Dalam pergaulan keseharian kita akan temukan beberapa ragam hubungan persahabatan, mulai dari level yang terkategori persahabatan biasa sampai level sahabat sebenar - benarnya sahabat atau sahabat sejati. Berikut tingkatan atau level model persahabatan menurut motif terjalinnya persahabatan itu.
1. "Ta'aruffan" persahabatan yang terjalin karena pernah berkenalan
secara kebetulan, seperti pernah bertemu di kereta api, halte, rumah
sakit, kantor pos, ATM, dan lainnya.
2. "Taariiihan" persahabatan
yang terjalin karena faktor sejarah, misalnya teman sekampung, satu
almamater, pernah kost bersama, diklat bersama, dan sebagainya.
3. "Ahammiyyatan" persahabatan yang terjalin karena faktor kepentingan
tertentu, seperti bisnis, politik, boleh jadi juga karena ada maunya dan
sebagainya.
4. "Faarihan" persahabatan yang terjalin karena
faktor hobbi, seperti teman futsal, badminton, berburu, memancing, dan
sebagainya.
5. "Amalan" persahabatan yang terjalin karena seprofesi, misalnya sama-sama guru, dokter dan sebagainya.
6. "Aduwwan" sahabat tetapi musuh, depan seolah baik tetapi sebenarnya
hatinya penuh benci, menunggu, mengincar kejatuhan sahabatnya, "Bila
kamu memperoleh ni'mat, ia benci, bila kamu tertimpa musibah, ia
senang..." (QS 3:120).
Rasulullah mengajarkan doa", Allahumma ya Allah
selamatkanlah hamba dari sahabat yg bila melihat kebaikanku ia sembunyi
tetapi bila melihat keburukanku ia sebarkan",
7. "Hubban
Iimaanan", sebuah ikatan persahabat yang lahir batin, tulus saling cinta
dan sayang karena ALLAH, saling menolong, menasehati, menutupi aib
sahabatnya, memberi hadiah, bahkan diam-diam dipenghujung malam, ia
doakan sahabatnya. Boleh jadi ia tidak bertemu tetapi ia cinta
sahabatnya karena Allah Ta'ala.
# Dari ke 7 macam persahabatan
diatas, 1 - 6 akan sirna di Akhirat. yang tersisa hanya ikatan
persahabatan yang ke 7, persahabatan yang dilakukan karena Allah (QS
49:10), "Teman-teman akrab pada hari itu (Qiyamat) menjadi musuh bagi
yang lain kecuali persahabatan karena Ketaqwaan" (QS 43:67).
Ini kisah saya copas dari sebuah Blog,
Setelah saya baca hingga selesai, Subhanallah…,Betapa besar perjuangan seorang suami terhadap orang - orang yang di cintainya, dan harapan aku adalah, sudah sepantasnyalah para Istri mengerti, menghargai setinggi - tingginya jerih payah suami - suaminya dan mensyukuri berapapun apa yang di berikan oleh suami mereka.
Semoga Allah senantiasa melindungimu wahai para suami, memberikan
balasan dan pahala yang sangat besar pula atas pengorbananmu selama
ini. SyurgaNya. Amiin…Ya Rabbal’alamiin…
Selamat menyimak,
Selasa malam (1 Februari 2005), Setelah hujan lebat mengguyur Jakarta,
gerimis masih turun. Saya pacu motor dengan cepat dari kantor disekitar
Blok-M menuju rumah di Cimanggis-Depok. Kerja penuh seharian membuat
saya amat lelah hingga di sekitar daerah Cijantung mata saya sudah
benar-benar tidak bisa dibuka lagi. Saya kehilangan konsentrasi dan
membuat saya menghentikan motor dan melepas kepenatan di sebuah shelter
bis di seberang Mal Cijantung. Saya lihat jam sudah menunjukan pukul
10.25 malam.
Keadaan jalan sudah lumayan sepi. Saya telpon isteri saya kalau saya
mungkin agak terlambat dan saya katakan alasan saya berhenti sejenak.
Setelah saya selesai menelpon baru saya menyadari kalau disebelah saya
ada seorang ibu muda memeluk seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 2
tahun. Tampak jelas sekali mereka kedinginan. Saya terus
memperhatikannya dan tanpa terasa airmata saya berlinang dan teringat
anak saya (Naufal) yang baru berusia 14 bulan. Pikiran saya terbawa dan
berandai-andai, “Bagaimana jadinya jika yang berada disitu adalah isteri
dan anak saya?”
Tanpa berlama-lama saya dekati mereka dan saya berusaha menyapanya. ”
Ibu,ibu,kalau mau ibu boleh ambil jaket saya, mungkin sedikit kotor tapi
masih kering. Paling tidak anak ibu tidak kedinginan” Saya segera
membuka raincoat dan jaket saya, dan langsung saya berikan jaket saya.
Tanpa bicara, ibu tersebut tidak menolak dan langsung meraih jaket saya.
Pada saat itu saya baru sadar bahwa anak lelakinya benar-benar
kedinginan dan giginya bergemeletuk.
“Tunggu sebentar disini bu!” pinta saya. Saya lari ke tukang jamu yang
tidak jauh dari shelter itu dan saya meminta air putih hangat padanya.
an Alhamdulillah, saya justeru mendapatkan teh manis hangat dari tukang
jamu tersebut dan segera saya kembali memberikannya kepada ibu tersebut.
“Ini bu,.. kasih ke anak ibu!” selanjutnya mereka meminumnya berdua.
Saya tunggu sejenak sampai mereka selesai. Saya hanya diam memandangi
lalu lalang kendaraan yang lewat “Bapak, terima kasih banyak, mau
menolong saya” sesaat kemudian ibu tersebut membuka percakapan. Ah,
tidak apa-apa, ngomong-ngomong ibu pulang kemana? Tanya saya Saya
tinggal di daerah Bintaro tapi…(dia menghentikan bicaranya), Bapak
pulang bekerja ? dia balas bertanya.
“Ya” jawab saya singkat.
“Kenapa sampai larut malam pak, memangnya anak isteri bapak tidak
menunggu? Tanyanya lagi. Saya diam sejenak karena agak terkejut dengan
pertanyaannya.
“Terus terang bu, sebenarnya selama ini saya merasa bersalah karena
terlalu sering meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bilang apa, masa
depan mereka adalah bagian dari tanggung jawab saya. Saya hanya berharap
semoga Allah terus menjaga mereka ketika saya pergi.” Mendengar jawaban
saya si ibu terisak, saya jadi serba salah. “Bu, maafkan saya kalau
saya salah omong.
Pak kalau boleh saya minta uang seratus ribu, kalau bapak berkenan?
Pintanya dengan sedih dan sopan. Airmatanya berlinang sambil
mengencangkan pelukan ke anak lelakinya.
Karena perasaan bersalah, saya segera keluarkan uang limapuluh-ribuan 2
lembar dan saya berikan padanya. Dia berusaha meraih dan ingin mencium
tangan saya, tetapi cepat-cepat saya lepaskan. “ya sudah, ibu ambil
saja, tidak usah dipikirkan!” saya berusaha menjelaskannya. “Pak kalau
jas hujannya saya pakai bagaimana? Badan saya juga benar-benar
kedinginan dan kasihan anak saya” kembali ibu tersebut bertanya dan
sekarang membuat saya heran. Saya bingung untuk menjawabnya dan juga
ragu memberikannya. Pikiran saya mulai bertanya-tanya, Apakah ibu ini
berusaha memeras saya dengan apa yang ditampilkannya di hadapan saya?
tapi saya entah mengapa saya benar-benar harus meng-ikhlas- kannya. Maka
saya berikan raincoat saya dan kali ini saya hanya tersenyum tidak
berkata sepatahpun.
Tiba tiba anaknya menangis dan semakin lama semakin kencang. Ibu
tersebut sangat berusaha menghiburnya dan saya benar-benar bingung
sekarang harus berbuat apa? Saya keluarkan handphone saya dan saya
pinjamkan pada anak tersebut. Dia sedikit terhibur dengan handphone
tersebut, mungkin karena lampunya yang menyala. Saya biarkan ibu
tersebut menghibur anaknya memainkan handphone saya. Sementara itu saya
berjalan agak menjauh dari mereka. Badan dan pikiran yang sudah lelah
membuat saya benar-benar kembali tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin
sekitar 10 menit saya hanya diam di shelter tersebut memandangi lalu
lalang kendaraan. Kemudian saya putuskan untuk segera pulang dan
meninggalkan ibu dan anaknya tersebut. Saya ambil helm dan saya nyalakan
motor, saya pamit dan memohon maaf kalau tidak bisa menemaninya. Saya
jelaskan kalau isteri dan anak saya sudah menunggu dirumah. Ibu itu
tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada saya.
Dia meminta no telpon rumah saya dan saya tidak menjawabnya, saya
benar-benar lelah sekali dan saya berikan saja kartu nama saya. Sesaat
kemudian saya lanjutkan perjalanan saya.
Saya hanya diam dan konsentrasi pada jalan yang saya lalui. Udara
benar-benar terasa dingin apalagi saat itu saya tidak lagi mengenakan
jaket dan raincoat ditambah gerimis kecil sepanjang jalan. Dan ketika
sampai di depan garasi dan saya ingin menelpon memberitahukan ke isteri
saya kalau saya sudah di depan rumah saya baru sadar kalau handphone
saya tertinggal dan masih berada di tangan anak tadi. Saya benar-benar
kesal dengan kebodohan saya. Sampai di dalam rumah saya berusaha
menghubungi nomor handphone saya tapi hanya terdengar nada handphone
dimatikan. “Gila.Saya benar-benar goblok, tidak lebih dari 30 menit saya
kehilangan handphone dan semua didalamnya” dengan suara tinggi, saya
katakan itu kepada isteri saya dan dia agak tekejut mendengarnya.
Selanjutnya saya ceritakan pengalaman saya kepadanya. Isteri saya
berusaha menghibur saya dan mengajak saya agar meng-ikhlaskan semuanya.
“Mungkin Allah memang menggariskan jalan seperti ini. Sudahlah sana
mandi dan shalat dulu, kalau perlu tambah shalat shunah-nya biar bisa
lebih ikhlas” dia menjelaskan. Saya segera melakukannya dan tidur.
Keesokan paginya saya terpaksa berangkat kerja membawa mobil padahal hal
ini, tidak terlalu saya suka. Saya selalu merasa banyak waktu terbuang
jika bekerja membawa mobil ketimbang naik motor yang bisa lebih cepat
mengatasi kemacetan. Kalaupun saya bawa motor saya khawatir hujan karena
kebetulan saya tidak ada cadangan jaket dan raincoat juga sudah saya
berikan kepada ibu dan anak tadi malam. Setelah mengantar isteri yang
kerja di salah satu bank swasta di sekitar depok saya langsung menuju
kantor tetapi pikiran saya terus melanglang buana terhadap kejadian tadi
malam. Saya belum benar-benar meng-ikhlaskan kejadian tadi malam bahkan
sesekali saya mengumpat dan mencaci ibu dan anak tersebut didalam hati
karena telah menipu saya.
Sampai di kantor, saya kaget melihat sebuah bungkusan besar diselimuti
kertas kado dan pita berada di atas meja kerja saya. Saya tanya ke
office boy, siapa yang mengantar barang tersebut. Dia hanya menjawab
dengan tersenyum kalau yang mengantar adalah supirnya ibu yang tadi
malam, katanya bapak kenal dengannya setelah pertemuan semalam bahkan
dia menambahkan kelihatannya dari orang berada karena mobilnya mercy
yang bagus.
“Bapak selingkuh ya, pagi-pagi sudah dapat hadiah dari perempuan?
tanyanya sedikit bercanda kepada saya. Saya hanya tersenyum dan saya
menanyakan apakah dia ingat plat nomor mobil orang tersebut, office boy
tersebut hanya menggelengkan kepala..
Segera saya buka kotak tersebut dan “Ya Allah, semua milik saya kembali.
Jaket, raincoat, handphone, kartu nama dan uangnya. Yang membuat saya
terkejut adalah uang yang dikembalikan sebesar 2 juta rupiah jauh
melebihi uang yang saya berikan kepadanya. Dan juga selembar kertas yang
tertulis ;
” Pak, terima kasih banyak atas pertolongannya tadi malam. Ini saya
kembalikan semua yang saya pinjam dan maafkan jika saya tidak sopan.
Kemarin saya sudah tidak tahan dan mencoba lari dari rumah setelah saya
bertengkar hebat dengan suami saya karena beliau sering terlambat pulang
ke rumah dengan alasan pekerjaan. Bodohnya, dompet saya hilang setelah
saya berjalan-jalan dengan anak saya di Mall Cijantung. Sebenarnya saya
semalam ingin melanjutkan perjalanan ke rumah kakak saya di depok,
tetapi saya jadi bingung karena tidak ada lagi uang untuk ongkos makanya
saya hanya berdiam di hate bis itu. Setelah saya bertemu dan melihat
bapak tadi malam, saya baru menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan
adalah demi cinta dan masa depan isteri dan anaknya juga. Salam dari
suami saya untuk bapak. Salam juga dari kami sekeluarga untuk
anak-isteri bapak di rumah. Suami saya berharap, biarlah bapak tidak
mengetahui identitas kami dan biarlah menjadi pelajaran kami berdua . Oh
ya, maaf handphone bapak terbawa dan saya juga lupa mengembalikannya
tadi malam karena saya sedang larut dalam kesedihan. Terima kasih.
Segera saya telpon isteri saya dan saya ceritakan semua yang ada
dihadapan saya. Isteri saya merasa bersyukur dan meminta agar semua
uangnya diserahkan saja ke mesjid terdekat sebagai amal ibadah keluarga
tersebut.
#RenunganUntukSahabatOase