Selasa, 15 April 2014

Berbuat Baiklah...



Suatu hari, ada dua orang sahabat menghampiri sebuah toko untuk membeli buku dan majalah. Penjualnya ternyata melayani dengan sangat buruk. Mukanya asem dan cemberut. Salah seorang diantaranya jelas jengkel menerima layanan seperti itu.

Yang mengherankan, sahabatnya tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjual itu. Lantas temanya bertanya kepada sahabatnya,

“Hei.. Kenapa kamu bersikap sopan kepada penjual yang menyebalkan itu?”

Sahabatnya menjawab, “Lho, kenapa aku harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak..?  kitalah sang penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain.”

 “Tapi dia melayani kita dengan buruk sekali,” bantah temanya. (Ia masih merasa jengkel).

“Yaaa,  itu urusan dia,  mau bad mood, gak sopan, dan melayani dengan buruk, atau yang lainnya, toh itu nggak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan mempengaruhi hidup kita dooong..., Padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita ini, bukan orang lain.”

Sahabat…,

Tak jarang perilaku kita kerap-kali dipengaruhi oleh tindakan orang lain. Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang sama atau bahkan tak jarang justru dengan hal yang lebih buruk lagi. Jika kita di perlakukan tak sopan , kita balas lagi dengan prilaku serupa. Jika ada  orang yang pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian bahil kalau harus berurusan dengan orang itu. Bahkan ada ucapan " jika dia berbuat baik aku bisa berbuat lebih baik, tapi jika dia jahat aku bisa lebih kejam".

Subhanallah…

Mengapa tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain..?
Mengapa untuk berbuat baik saja, kita harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu..?

Hal yang terpenting bagi kita adalah untuk menjaga suasana hati. Jangan biarkan sikap buruk orang lain kepada kita menentukan cara kita bertindak..!

Berbuat baiklah atas dasar kesadaran bukan karena pengaruh pihak lain, karena sejatinya jika kita berbuat baik, tidak lain adalah kita berbuat baik untuk diri kita sendiri...


إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا 

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,..

Yang si sebut “Pemenang kehidupan” adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, tetap tenang di tengah badai yang paling hebat, serta yang menjadi penerang ditengah kegelapan…

~Abie Sabiella~

Senin, 14 April 2014

Sesuatu itu berharga setelah kita merasa kehilangan…



Gimana ya rasanya kehilangan..?
Pasti sedih lah…

Apalagi bila kita kehilangan sesuatu yang sangat penting untuk kita…

Sahabat,

 “Kehilangan” itu…. Bisa jadi adalah “habisnya kesempatan kita untuk memiliki sebuah titipan dari Allah” atau “habisnya masa bagi kita untuk memiliki sesuatu yang pernah Allah berikan”

Adakah kau pernah kehilangan..?

Ach, pasti semua orang pernah mengalaminya…
mulai kehilangan suatu benda sepele sampai kehilangan benda berharga…. Atau kehilangan seseorang mungkin..? Seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita…

Sebuah pensil yang kita anggap sebagai barang yang remeh nilainya, bisa jadi ketika ia hilang akan membuat kita kelimpungan, coba bayangkan pesil itu mau dipakai buat mengerjakan ujian, dan ternyata ketika sudah mulai ujian kita tak menemukan pensil itu di tempat biasanya? Tak urung kita pasti panik kan..?

Itu baru sebuah pensil…. Gimana kalau yang hilang hape? laptop? motor? Yang bagi kebanyakan orang adalah benda- benda yang sangat berharga, bukan hanya karena harganya tapi juga karena kemanfaatannya.

Terkadang,
Kita tak terlalu perhatian pada apa-apa yang kita miliki baik itu benda maupun seseorang.
Ya,kita punya keluarga, ayah, ibu, adik, kakak, suami atau istri, saudara, sahabat…

Mereka adalah orang – orang yang paling berjasa yang selalu mengisi dan menghiasi hari – hari kita.

Kebanyakan,
Kita terlalu angkuh untuk mengakui bahwa mereka sangat berharga…
Hingga kita merasa boleh untuk sesekali melukai hati mereka, atau bahkan melupakannya.

Padahal kita tau bahwa mereka adalah orang-orang yang tak pernah bosan meminjamkan tangan mereka, telinga mereka,bahkan harta dan perhatian yang mereka punya untuk kita…

Mereka adalah orang-orang yang tak pernah berhitung sudah seberapa banyak menengadahkan tangan dalam doanya, memohonkan kebaikan untuk kita…

Tapi… adakah kita sesekali menengadahkan tangan,mendoa untuk mereka…?
Adakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mereka…? Membalas kebaikan- kebaikannya…? Atau sekedar membuat mereka tersenyum bahagia..?

Mungkin pernah…

Tapi hanya sedikit saja…

Pernahkah terbersit dalam benak kita sebuah pertanyaan,

“apakah mereka sudah cukup bahagia karena kita..?”
“apakah kita sudah cukup baik memperlakukan mereka..?”

Ya… seringkali kita terlalu jumawa, untuk mengakui bahwa mereka berharga,
Dan terkadang, Kita baru menyadari bahwa sesuatu itu berharga setelah kita merasa kehilangan…

Setelah mereka tiada…
Setelah mereka tak berada di dekat kita…


Sungguh kehilangan itu menyakitkan…
Apalagi bila kita kehilangan seseorang yang teramat sangat penting bagi kita…

Jangan pernah menunggu kehilangan, Baru kita sadar bahwa mereka berharga…
Karena setelahnya mungkin hanya ada penyesalan dan kekecewaan yang akan hinggap di hati kita, sementara  tak banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk mereka…

Jaga mereka baik-baik...
Jaga orang-orang yang penting dalam hidupmu yang saat ini masih Allah titipkan padamu, hingga suatu saat Allah mengambilnya kembali…

Mereka berharga…. Bukan karena kita pernah kehilangan mereka…
Tapi mereka berharga karena kita pernah memiliki mereka, orang-orang yang kita cinta…

Mari kita lakukan yang terbaik untuk mereka, hadiahkan segala yang terbaik dari yang kita punya, untailah bait-bait doa dalam tiap ibadah kita…

Hingga mereka merasa bahagia pernah memiliki kita…
Dan hingga kita tak pernah menyesal, karena sudah melakukan yang terbaik untuk mereka…


-ooOoo-

Teruntuk…
Jiwa-jiwa terkasihku…
Biar kukabarkan pada hatimu…
Bahwa aku demikian mencintaimu…
Teriring bait-bait doaku menemani langkahmu…
Semoga Allah eratkan kasih kita…
Semoga Allah limpahkan kasihNya atas cinta kita…
Hingga nanti, kita berjumpa lagi di jannahNya…
Kan kita buat reuni bahagia, keluarga surga…

Teruntuk…
Permata jiwaku…
Salsa – Najwa – Zaid  I love  u all…

Dan saudara-saudaraku seiman…
Yang tak mungkin  bisa kusebut nama kalian satu persatu…

Ketahuilah…
Bahwa kalian adalah orang-orang hebat  yang sangat berharga dalam hidupku…

Ketahuilah…
Bahwa aku mencintai kalian Karena Allah, yang telah menganugrahkanku kesempatan melalui waktu-waktu indah bersama kalian…


Alhamdulillah…
Diberikan kesempatan untuk merenungi, bahwa aku memiliki baaanyak sekali orang-orang yang kucintai dan mencintaiku…

Termasuk kamu..!!!  Ya, kamu yang membaca note ini, Insya Allah…
Ach, tentu saja karena aku pun sangat mencintaimu…

Sungguh…
Diri ini sebenarnya tak berpunya apa-apa,
Dan tak akan membawa segala harta benda jua, hatta orang-orang  terkasih ketika kita kembali…

Hanya iman di hati, serta amal ibadah yang kan menemani…
Menjadi pelita di kemudian hari saat kita kembali…

Maafkan aku sahabat, jika di antara kalian ada yang tersakiti, kecewa atau tidak respek dengan apa yang selama ini aku lakukan…

~Abie Sabiella~


Jumat, 11 April 2014

"AKU RAPOPO"



Luar biasa hidup di Negeri Indonesia ini, masyarakatnya sangat dinamis, lebih – lebih di level kawula mudanya, ini di tandai banyak munculnya istilah – istilah gaul di kalangan mereka.

Setelah pada beberapa saat yang lalu booming kata Masbuloh (masalah buat eloch) dan cabe-cabean. Maka akhir-akhir ini muncul kata-kata baru yaitu “Aku Rapopo”, sebuah jargon Yang merupakan meme asli indonesia (jawa) yang mempunyai arti "aku tidak apa apa" atau bisa juga "aku baik baik saja".

Kalimat “Aku Rapopo” ini menjadi cepat peredarannya apalagi saat ini penggunaan Meme juga menjadi sangat lazim. Mungkin bagi kalian yang bukan berasal dari suku jawa, atau yang tidak faham dengan istilah – istilah jawa, kurang respek terhadap kalimat aku rapopo ini.

Kalimat “Aku rapopo” digunakan untuk menggambarkan reaksi seseorang ketika ia mencoba untuk menjadi pribadi kuat, atau supaya kelihatan lebih tegar dari sebuah himpitan atau ujian kehidupan yang di alaminya, maka kata – kata ini di jadikan tameng supaya tidak terlihat lemah, rapuh dan menderita, walaupun sebenarnya ia mengalami tekanan bathin yang luar biasa atau merasakan kenyataan hidup yang sangat pahit.

Sebagai pribadi yang tidak ingin di katakan payah, lemah atau mudah menyerah, maka menjadi sebuah kelaziman untuk mengucapkan kata,

…aku rapopo…

Sebenarnya kalimat ini mengandung sebuat kekuatan, bahwa ia akan memotivasi kemampuan jiwanya untuk kuat bertahan dalam tekanan hidup. Dan dengan power kalimat “aku rapopo” ini bisa jadi seseorang benar – benar tegar dalam menghadapi ujian yang cukup berat, ia mampu bertahan dalam kondisi yang sangat sulit ini, dan ia menangkan…

Jadi,

Aku rapopo…

~abie sabiella~

Selasa, 08 April 2014

Keharaman Menaati Hukum Selain Hukum Allah



(Tafsir QS at-Taubah [9]: 31)

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS at-Taubah [9]: 31).

Kandungan ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai perkataan Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah putra Allah. Orang-orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih adalah putra Allah. Karena ucapan itu, mereka pun mendapatkan laknat-Nya.

Ayat ini membeberkan daftar kekafiran mereka berikutnya. Mereka juga menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah Swt. Bagi kaum Nasrani, daftar kekafiran mereka makin panjang ketika mereka juga menyembah al-Masih bin Maryam.

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh (Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah). Kata ganti wâwu al-jamâ’ah (mereka) dalam ayat ini menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya.

1. Kedua golongan Ahlul Kitab itu diberitakan telah menjadikan ahbâr dan râhib mereka sebagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah Swt. Kata al-ahbâr (bentuk jamak dari kata al-hibr atau al-habr) berarti ulama.

2. Kata ar-ruhbân (bentuk jamak dari kata râhib) dari kata al-ruhbah berarti al-khâif (orang yang takut).

3. Dalam perkembangan selanjutnya, al-ahbâr digunakan untuk sebutan ulama Yahudi, sementara ar-ruhbân digunakan untuk ulama Nasrani.

4. Kata arbâb merupakan bentuk jamak dari kata rabb. Secara bahasa, kata rabb berarti al-mâlik (pemilik), as-sayyid (tuan, pemimpin), al-mudabbir (pengatur), al-murabbî (pendidik), al-qayyim (pelaksana, pihak yang bertanggung jawab), dan al-mun‘im (pemberi nikmat).

Jika tidak di-mudhâf-kan, kata itu hanya digunakan untuk menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Jika digunakan untuk menyebut selain-Nya, harus di-mudhâf-kan dengan kata lainnya, seperti rabbu kadzâ.

5. Karena kata arbâb dalam ayat ini tidak di-mudhâf-kan, maka bermakna tuhan-tuhan. Hanya saja, pentahbisan pendeta dan rahib sebagai tuhan-tuhan tidak dalam konteks penyembahan, namun dalam konteks ketaatan mereka kepada pendeta dan rahib mereka dalam al-tahlîl wa al-tahrîm (penetapan halal dan haram). Mereka menjadikan pendeta dan rahib sebagai pemegang otoritas untuk menetapkan halal dan haram. Asy-Syaukani menyatakan, “Sesungguhnya mereka menaati pendeta-pendeta mereka, dalam perintah dan larangannya. Pendeta-pendeta itu menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka ditaati sebagaimana layaknya tuhan-tuhan.

6. Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Mareka menuturkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam perkara yang mereka halalkan dan mereka haramkan.

7. Penafsiran demikian juga disampaikan ath-Thabari, az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dan hampir semua mufassir.

8. Pengertian itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah saw. terhadap ayat ini. Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).

9. Dengan demikian, tindakan ibadah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ketaatan mereka terhadap pendeta dan rahib mereka dalam penetapan halal dan haram.

Selain itu, kaum Nasrani juga menjadikan Isa al-Masih sebagai tuhan. Allah Swt. berfirman: wa al-Masîh [i]bn Maryam ([dan mereka mempertuhankan] al-Masih putra Maryam). Kendati tidak disebut secara jelas pelaku yang menjadikan Isa al-Masih sebagai tuhan, bisa dipastikan yang dimaksud adalah kaum Nasrani. Realitas ini dapat dilihat dalam ayat sebelumnya. Orang-orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih putra Allah Swt. (QS at-Taubah [9]: 30).

Memang demikianlah fakta dogma utama agama Nasrani. Seseorang dapat dikatagorikan sebagai Nasrani jika mereka mengakui ketuhanan Isa al-Masih. Oleh al-Quran, orang-orang yang membenarkan doktrin tersebut disebut sebagai kafir dan diancam dengan azab yang pedih (lihat QS al-Maidah [5]: 73).

Jika al-Masih bin Maryam disebutkan secara jelas dalam ayat telah dijadikan sebagai tuhan, tidak demikian dengan Uzair. Kendati oleh kaum Yahudi juga dinyatakan sebagai ibnu Allâh (putra Allah), Uzair tidak disebutkan dalam ayat ini dijadikan sebagai tuhan. Menurut al-Alusi dan al-Syaukani ini mengisyaratkan bahwa kaum Yahudi tidak menjadikan Uzair sebagai tuhan.

10. sebagaimana kaum Nasrani menjadikan al-Masih sebagai tuhan.
Tindakan menyekutukan Allah Swt. jelas bertentangan dengan perintah-Nya. Allah Swt. berfirman: Wamâ umirû illâ liya’budû Ilâh[an] wâhid[an] (padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa). Menurut al-Asfahani dan as-Samin al-Halbi, ibadah bukan sekadar tunduk, namun ghâyat at-tadzallul (puncak ketundukan), sehingga tidak ada yang berhak atasnya kecuali Zat yang memiliki puncak keutamaan dan kemuliaan, yakni Allah Swt.

11. Dengan demikian, menurut al-Alusi, ayat ini menjelaskan bahwa mereka telah diperintahkan untuk menaati perintah Allah Swt dan tidak menaati perintah selain-Nya. Sebab, hal itu menafikan ibadah kepada-Nya.

12. Semua perkara yang dihalalkan-Nya adalah halal dan semua perkara yang diharamkan-Nya adalah haram. Tidak ada seorang pun selain-Nya yang berhak membantah atau mengubah ketetapan-Nya, termasuk para pendeta dan rahib.
Karena itu, jika pada kenyataannya mereka lebih menaati pendeta dan rahib mereka, maka sesungguhnya mereka telah menyimpang jauh dari perintah-Nya. Demikian juga tindakan kaum Nasrani yang mengangkat al-Masih bin Maryam sebagai tuhan. Mereka telah melakukan kesesatan yang nyata. Isa al-Masih yang mereka sembah itu pun membantah apa yang mereka lakukan (lihat QS al-Maidah [5]: 116).

Allah Swt. berfirman: Lâ ilâha illâ Huwa (Tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] selain Dia). Kata ilâh berasal dari kata aliha-ya’lahu yang bermakna maf’ûl. Karena kata aliha-ya’lahu sejalan maknanya dengan kata ‘abada-ya’budu, maka kata ilâh berarti ma’bûd (yang disembah, diibadahi). Dijelaskan Ibnu al-Mandzur, al-ilâh adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Segala sesuatu selain-Nya yang dijadikan sebagai ma’bûd (pihak yang disembah, diibadahi) juga disebut ilâh bagi orang pelakunya.

13. Inilah makna ilâh yang dimaksudkan dalam beberapa ayat (misal: QS al-Furqan [25]: 43).
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang berhak disembah, diibadahi, dan ditaati secara mutlak kecuali Allah Swt.
Kemudian Allah Swt berfirman: Subhânahu ‘ammâ yusyrikûna (Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan). Oleh al-Khazin frasa ini dijelaskan, “Mahasuci Allah Swt. dari sekutu bagi-Nya dalam ibadah dan hukum, dan sekutu dalam ketuhanan yang berhak dan diagungkan.”

14. Apa yang persekutukan (‘ammâ yusyrikûna) berkait erat dengan tindakan kaum Yahudi dan Nasrani yang dijelaskan sebelumnya. Para pendeta dan rahib ditahbiskan memiliki otoritas al-tahlîl wa al-tahrîm (menghalalkan dan mengharamkan). Tindakan mereka itu dikategorikan menyekutukan Allah Swt. Ditegaskan dalam ayat ini, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Sebab, hanya Dia yang memiliki otoritas membuat hukum.

Hak Membuat Hukum
------------------------
Di antara prinsip dasar yang tidak boleh diperselisihkan setiap Muslim adalah konsep Islam tentang al-hâkim (pemilik otoritas membuat hukum). Al-Hâkim atau pemilik otoritas membuat hukum bagi kehidupan manusia adalah Allah Swt.

15. Ketetapan ini di dasarkan dalil-dalil yang qath‘i, baik tsubût maupun dalalâh-nya, seperti firman Allah Swt:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ

Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia (QS Yusuf [12]: 40).

Sebagaimana telah dipaparkan, ketetapan ini bagian inti dari tawhîd; bahwa satu-satunya ma’bûd, Zat yang patut disembah dan diibadahi, adalah Allah Swt. Tawhîd tidak hanya memberikan pengakuan bahwa Allah Swt. sebagai satu-satunya Pencipta alam semesta dan isinya, namun juga pengakuan bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Zat yang berhak disembah dan ditaati.

16. Karena itu, ketika ada pihak lain yang lebih ditaati melebihi Allah Swt., maka ia disebut sebagai ilâh bagi pelakunya (lihat QS al-Furqan [24]: 43-44, al-Jatsiyah [45]: 23). Al-Quran juga menyebut syurakâ’, sekutu-sekutu atau sesembahan selain-Nya yang membuat aturan bagi kehidupan. Allah Swt. berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS al-Syura [42]: 21).
Orang-orang musyik Arab, kendati mengakui bahwa Allah Swt. sebagai Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam raya, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Mukmin. Pasalnya, mereka tidak mengakui Allah Swt. sebagai satu-satunya ilâh yang patut ditaati.

17. Ini pula yang ditegaskan dalam ayat di atas. Kaum Yahudi dan Nasrani yang mendudukkan pendeta dan rahib mereka sebagai memiliki otoritas membuat hukum, menghalalkan, dan mengharamkan segala sesuatu, dinyatakan telah melakukan penyembahan.

Menggugat Kedaulatan Rakyat
----------------------------------
Di antara pilar utama demokrasi adalah ide tentang kedaulatan rakyat. Ide ini menetapkan bahwa rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Konsekuensinya, semua hukum yang berlaku harus bersumber dari rakyat. Sebagaimana rakyat berhak membuat hukum, rakyat pun berhak menolak atau membatalkan suatu hukum.
Dalam praktiknya, semua negara menggunakan sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat itu diwakilkan kepada lembaga legislatif. Di antara tugas lembaga ini adalah melegislasi semua hukum dan undang-undang (al-taqnîn wa al-tasyrî’). Semua hukum dan undang-undang yang berlaku harus mendapatkan pesetujuan darinya. Tanpa persetujuan darinya, UU tidak dianggap sah, dan oleh karenanya tidak boleh diterapkan.

Ketentuan ini berlaku umum, termasuk terhadap syariah. Sekalipun Allah Swt. jelas-jelas mewajibkan penerapan syariah dalam kehidupan, perintah itu tidak boleh dijalankan sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif terlebih dulu. Jika lembaga itu menyetujuinya, baru boleh diterapkan. Sebaliknya, jika lembaga itu menolaknya maka syariah tidak boleh dijalankan.

Jika demikian, apa bedanya para pembuat hukum itu dengan para pendeta dan rahib yang dalam ayat ini disebut sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt.? Mereka disebut demikian lantaran didudukkan sebagai pembuat hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian, siapa pun yang ditahbiskan memiliki otoritas yang sama, mereka pun layak disebut sebagai arbâb min dûni Allâh, tuhan-tuhan selain Allah Swt.

Jika demikian, alasan apa lagi yang dapat digunakan untuk mendukung demokrasi?!
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]

Catatan kaki:
--------------
1 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),33
2 al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 241; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 302
3 Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 25
4 al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr,vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 30; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 452; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 457; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 (Kairo: Nahr al-Khair, 1993), 360; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3, 302
5 Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 1 (Beirut: Dar Shadir, tt), 399
6 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452
7 al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432.
8 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 354; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 256; al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr,vol. 16, 31-32; al-Nasafi, Madârik al-Tanzâ3, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 495; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 276; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), 432; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2, 241; Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3, 25; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 353; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 35; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 , 360; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 2 (Beirut: Alam al-Kutub, tt), 250;
9 Bisa juga dilihat dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’aân, vol. 6, 354; al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-Naisaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 489. Hadits serupa dengan sedikit perbedaan redaksional bahasa dapat dijumpat dalam banyak kitab tafsir, seperti: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 432; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 394
10 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 276; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452; al-Qihunij, Fath al-Bayân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 285-286
11 al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, 330; al-Samin al-Halbi, al-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 74
12 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 276
13 Ibnu al-Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 467.
14 al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîll, vol. 2, 353
15 Wahbah Zuhaily, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiyy (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 115; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh (Beirut: al-Nashir), 96. Lihat pula al-Amidiy, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, vol:1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 60;
16 Ahmad al-Qasas, Usus al-Nahdzah al-Râsyidah, (Beirut: Rabithah al-Wa’i al-Tsaqafiyyah, 1995), 119-1221; Muhammad Quthb, Koreksi Atas Pemahaman La Ilaha illa Allah, ter. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Al-Kauthar, 1990), 52
17 Taufik Mustofa, “Lâ Ilâha IllâLlâh: Lâ Ma’bûda IllâLlâh”, al-Wa’y, 96 (Dzu al-Hijjah, 1415), 4. Kesimpulan tersebut didasarkan pada QS al-Mukminun [23]: 84-90; al-Ankabut [29]: 61-63