mereka yang berjenggot tipis walau tidak berhidung mancung seperti orang arab (maklum ras asia), atau juga mereka yang berbaju gamis dan suka menundukkan pandangan saat berjalan di tempat umum (walau kadang sering tidak sengaja nabrak rambu-rambu jalan) adalah calon suami yang engkau cari… Mau...?
 


Rabu, 22 Agustus 2012

KARENA TAKDIR ALLAH begitu BAIK

by: mjar

Jika kita pandang dari satu sisi mungkin terasa tidak enak.
Namun coba kita pandang dari sisi lain, ALLAH punya maksud lain yang terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit (yang terus menimpa), kehawatiran dan kesedihan, juga gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya; melainkan ALLAH akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” [HR. Bukhari]

Perhatikanlah janji ALLAH…
Dosa-dosa akan berguguran satu demi satu, jadi tidak perlu bersedih; “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (lihat, al-Insyiraah: 5)

Jadi, tidak perlu juga gelisah; “Sesungguhnya pertolongan akan datang bersama kesabaran.” [HR. Ahmad - sahih]

Jalan keluar begitu dekat bagi orang yang bertakwa.
Pertolongan mudah datang jika seseorang bersabar.
Jagalah hati, lisan dan anggota badan dari berkeluh kesah.
Ridhalah dengan takdir Ilahi.
Jadikan sabar sebagai jalan meraih pertolongan.

Musibah semakin mendewasakan diri.
Musibah semakin meninggikan derajat di sisi ALLAH.
Musibah semakin menguji iman seseorang.

Semoga ALLAH menjadikan badai cepat berlalu.
Semoga ALLAH menjadikan diri kita menjadi orang yang bersabar.
Semoga ALLAH membalas orang yang bersabar dengan JANNATUL FIRDAUS.

Amin...

Jumat, 17 Agustus 2012

Makna Ucapan “Minal ‘Aidin wal Faizin”



Ketika hari ‘Iedul Fithri tiba biasanya setelah menunaikan Shalat ‘Ied atau ketika saling mengunjungi ke rumah saudara atau tetangga, di antara kaum muslimin saling mengucapkan “Minal ‘Aaidiin, wal Faaiziin, Mohon Maaf, Lahir dan Batin.”

Seakan-akan ucapan di atas adalah bait pantun yang dua kalimat terakhir merupakan arti dari dua kalimat yang pertama. Berikut penjelasan ringkasnya.

Al ‘Aaidu artinya adalah orang yang kembali, merupakan bentuk pelaku (fa’il) dari kata kerja (fi’il) ‘Aada yang artinya telah kembali. Sedangkan Al ‘Aaiduuna merupakan bentuk jamak (jamak mudzakkar salim) dari Al ‘Aaidu yang artinya menjadi orang-orang yang kembali.

Al Faaizu artinya adalah orang yang menang, merupakan bentuk pelaku (fa’il) dari kata kerja (fi’il) Faaza yang artinya telah menang, sedangkan Al Faaizuuna merupakan bentuk jamak (jamak mudzakkar salim) dari Al Faaizu yang artinya menjadi orang-orang yang menang.

Al ‘Aaiduuna dan Al Faaizuuna karena kemasukan huruf jar min, sehingga menjadi majrur. Karena kedua kata tersebut termasuk jenis jamak mudzakkar salim, maka ketika majrur wawu sukun diganti dengan ya’ sukun. Sehingga menjadi Al ‘Aaidiina dan Al Faaiziina.

Dalam kalimat lengkapnya menjadi, “Min Al ‘Aaidiina wa Al Faaiziina”.
Jika ada huruf yang berharokat sukun yang setelahnya ada alif lam dan sebelumnya berharokat kasroh, untuk memudahkan pembacaan maka huruf yang berharokat sukun tadi diberi harokat fathah.
Contoh : min al ‘aaidiina dibaca menjadi minal ‘aaidiina.

Dan jika ada hamzah washol, maka ketika di awal kalimat maka cara membacanya diberi harokat tergantung katanya, bisa fathah atau kasroh. Tapi jika berada di tengah kalimat maka cara membacanya dianggap tidak ada.

Contoh :
- Jika di awal kalimat maka dibaca al ‘aaidiina, hamzahnya berharokat fathah.
- Jika di tengah maka dibaca minal ‘aaidiina, hamzahnya dianggap tidak ada.

Jamak mudzakkar salim dalam keadaan majrur jika diwaqafkan, maka huruf nun-nya diberi harokat sukun.
Contoh : al ‘aaidiina ketika disukun maka dibaca menjadi al ‘aaidiin.
Sehingga bisa dibaca menjadi : “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin”.

Jika diartikan perkata maka :
- Min artinya dari
- Al ‘Aaidiin artinya orang-orang yang kembali
- Wa artinya dan
- Al Faaiziin artinya orang-orang yang menang.

Sehingga arti lengkapnya : “Dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang”.
Pengartian tersebut masih susah dimengerti, sehingga bisa diartikan menjadi: “(Semoga kamu) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.”

Atau mungkin diawali dengan Ja’alanallahu (Semoga Allah menjadikan kita), sehingga menjadi: “Ja’alanallahu minal ‘Aaidiin wal Faaiziin”.

Di sana ada ucapan lain yang diucapkan ketika saling bertemu di hari ‘ied, yaitu “Taqabbalallahu minnaa wa minka” yang artinya “Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan darimu”. Ucapan ini adalah ucapan yang diucapkan oleh para shahabat ketika mereka saling bertemu pada hari ‘ied.

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (2/446) : Dalam Al Mahamiliyat dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata : “Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya, “Taqabbalallahu minnaa wa minka” (Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan darimu).”

Sehingga ucapan “Taqabbalallahu minnaa wa minka” lebih utama daripada ucapan “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin”, dikarenakan ucapan “Taqabbalallahu minnaa wa minka” telah dicontohkan oleh para shahabat ketika mereka saling bertemu pada hari raya. Dan sebaik-baik contoh adalah apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Jika kita bertemu dengan orang lain ketika hari ‘ied maka ucapkanlah 

 تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم

 “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253]

“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم

Taqabbalallahu minnaa wa minkum...
“Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”

Berkata Al Haafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari (amalan) kami dan darimu)”.

Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”

Sehingga kita bukan termasuk seperti orang-orang yang telah disinggung Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmanNya,

“Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah : 61)

Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan itu hanya ‘urf (kebiasaan/adat istiadat setempat) saja, sehingga boleh mengatakan “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin” atau “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”.


Tahukah Anda bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?

Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam makna kata per kata seperti di pembahasan di atas.[dinukil dari: http://jalansutera.com]

“Dari sisi penggunaan lafazh, seseorang lebih bagus menggunakan kalimat-kalimat yang dipakai di kalangan shahabat atau tabi’in daripada menggunakan kalimat yang lainnya. Tapi ini penggunaannya bukan sunnah, itu cuma kebiasaan. Kalau misalnya kebiasaannya dia mengucapkan “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin” maka tidak mengapa. Tapi hal-hal yang bersifat kebiasaan, harusnya tidak dilakukan terus-menerus sehingga kadang seseorang menganggapnya sebagai hal yang disyari’atkan.”

Wallohu a’lam.


Sumber: 
http://farisna.wordpress.com/2011/08/18/makna-ucapan-minal-aidin-wal-faizin/
http://www.almanhaj.or.id/content/1177/slash/0]

Ramadhan Akan Berlalu…dan, Meninggalkan Kita…




Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan. Dan Jum'at kita kali ini adalah Jum'at terakhir di bulan yang penuh barakah dan ampunan ini.. Sekarang kita telah berada di penghujung Ramadhan, yang artinya tinggal beberapa hari lagi bulan suci ini akan akan meninggalkan kita.

Sedih, pilu merasuki setiap jiwa hamba – hamba beriman, karena kesempatan untuk meraih pahala sebanyak – banyaknya akan segera berakhir dan di tutup, dan akan di buka kembali pada tahun berikutnya, Ramadhan PASTI akan kembali, yang menjadi persoalan adalah akankah kita dapat menemuinya kembali…? L

Fenomena masyarakat jika kita perhatikan, sebagian mereka bahkan telah disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah berganti cat. Baju baru dan makanan enak juga telah siap.

Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa sekarang ini.

Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.

Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya.

Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan?

قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ

Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakam pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu... (HR. Ahmad)

Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?

Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan telah pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orangorang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.

Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah Shalallahualaihi wassalam bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.

بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani)

Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Wahai Rabb kami... terimalah puasa kami, shalat kami, ruku' kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah Subhanahu wata’ala. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.

Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di muka, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beriktikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beriktikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.

Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.

Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-Nya, berduaan dan bermesraan dalam khusyu'nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat.

Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama Ramadhan kali ini diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada-Nya.
Semoga kita termasuk orang yang dirahmati ALLAH,…

Namun demikian, sebaiknya kita tidak terlalu larut dalam kegembiraan hari raya. Karena setelah ini kita harus melakukan instrospeksi. 
Kita evaluasi total, adakah target Ramadhan kita tahun ini telah tercapai..? 
Seberapa besar perolehan nilai-nilai ketaqwaan yang berhasil kita raih..? 
Sejauh mana rangkaian ibadah Ramadhan yang baru saja kita jalani telah mengubah diri kita menjadi sosok pribadi yang bertaqwa..?
Seberapa besar pengaruh tarbiyah Ramadhan terhadap perubahan sikap dan perilaku kita..? 
Seberapa besar potensi ketaqwaan yang selama ini tersembunyi berhasil kita angkat ke permukaan..?

Semoga kita di pertemukan kembali pada Ramadhan tahun depan…

Selamat Idul Fitri 1433 H

Taqabbalallahu minna waminkum…

Jum’at,  29 Ramadhan 1433 H
Abie Sabiella

Minggu, 12 Agustus 2012

Ikhwal Fidyah



Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan

Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala :

( (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين ) البقرة : 184

‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. ” [Al-Baqarah : 184]

1. Orang yang sudah lanjut usia. 

Orang yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma , :

ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.

Shahabat Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. ” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata : “Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum (pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505]

2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya

Seorang yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma , beliau juga berkata tentang ayat di atas :

لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى

“Tidaklah diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. [An-Nasa`i] [1])

3. Wanita hamil dan menyusui. 

Para ‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa beliau jilid 1 hal. 497-498. 

Sedangkan permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :
Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya. 

Dalil Pendapat Pertama ini adalah :

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

( فمن كان منكم مريضا ) البقرة: ١٨٤

“…Barang siapa dalam kondisi sakit …” Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui. 

2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه الخمسة)

“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil dan menyusui. ” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad]. ([2])

Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir. 

Pendapat ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Bin Baz [3]), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin [4]), dan Al-Lajnah Ad-Da`imah [5])

Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, wajib atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`. 

Di antara dalil mereka yaitu :
1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]

“Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud] [6])

2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا

(Ibnu Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai berkata : kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qadha` bagi keduanya. [Ath-Thabari] [7]) Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

“Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu. ” [Ath-Thabari] [8])

Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas h oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250). 

3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي

“Wanita hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya. ”

Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani radhiyallahu ‘anhu. [9])
Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya. 

Namun apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.
Di antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147. [10])

Dari tiga pendapat di atas, kami lebih meyakini pendapat kedua sebagai pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pendapat ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh dua shahabat terkemuka, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebagai turjuman dan mufassir Al-Qur`an, dan ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma

 wallahu ta’ala a’lam. 

_____________________________________
[1] HR. An-Nasa`i no. 2317. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni (2404) dengan lafazh :

وَلاَ يُرَخَّصُ إِلاَّ لِلْكَبِيرِ الَّذِى لاَ يُطِيقُ الصَّوْمَ أَوْ مَرِيضٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُشْفَى.

“Tidaklah dizinkan (untuk membayar fidyah dalam ayat tersebut) kecuali untuk orang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu bershaum atau seorang yang sakit dalam keadaan dia tahu bahwa penyakitnya sulit disembuhkan. ” Atsar tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh dalam Al-Irwa` IV/17
[2] Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shohih Sunan Abu Daud no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush Shohih jilid 2 hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan.
[3] Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam hal. 171
[4] Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin
[5] Fatawa Al-Lajnah no. 1453.
[6] HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 912.
[7] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` IV/19.
[8] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` IV/19.
[9] Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17 - 25.
[10] Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 - 326.

www. assalafy. org/mahad/?p=354#more-354 sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Redaksi Assalafy. org

Jumat, 10 Agustus 2012

Sifat Shalat Hari Raya Rasulullah Shalallahualaihi wassalam

Pengertian Idul Fitri

Kalimat “Ied” secara bahasa artinya setiap hari yang didalamnya ada perkumpulan, diambil dari kata (عاد-يعود) yang artinya kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali kepadanya. Ada pula yang mengatakan diambil dari kata (العادة) yang berarti adat atau kebiasaan, karena mereka menjadikannya sebuah kebiasaan. Ibnul Manzhur berkata, “Dinamakan dengan “Ied” karena setiap tahun kembali dengan kegembiraan yang baru.”

Secara istilah, Ied dinamakan dengan nama ini karena milik Allah-lah pada hari itu segala macam kebaikan, yakni berbagai macam kebaikan yang kembali kepada hamba-hamba-Nya dalam setiap hari, di antaranya kebolehan berbuka (menyantap makanan dan minuman) setelah sebelumnya dilarang, zakat fitri, dan karena kebiasaan pada hari itu penuh dengan kebahagiaan, kegembiraan dan kesenangan nikmat. Jadi Idul Fitri adalah hari kembali berbuka atau hari makan-makan, setelah sebulan penuh sebelumnya melakukan ibadah shaum.

Adapun mengartikan Idul Fitri dengan kembali suci atau kembali kepada fitrah dalah sebuah kekeliruan yang fatal dan bertentangan dengan hadits-hadits yang menerangkan bahwa Idul Fitri adalah kembali berbuka, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shaum adalah hari ketika kalian melakukan ibadah shaum, Al-Fithru adalah hari ketika kalian berbuka, dan Al-Adha adalah hari ketika kalian menyembelih binatang udhiyah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).


Shalat Idul Fitri

A. Waktu Pelaksanaannya

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim mengatakan, “Disyariatkannya shalat Ied tatkala matahari sudah naik setinggi dua tombak dan berakhir apabila matahari telah tergelincir, dan diutamakan shalat Idul Adha pada awal waktu, hal itu agar manusia bersegera menyembelih binatang-binatang udhiyah mereka, sedangkan shalat Idul Fitri agak diperlambat agar manusia dapat mengeluarkan zakat fitri mereka.”

Dari Jundub –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Rasulullah saw shalat Idul Fitri bersama kami sedang matahari tingginya kira-kira dua tombak dan Idul Adha sedang matahari tingginya kira-kira satu tombak.”

B. Disyariatkannya Shalat Idul Fitri

Shalat Idul Fitri disyariatkan pada tahun pertama hijriyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Rasulullah saw datang ke Madinah sementara penduduknya memiliki dua hari raya dan mereka bersenang-senang di dalamnya pada masa Jahiliyyah, maka beliau saw bersabda,
“Sesunggunya Allah swt telah mengganti untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu, yaitu hari Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud, no. 1134).

C. Hukum Shalat `Ied

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat `Ied.
1. Asy-Syafiiyyah berpendapat bahwa shalat `Ied hukumnya adalah fardhu kifayah.
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat `Ied hukumnya adalah fardhu `ain.
3. Abu Musa dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat `Ied hukumnya adalah sunnah muakkadah bukan wajib.

Dari ketiga pendapat di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Majmu` Fatawa mengatakan, “Kami menguatkan pendapat bahwa shalat `Ied hukumnya fardhu `ain sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan selainnya. Ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Syafii dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal.”

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar ia berkata, “Ketahuilah bahwasanya Rasulullah saw terus-menerus melaksanakan dua shalat `Ied dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk melaksanakannya hingga menyuruh para wanita merdeka, para gadis, dan para wanita haid untuk keluar, beliau menyuruh wanita-wanita haid agar menjauhi tempat shalat dan apabila shalat `Ied telah selesai mereka mendekat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin, bahkan beliau saw menyuruh wanita yang tidak memiliki hijab (jilbab) agar dipinjami oleh saudaranya.”

Diantara dalil lain yang menunjukkanwajibnya shalat `Ied adalah karena shalat `Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum`at, apabila hari `Ied bertepatan dengan hari Jum`at, karena sesuatu yang sunnah tidak mungkin menggugurkan sebuah kewajiban. Dan sesungguhnya telah jelas bahwa Rasulullah saw terus-menerus melaksanakan shalat `Ied dengan berjamaah sejak disyariatkannya sampai beliau meninggal dunia.

Adab-adab Shalat Idul Fitri

1. Hendaknya terlebih dahulu mandi sebelum melaksanakan shalat `Ied.
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Adalah Rasulullah saw biasa mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah, no. 1315).

Ibnu Qudamah –rahimahullah dalam Al-Mughni berkata, “Disunnahkan untuk bersuci dan mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.”

2. Makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fitri.
Disunnahkan memakan beberapa biji kurma dengan jumlah yang ganjil sebelum pergi melaksanakan shalat Idul Fitri, dan menangguhkan makan pada hari raya Idul Adha hingga kembali pulang, kemudian baru memakan daging udhiyah.

Dari Buraidah –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Rasulullah saw tidak keluar pada hari raya Idul Fitri hingga beliau makan terlebih dahulu, sedangkan pada hari raya Idul Adha beliau tidak makan hingga kembali dari mushalla, lalu beliau makan dari daging udhiyah itu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 542).

3. Mengenakan pakaian yang indah dan wewangian.
Imam Asy-Syafii meriwayatkan, “Bahwasanya Rasulullah saw mengenakan burdah (jubah) yang indah pada setiap hari raya.”

Ibnul Qayyim –rahimahullah- menyatakan, “Adalah Rasulullah saw senantiasa mengenakan pakaian yang indah saat keluar untuk shalat `Ied, dan beliau memiliki pakaian khusus yang hanya dikenakan pada shalat `Ied dan shalat Jum`at. Kadang-kadang beliau memakai dua burdah berwarna hijau dan kadang-kadang burdah berwarna merah. Dan bukan merah sebagaimana yang disangka oleh sebagian manusia, warna merah itu hanya berupa garis-garis seperti model kain Yaman. Disebut merah karena ada warna merah pada burdah tersebut. Dan telah shahih hadits yang menjelaskan tentang larangan untuk memakai pakaian berwarna kuning dan merah menyala.” (Zaadul Ma`ad, 1/426).

4. Menghadiri shalat `Ied dengan berjalan kaki.
Dari Ibnu Umar –radhiyallahu `anhu- ia berkata,
“Rasulullah saw keluar untuk shalat `Ied dengan berjalan kaki dan pulang dengan berjalan kaki pula.” (HR. Ibnu Majah, no. 1295).

Imam Asy-Syafii berkata, “Aku senang tidak mengendarai kendaraan baik dalam shalat `Ied maupun dalam mengantar jenazah, kecuali jika ia lemah untuk mendatanginya dengan berjalan kaki, baik itu laki-laki maupun wanita, maka tidak mengapa kalau ia berkendaraan dan kalaupun ia berkendaraan tanpa sebab maka tidak ada dosa atasnya.” (Al-Umm, 1/233).

5. Shalat `Ied di mushalla (lapangan).
Dari Abu Sa`id Al-Khudri –radhiyallahu `anha- ia berkata,
“Raslullah saw biasa keluar menuju mushalla (lapangan) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.” (HR. Al-Bukhari, no. 959 dan Muslim, no. 889).
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata, “Rasulullah saw senantiasa shalat `Ied di mushallah yaitu di pintu gerbang Madinah bagian timur. Dan beliau tidak pernah shalat `Ied di masjid kecuali hanya sekali saja itupun karena turun hujan pada waktu itu.”

Sesungguhnya melaksanakan shalat `Ied di mushalla memiliki hikmah yang sangat besar, di antaranya setidaknya kaum muslimin bisa berkumpul bersama dua kali dalam setahun. Semua kaum muslimin di berbagai penjuru dunia berkumpul pada satu tempat, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Mereka semua menghadap Allah swt dengan hati penuh konsentrasi, dikumpulkan dalam satu kalimat yaitu kalimat tauhid, shalat di belakang seorang imam, menggemakan takbir, tahmid, tahlil, dan berdoa kepada Allah swt dengan penuh ikhlas. Seakan-akan hati mereka terikat menjadi satu, merasa bahagia dan mensyukuri nikmat Allah Ta`ala yang dilimpahkan kepada mereka, hari raya benar-benar memiliki makna yang agung bagi mereka. (Qaulul Mubin, hal. 405-406).

6. Mendengarkan khutbah `Ied.
Menghadiri khutbah `Ied tidaklah wajib sebagaimana menghadiri shalat `Ied. Dari Abdullah bin Saib –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Aku menghadiri `Ied bersama Rasulullah saw, ketika selesai shalat `Ied beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah, dan barangsiapa yang hendak pergi maka pergilah.” (HR. Abu Dawud, no. 1155).

7. Menempuh jalan yang berbeda.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pada shalat `Ied disunnahkan menempuh jalan yang berlainan ketika pergi dan pulang, baik itu imam maupun makmum, laki-laki maupun wanita. Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir –radhiyallahu `anhu- ia berkata, 

“Adalah Rasulullah saw menempuh pada hari `Ied menempuh jalan yang berlainan.” (HR. Al-Bukhari, no. 986).

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata, “Hikmahnya adalah agar beliau saw dapat membeli salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada juga yang berpendapat agar mendapatkan berkah dari dua jalan tersebut. Ada juga yang mengatakan agar beliau dapat memenuhi hajat orang-orang yang butuh kepada beliau pada dua jalan itu. Dan ada juga yang mengatakan agar dapat menampakkan syiar-syiar Islam, dan inilah yang benar.” (Zaadul Ma`ad, 1/449).

8. Menggemakan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil.
Allah swt berfirman,

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

9. Tahni’ah (ucapan selamat pada raya).
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Para sahabat Rasulullah saw bila bertemu pada hari raya, maka sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain; Taqabbalallahu Minnah wa Minkum yang berarti semoga Allah swt menerima amal dari kami dan dari kamu.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- pernah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya, maka beliau menjawab, “Ucapan selamat pada hari raya apabila salah seorang bertemu dengan yang lain mereka mengucapkan; Taqabbalallahu Minna wa Minkum.” (Majmu` Fatawa, 2/253).

Ibnu Qudamah –rahimahullah- menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili dan sejumlah sahabat Rasulullah saw lainnya, adalah mereka apabila kembali dari shalat `Ied berkata sebagian mereka kepada sebagian yang lain; Taqabbalallahu Minna wa Minkum.”

Wallahu A`lam bish Shawab


Referensi:
1. Zaadul Ma`ad, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
2. Al-Umm, Imam Asy-Syafii.
3. Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.
            4. Dll