Kamis, 27 Juni 2013

Safar akan membuka jati diri seseorang


Safar akan membuka jati diri seseorang…,
Ya, seperti itulah yang pernah penulis ketahui dari penjelasan – penjelasan para pendakwah, karena memang kalau kita lihat makna dari kata “Safar” itu sendiri salah satunya adalah bermakna “membuka” (as-safaru–safran).

Berikut pengertian as-safar السَّفَرُ yaitu memisahkan diri dari negeri. Seseorang keluar dari negerinya menuju ke negeri yang lain. Disebut safran سَفْرًا lantaran terambil dari makna al-isfar الْإِسْفَارُ yang mengandung pengertian keluar dan terang, nyata. Seperti disebutkan dalam ungkapan أَسْفَرَ الصُّبْحُ yang bermakna bersinar atau bercahaya. Ada yang menyebutkan pula bahwa secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar (bepergian) bersamanya. Ketika dalam safar itulah jati diri senyatanya, yaitu perangai dan wataknya bisa diketahui.

Di antara watak atau karakter yang sering dan mudah terlihat pada saat safar di antaranya soal mempertahankan kesabaran. Ketika di negerinya mungkin seseorang terlihat sabar dan mudah menerima keadaan, namun ketika dalam safar bisa jadi ia tidak mampu mempertahankan kesabarannya, karena banyak factor yang melatarbelakanginya, missal; kondisi fisik yang terlalu lelah, hati yang tidak tenang atau tertekan perasaannya karena melihat hal – hal yang ia tidak sukainya dalam safarnya itu.

Namun sesungguhnya dapat kita simpulkan sejatinya ia seperti itulah karakter sesungguhnya yang ia miliki. Sabar di saat tenang, nyaaman damun tidak ketika ia mendapatkan sedikit tekanan.
Karakter lain dapat kita lihat pula ketika kita bersafar secara berjamaah (berkelompok atau Group) maka akan nyata sekali karakter – karakter yang akan bermunculan pada saat itu. Misal; ada orang yang punya karakter sukanya minta hak – haknya saja tapi tidak mau tahu dengan kewajibannya sebagai peserta dalam group perjalanan tersebut.  Namu ada pula karakter – karakter yang menyenangkan, tipe – tipe karakter sahabat sejati, dan dalam perjalanan (safar) kali inipun aku menemukannya. Tipe inilah yang menjadikan perjalanan menjadi sebuah khafilah Rahmah, sebuah komunitas solid yang mampu menghadapi segala rintangan yang ada dalam sebuah ekspedisi. Singkatnya dari sebuah perjalanan kita mampu mengenali berbagai karakter manusia dan bisa mengambilnya sebagai pelajaran penting dalam kehidupan kita, karena dengan mengenali berbagai karakter dari banyak orang kita akan mampu bersikap bijak, mampu menerima banyaknya perbedaan serta terlebih penting kita mampu mengenali karakter – karakter yang tidak menguntungkan kita dan mampu terhindar darinya dan kita bisa berhati hati terhadapnya.

Tak mengherankan bila kemudian Umar bin Al-Khaththab Radhiallahu’an apabila ada seseorang yang merekomendasikan temannya, lantas Umar Radhiallahu’an bertanya: “Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar Radhiallahu’an pun menerimanya. Jika jawabannya “Belum pernah”, maka Umar Radhiallahu’an akan mengatakan, “Engkau belum mengetahui jati diri senyatanya tentang orang itu.” (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, 2/1214)

Bagi sebagian orang, bepergian adalah satu aktivitas biasa. Bepergian dianggap sebagai bagian dari rutinitas dalam hidupnya. Ini bisa terjadi manakala skala aktivitasnya sudah tidak lagi pada tataran lokal, tapi mengglobal: lintas wilayah bahkan lintas mancanegara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa syariat telah memberi rambu terkait masalah bepergian ini. Rasulullah Shalallahualaihi wassalam  menuntunkan bahwa seseorang yang telah menyelesaikan urusan safarnya, hendaklah bersegera kembali pulang menemui keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’an, sungguh Rasulullah Shalallahualaihi wassalam  telah bersabda:

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

“Bepergian itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.” (Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179)

Terkait hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah mengungkapkan bahwa tatkala seseorang melakukan bepergian, sesungguhnya dia telah meninggalkan keluarganya. Kala itu, kadang keluarga membutuhkan kehadirannya. Keluarga yang di rumah membutuhkan bimbingan, pengarahan, pendidikannya, atau selainnya. Karenanya, Rasulullah Shalallahualaihi wassalam  memerintahkan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Adapun maksud azab dalam hadits tersebut, meliputi azab berupa hal-hal yang bersifat fisik dan non fisik. Terutama keadaan orang-orang yang safar pada zaman dahulu. Di mana mereka menggunakan kendaraan unta, hingga mengalami kesukaran yang amat sangat. Mereka merasakan panas kala musim panas, juga merasakan dingin kala muslim dingin membalut alam. 

Mereka tak lagi bisa menikmati makan dan minum sebagaimana biasa di hari-hari saat tak bersafar. Begitu pun dengan istirahatnya, tak lagi bisa tidur senyaman kala di tempat mukimnya. Karenanya, diperintahkan bagi orang-orang yang safar untuk bersegera kembali pulang ke negerinya, menjumpai keluarganya serta beristirahat bersamanya. Menjaga dan mendidik mereka.

Hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’an di atas menjadi dalil keutamaan untuk tinggal bersama keluarga dibanding melakukan safar, kecuali jika ada keperluan yang harus dipenuhi dengan safar. Dari sisi kebutuhan keluarga ini pula, maka ketika seorang sahabat bernama Malik bin Al-Huwairits Radhiallahu’an tiba di Madinah bersama rombongan kaumnya yang berjumlah 20 orang guna menemui Nabi Shalallahualaihi wassalam, di mana mereka tinggal (di Madinah) selama 20 hari. Saat terlihat di antara mereka rasa rindu kepada keluarganya, maka Rasulullah Shalallahualaihi wassalam bersabda:

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

“Kembalilah kepada keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka. Ajarilah dan didiklah mereka.” (Shahih Al-Bukhari no. 631)

Ini menunjukkan betapa seseorang itu tidak semestinya meninggalkan keluarganya kecuali lantaran ada kebutuhan. Inilah yang lebih utama. (Syarh Riyadhi Ash-Shalihin, 2/1230)

وَكَانَ رَسُولُ اللهِ n رَحِيمًا رَفِيقًا

“Adalah Rasulullah Shalallahualaihi wassalam begitu kasih dan lembut.” (Shahih Al-Bukhari no. 631)

Begitulah yang dinyatakan Malik bin Al-Huwairits Radhiallahu’an kala rombongannya telah merasakan kerinduan kepada keluarga lantas Rasulullah Shalallahualaihi wassalam memerintahkan mereka pulang. Begitulah Islam, agama nan penuh rahmah, kasih sayang, dan kelembutan.

Jkt, 26 Juni 2013

Abie sabiella

Jumat, 14 Juni 2013

Ketika harus benar - benar berpisah...



Hidup ini tak ada yang abadi,
Hatta  cinta sepasang anak manusia pun tak ada yang abadi…

Jika tiba - tiba hari - harimu sunyi dan kosong,
semua kau rasakan hampa dan membosankan,
ketahuilah bahwa aku pun menjalani hari - hariku persis seperti apa yang tengah kau rasakan,
sunyi dan kosong, semua terasa hampa dan membosankan…

Jika tanganmu menggapai, mencari pegangan untuk setiap kelelahan,
mencari jawaban atas setiap kebingungan,
 tanganku pun demikian adanya,
mencoba menggapai, mencari pegangan untuk setiap kelelahan dan berharap menemui jawaban atas setiap kebingungan ini…

Jika engkau menyesali saat pertemuan, dan berharap engkau tidak pernah bertemu denganku,
Maka, aku akan melupakan semua harapan untuk bertemu denganmu, dan menghapus semua rasa penyesalan yang ada...

Dan ketika hatimu menjadi sakit dan terbelah saat kaupergi semakin menjauh dariku,
Hatiku pun akan sakit dan terbelah seiring jauh langkahmu dari diriku.

Jika kenangan tentangku adalah sesuatu yang dapat engkau ingat,
maka aku akan mengingat segala sesuatu yang ada padamu…

Jika sepenggal demi sepenggal engkau menghapus kenangan itu, maka aku pun akan menghapus semua tentangmu sepenggal demi sepenggal.
Jika suatu hari nanti kita bertemu kembali, dan kamu mengajakku berkenalan layaknya orang asing,
aku akan memperkenalkan diriku padamu sebagai orang asing.

Jika saat perpisahan harus tiba, dan engkau belum mau mati, lalu mulai belajar mencintai orang yang mencintaimu,
Maka aku pun juga belum mau mati dan belajar mencintai orang yang mencintaiku.


Dan kita tidak akan pernah menemukan jawaban mengapa kita harus berpisah selain bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini…

Kau pergi bersama takdirmu,
Dan aku pun enyah mengikuti takdirku...

Jkt, 14 Juni 2013

Jumat, 07 Juni 2013

Di Universitas Kehidupan


Menjadi Mahasiswa  di Universitas Kehidupan  di tuntut memiliki  kesungguhan yang berlapis, memngingat mata kuliahnya  sangat beragam atau malah bisa di bilang multi kompleks, lihat saja mata kuliah seperti;

 Memahami kegagalan berulang,
 Penghianatan seorang sahabat
 Mengalahkan ego pribadi,
 Berpacu dengan waktu,
 Kekecewaan tak bertepi,
 Sayap-sayap mimpi yang patah,
 Tetap menginjak bumi,
 Mencintai pekerjaan yang menjemukan,
Kesedihan yang menghujam menembus bahu,
Tetap tersenyum didepan klien yang super nyebelin,
 Menyelesaikan tugas dalam kurun waktu yang mustahil,
 Sabar menghadapi pimpinan yang tidak rasional,
 Ditinggal oleh orang yang sangat kita sayangi,
 Merindukan kedamaian,
 Kebosanan tingkat Malaikat,

Hmmm, cukup membuat dahi sering mengkerut dan dada pun harus selalu di latih senam dada, supaya nggak nyesek menyelesaikan satu persatu mata kuliah tersebut di atas.
 Tapi kadang – kadang suka ada  extrakulikuler yang menyenangkan, misal;
 Malaikat penolong yang datang saat terdesak,
 Rejeki muncrat tanpa diharap,
 Menemukan sahabat sejati,
 Melihat indahnya cinta diantara himpitan kehidupan,
 Keajaiban kecil senyummu,
 Menikmati teh pagi penuh damai,
Mimpi lama jadi kenyataan,

Subhanallah…
Satu mata kuliah selesai, mata kuliah yang baru menyusul, yang sering tidak pernah kita duga sebelumnya. Dan mata kuliah ini tak akan pernah usai kita tuntaskan, sampai masa menghentikannya. 

 Selamat berkuliah…

Tebet City, 7 Juni 2013

“Abiesa”

Minggu, 02 Juni 2013

Menyoal ikhwal "kesedihan"

Semua orang pasti pernah merasa SEDIH, teman Antum, kerabat Antum, orang tua Antum, atau Antum sendiri, maupun ana sendiri pun pernah bahkan sedang merasakannya.

Banyak hal yang dapat memicu kita untuk merasakan kesedihan.


Jika ditanya apakah yang menyebabkan seseorang itu bersedih, jawaban setiap orang pasti berbeda-beda mengingat permasalahan hidup yang dihadapi mereka berbeda juga. Kadang kita tahu betul apa yang membuat kita bersedih, namun kadang juga kita tidak mengetahui penyebab kesedihan kita.

Salah seorang teman ana sering mengeluh "Terlalu banyak hal yang membuat saya sedih, mungkin hal yang paling membuat saya sedih adalah hidup saya sendiri, rasanya saya tidak ingin hidup lebih lama lagi", keluh teman ana.

Wah rasanya kata-kata seperti itu sudah seringkali terucap jika kita merasakan kesedihan yang mendalam. Dan jika Antum sedang mengalami perasaan yang sama seperti teman ana , ana harap Antum jangan sampai berfikiran untuk mengakhiri hidup Antum sekarang, paling tidak selesaikan terlebih dahulu membaca tulisan ana ini yach...

KESEDIHAN adalah suasana hati yang sangat ingin kita jauhi, sebisa mungkin dalam menjalani kehidupan kita mengusir jauh-jauh yang namanya kesedihan, pasti semua orang ingin merasakan perasaan yang sebaliknya bukan..? Kebahagiaan, keceriaan, kesenangan dan kesukariaan tentunya.

Pada umumnya kesedihan menutup minat kita pada aktifitas yang bersifat hiburan dan kesenangan, konsekuensi logisnya membuat perhatian kita terpusat pada apa yang telah kita anggap hilang [ pangkal penyebab kesedihan ], Yang pada dasarnya perlakuan seperti itu sebenarnya merupakan penghimpunan energi kita agar kita dapat memulai langkah-langkah baru, itu jika dalam kesedihan kita masih tersadar.

Sebenarnya, jika kita mau memandang suatu kesedihan dari sisi lain, kita akan menemukan sebuah manfaat dari kesedihan itu, betapa tidak, titik “kesadaran” kita mampu kita hadirkan manakala kita dalam kesedihan, dan sebaliknya, jarang sekali kita temukan orang tersadar dari sebuah kesalahan fatal , sementara orang yang bersangkutan pada posisi senang dan bahagia, justru kecendrungannya malah hadirnya “ kelalaian “ bukan…,

Tapi.., memang harus di akui sejujurnya, sangat sedikit sekali orang – orang yang mampu menghadirkan  atau membalik suasana seperti ini, tak mudah memang…, contohnya ana sendiri mengalami kesulitan yang cukup menguras energy dan asa, untuk keluar dari terjerembabnya jiwa dari dari lembah kesedihan yang teramat dalam akibat multiproblematika hidup, alih – alih dalih mencoba untuk menutupi kelemahan, justru nyata benar “kerapuhanku” tak mampu aku pungkiri…

Artinya kesedihan memaksa ana untuk berhenti dari kepenatan duniawi dan membuat perhatian ana terfokus terhadap rasa kehilangan tersebut,  merenungkan hikmahnya, dan pada akhirnya ana mencoba membuat penyesuaian-penyesuaian psikologis serta menyusun rencana-rencana baru yang akan memungkinkan hidup ana terus berjalan, sekalipun ada konsekuensi logis yakni ana akan kehilangan beberapa teman atas perubahan ini.

Berduka itu bermanfaat tetapi depresi yang berkelanjutan adalah sia-sia…

 La yukallifullahu nafsan illa wus'aha, Laha ma kasabat wa alayha maktasabat …

Allah does not burden any human being with more than he is well able to bear:

in his favor shall be whatever good he does, and against him whatever evil he does.


Lembah Nelangsa, 10 Nov 2011

~Abie sabiella~

http://www.facebook.com/notes/mahad-daarussunnah-bekasi/menyoal-ikhwal-kesedihan/10150354378965069