Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Maret 2017

Islam Memandang Syair



Allah Ta’ala berfirman:

وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ. أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ. وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لا يَفْعَلُونَ. إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا
 
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 224-227)

Ubay bin Ka’ab telah mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حِكْمَةً
 
“Sesungguhnya di antara syair itu ada yang merupakan hikmah.” (HR. Al-Bukhari no. 6145)

Dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Hassan bin Tsabit pada perang Quraizhah:

اهْجُ الْمُشْرِكِينَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ مَعَكَ
 
“Seranglah kaum musyrikin (dengan syairmu), karena Jibril bersamamu.” (HR. Al-Bukhari no. 6153 dan Muslim no. 2486)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا
 
“Sesungguhnya perut salah seorang di antara kalian penuh dengan nanah hingga merusak ususnya, itu lebih baik daripada perutnya penuh dengan syair (sajak).” (HR. Al-Bukhari no. 6154 dan Muslim no. 2258)


Penjelasan ringkas:
Syair adalah suatu ucapan dalam bentuk sajak, yang jika isinya baik maka dia adalah kebaikan dan jika isinya jelek maka dia adalah kejelekan. Karenanya jika isi syair tersebut mengandung suatu keutamaan atau dorongan untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia, maka itu adalah syair yang terpuji dan dianjurkan. Akan tetapi jika isinya selain daripada itu, seperti mengandung celaan kepada seorang muslim, atau mengolok-olok kaum muslimin, atau mengajak kepada perbuatan kefasikan dan kebejatan hawa nafsu, maka itu adalah syair yang tercela, yang telah ditahdzir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Wa Allahu 'alam bisshowab...

Selasa, 08 April 2014

Keharaman Menaati Hukum Selain Hukum Allah



(Tafsir QS at-Taubah [9]: 31)

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS at-Taubah [9]: 31).

Kandungan ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai perkataan Yahudi dan Nasrani. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah putra Allah. Orang-orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih adalah putra Allah. Karena ucapan itu, mereka pun mendapatkan laknat-Nya.

Ayat ini membeberkan daftar kekafiran mereka berikutnya. Mereka juga menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah Swt. Bagi kaum Nasrani, daftar kekafiran mereka makin panjang ketika mereka juga menyembah al-Masih bin Maryam.

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh (Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah). Kata ganti wâwu al-jamâ’ah (mereka) dalam ayat ini menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya.

1. Kedua golongan Ahlul Kitab itu diberitakan telah menjadikan ahbâr dan râhib mereka sebagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah Swt. Kata al-ahbâr (bentuk jamak dari kata al-hibr atau al-habr) berarti ulama.

2. Kata ar-ruhbân (bentuk jamak dari kata râhib) dari kata al-ruhbah berarti al-khâif (orang yang takut).

3. Dalam perkembangan selanjutnya, al-ahbâr digunakan untuk sebutan ulama Yahudi, sementara ar-ruhbân digunakan untuk ulama Nasrani.

4. Kata arbâb merupakan bentuk jamak dari kata rabb. Secara bahasa, kata rabb berarti al-mâlik (pemilik), as-sayyid (tuan, pemimpin), al-mudabbir (pengatur), al-murabbî (pendidik), al-qayyim (pelaksana, pihak yang bertanggung jawab), dan al-mun‘im (pemberi nikmat).

Jika tidak di-mudhâf-kan, kata itu hanya digunakan untuk menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Jika digunakan untuk menyebut selain-Nya, harus di-mudhâf-kan dengan kata lainnya, seperti rabbu kadzâ.

5. Karena kata arbâb dalam ayat ini tidak di-mudhâf-kan, maka bermakna tuhan-tuhan. Hanya saja, pentahbisan pendeta dan rahib sebagai tuhan-tuhan tidak dalam konteks penyembahan, namun dalam konteks ketaatan mereka kepada pendeta dan rahib mereka dalam al-tahlîl wa al-tahrîm (penetapan halal dan haram). Mereka menjadikan pendeta dan rahib sebagai pemegang otoritas untuk menetapkan halal dan haram. Asy-Syaukani menyatakan, “Sesungguhnya mereka menaati pendeta-pendeta mereka, dalam perintah dan larangannya. Pendeta-pendeta itu menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka ditaati sebagaimana layaknya tuhan-tuhan.

6. Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Mareka menuturkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam perkara yang mereka halalkan dan mereka haramkan.

7. Penafsiran demikian juga disampaikan ath-Thabari, az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dan hampir semua mufassir.

8. Pengertian itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah saw. terhadap ayat ini. Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).

9. Dengan demikian, tindakan ibadah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ketaatan mereka terhadap pendeta dan rahib mereka dalam penetapan halal dan haram.

Selain itu, kaum Nasrani juga menjadikan Isa al-Masih sebagai tuhan. Allah Swt. berfirman: wa al-Masîh [i]bn Maryam ([dan mereka mempertuhankan] al-Masih putra Maryam). Kendati tidak disebut secara jelas pelaku yang menjadikan Isa al-Masih sebagai tuhan, bisa dipastikan yang dimaksud adalah kaum Nasrani. Realitas ini dapat dilihat dalam ayat sebelumnya. Orang-orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih putra Allah Swt. (QS at-Taubah [9]: 30).

Memang demikianlah fakta dogma utama agama Nasrani. Seseorang dapat dikatagorikan sebagai Nasrani jika mereka mengakui ketuhanan Isa al-Masih. Oleh al-Quran, orang-orang yang membenarkan doktrin tersebut disebut sebagai kafir dan diancam dengan azab yang pedih (lihat QS al-Maidah [5]: 73).

Jika al-Masih bin Maryam disebutkan secara jelas dalam ayat telah dijadikan sebagai tuhan, tidak demikian dengan Uzair. Kendati oleh kaum Yahudi juga dinyatakan sebagai ibnu Allâh (putra Allah), Uzair tidak disebutkan dalam ayat ini dijadikan sebagai tuhan. Menurut al-Alusi dan al-Syaukani ini mengisyaratkan bahwa kaum Yahudi tidak menjadikan Uzair sebagai tuhan.

10. sebagaimana kaum Nasrani menjadikan al-Masih sebagai tuhan.
Tindakan menyekutukan Allah Swt. jelas bertentangan dengan perintah-Nya. Allah Swt. berfirman: Wamâ umirû illâ liya’budû Ilâh[an] wâhid[an] (padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa). Menurut al-Asfahani dan as-Samin al-Halbi, ibadah bukan sekadar tunduk, namun ghâyat at-tadzallul (puncak ketundukan), sehingga tidak ada yang berhak atasnya kecuali Zat yang memiliki puncak keutamaan dan kemuliaan, yakni Allah Swt.

11. Dengan demikian, menurut al-Alusi, ayat ini menjelaskan bahwa mereka telah diperintahkan untuk menaati perintah Allah Swt dan tidak menaati perintah selain-Nya. Sebab, hal itu menafikan ibadah kepada-Nya.

12. Semua perkara yang dihalalkan-Nya adalah halal dan semua perkara yang diharamkan-Nya adalah haram. Tidak ada seorang pun selain-Nya yang berhak membantah atau mengubah ketetapan-Nya, termasuk para pendeta dan rahib.
Karena itu, jika pada kenyataannya mereka lebih menaati pendeta dan rahib mereka, maka sesungguhnya mereka telah menyimpang jauh dari perintah-Nya. Demikian juga tindakan kaum Nasrani yang mengangkat al-Masih bin Maryam sebagai tuhan. Mereka telah melakukan kesesatan yang nyata. Isa al-Masih yang mereka sembah itu pun membantah apa yang mereka lakukan (lihat QS al-Maidah [5]: 116).

Allah Swt. berfirman: Lâ ilâha illâ Huwa (Tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] selain Dia). Kata ilâh berasal dari kata aliha-ya’lahu yang bermakna maf’ûl. Karena kata aliha-ya’lahu sejalan maknanya dengan kata ‘abada-ya’budu, maka kata ilâh berarti ma’bûd (yang disembah, diibadahi). Dijelaskan Ibnu al-Mandzur, al-ilâh adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Segala sesuatu selain-Nya yang dijadikan sebagai ma’bûd (pihak yang disembah, diibadahi) juga disebut ilâh bagi orang pelakunya.

13. Inilah makna ilâh yang dimaksudkan dalam beberapa ayat (misal: QS al-Furqan [25]: 43).
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang berhak disembah, diibadahi, dan ditaati secara mutlak kecuali Allah Swt.
Kemudian Allah Swt berfirman: Subhânahu ‘ammâ yusyrikûna (Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan). Oleh al-Khazin frasa ini dijelaskan, “Mahasuci Allah Swt. dari sekutu bagi-Nya dalam ibadah dan hukum, dan sekutu dalam ketuhanan yang berhak dan diagungkan.”

14. Apa yang persekutukan (‘ammâ yusyrikûna) berkait erat dengan tindakan kaum Yahudi dan Nasrani yang dijelaskan sebelumnya. Para pendeta dan rahib ditahbiskan memiliki otoritas al-tahlîl wa al-tahrîm (menghalalkan dan mengharamkan). Tindakan mereka itu dikategorikan menyekutukan Allah Swt. Ditegaskan dalam ayat ini, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Sebab, hanya Dia yang memiliki otoritas membuat hukum.

Hak Membuat Hukum
------------------------
Di antara prinsip dasar yang tidak boleh diperselisihkan setiap Muslim adalah konsep Islam tentang al-hâkim (pemilik otoritas membuat hukum). Al-Hâkim atau pemilik otoritas membuat hukum bagi kehidupan manusia adalah Allah Swt.

15. Ketetapan ini di dasarkan dalil-dalil yang qath‘i, baik tsubût maupun dalalâh-nya, seperti firman Allah Swt:

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ

Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia (QS Yusuf [12]: 40).

Sebagaimana telah dipaparkan, ketetapan ini bagian inti dari tawhîd; bahwa satu-satunya ma’bûd, Zat yang patut disembah dan diibadahi, adalah Allah Swt. Tawhîd tidak hanya memberikan pengakuan bahwa Allah Swt. sebagai satu-satunya Pencipta alam semesta dan isinya, namun juga pengakuan bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Zat yang berhak disembah dan ditaati.

16. Karena itu, ketika ada pihak lain yang lebih ditaati melebihi Allah Swt., maka ia disebut sebagai ilâh bagi pelakunya (lihat QS al-Furqan [24]: 43-44, al-Jatsiyah [45]: 23). Al-Quran juga menyebut syurakâ’, sekutu-sekutu atau sesembahan selain-Nya yang membuat aturan bagi kehidupan. Allah Swt. berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS al-Syura [42]: 21).
Orang-orang musyik Arab, kendati mengakui bahwa Allah Swt. sebagai Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam raya, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Mukmin. Pasalnya, mereka tidak mengakui Allah Swt. sebagai satu-satunya ilâh yang patut ditaati.

17. Ini pula yang ditegaskan dalam ayat di atas. Kaum Yahudi dan Nasrani yang mendudukkan pendeta dan rahib mereka sebagai memiliki otoritas membuat hukum, menghalalkan, dan mengharamkan segala sesuatu, dinyatakan telah melakukan penyembahan.

Menggugat Kedaulatan Rakyat
----------------------------------
Di antara pilar utama demokrasi adalah ide tentang kedaulatan rakyat. Ide ini menetapkan bahwa rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Konsekuensinya, semua hukum yang berlaku harus bersumber dari rakyat. Sebagaimana rakyat berhak membuat hukum, rakyat pun berhak menolak atau membatalkan suatu hukum.
Dalam praktiknya, semua negara menggunakan sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat itu diwakilkan kepada lembaga legislatif. Di antara tugas lembaga ini adalah melegislasi semua hukum dan undang-undang (al-taqnîn wa al-tasyrî’). Semua hukum dan undang-undang yang berlaku harus mendapatkan pesetujuan darinya. Tanpa persetujuan darinya, UU tidak dianggap sah, dan oleh karenanya tidak boleh diterapkan.

Ketentuan ini berlaku umum, termasuk terhadap syariah. Sekalipun Allah Swt. jelas-jelas mewajibkan penerapan syariah dalam kehidupan, perintah itu tidak boleh dijalankan sebelum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif terlebih dulu. Jika lembaga itu menyetujuinya, baru boleh diterapkan. Sebaliknya, jika lembaga itu menolaknya maka syariah tidak boleh dijalankan.

Jika demikian, apa bedanya para pembuat hukum itu dengan para pendeta dan rahib yang dalam ayat ini disebut sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt.? Mereka disebut demikian lantaran didudukkan sebagai pembuat hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian, siapa pun yang ditahbiskan memiliki otoritas yang sama, mereka pun layak disebut sebagai arbâb min dûni Allâh, tuhan-tuhan selain Allah Swt.

Jika demikian, alasan apa lagi yang dapat digunakan untuk mendukung demokrasi?!
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]

Catatan kaki:
--------------
1 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),33
2 al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 241; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 302
3 Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 25
4 al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr,vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 30; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 452; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 457; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 (Kairo: Nahr al-Khair, 1993), 360; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3, 302
5 Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 1 (Beirut: Dar Shadir, tt), 399
6 al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452
7 al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432.
8 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 354; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 256; al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr,vol. 16, 31-32; al-Nasafi, Madârik al-Tanzâ3, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 495; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 276; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), 432; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2, 241; Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3, 25; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 353; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 35; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 , 360; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 2 (Beirut: Alam al-Kutub, tt), 250;
9 Bisa juga dilihat dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’aân, vol. 6, 354; al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-Naisaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 489. Hadits serupa dengan sedikit perbedaan redaksional bahasa dapat dijumpat dalam banyak kitab tafsir, seperti: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 432; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 394
10 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 276; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 452; al-Qihunij, Fath al-Bayân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 285-286
11 al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, 330; al-Samin al-Halbi, al-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 74
12 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 276
13 Ibnu al-Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 467.
14 al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîll, vol. 2, 353
15 Wahbah Zuhaily, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiyy (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 115; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh (Beirut: al-Nashir), 96. Lihat pula al-Amidiy, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, vol:1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 60;
16 Ahmad al-Qasas, Usus al-Nahdzah al-Râsyidah, (Beirut: Rabithah al-Wa’i al-Tsaqafiyyah, 1995), 119-1221; Muhammad Quthb, Koreksi Atas Pemahaman La Ilaha illa Allah, ter. Yudian Wahyudi (Yogyakarta: Al-Kauthar, 1990), 52
17 Taufik Mustofa, “Lâ Ilâha IllâLlâh: Lâ Ma’bûda IllâLlâh”, al-Wa’y, 96 (Dzu al-Hijjah, 1415), 4. Kesimpulan tersebut didasarkan pada QS al-Mukminun [23]: 84-90; al-Ankabut [29]: 61-63

Senin, 17 Maret 2014

Keadaan Seorang Mukmin




Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Manusia terdiri dari tiga golongan: mukmin, kafir, dan munafik.
Orang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlakukan mereka sesuai dengan ketaatannya.
Orang kafir, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan mereka sebagaimana kalian lihat.
Adapun orang munafik, mereka ada di sini, bersama kita di rumah-rumah, jalan-jalan, dan pasar-pasar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demi Allah, mereka tidak mengenal Rabb mereka. Hitunglah amalan jelek mereka sebagai bentuk ingkar mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sungguh, tidaklah seorang mukmin memasuki waktu pagi melainkan dalam keadaan cemas, meski telah berbuat baik. Tidak pantas baginya selain demikian. Ia pun memasuki waktu sore dalam keadaan khawatir, meski telah berbuat baik. Sebab, dia berada di antara dua kekhawatiran:
• Dosa yang telah berlalu; dia tidak tahu apa yang akan Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan terhadap dosanya (apakah diampuni atau tetap dibalasi dengan azab, -red.).
• Ajal yang tersisa (dalam hidupnya); dia tidak tahu kebinasaan apa saja yang akan menimpanya pada masa yang akan datang.”
(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 57-58)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1434 H/2013, rubrik Permata Salaf.

Jumat, 24 Januari 2014

Bukan Nggak boleh, cuma...,Jangan Terlalu Banyak Menuntut Ilmu Agama Di Dunia Maya

Kemajuan teknologi di zaman ini membuat orang mudah mendapatkan berita dan mengakses ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan fasilitas di dunia maya melalui berbagai situs dan blog dan ditunjang dengan jejaring sosial di dunia maya seperti fecebook, twitter, google. Kita patut mensyukuri hal ini, sehingga mereka yang agak susah mengakses ilmu dan menghadiri majelis ilmu bisa memperoleh ilmu agama terutama yang wajib dipelajari. 



Namun fenomena ini bisa menjadi kurang baik bagi mereka yang berlebihan dalam menuntut ilmu agama di dunia maya, walaupun ada juga yang beralasan menuntut ilmu agama padahal hanya ingin berlama-lama keasyikan atau kecanduan internet dan dunia maya. Dampak sikap berlebihan ini yang kurang baik adalah ditinggalkannya majelis ilmu di dunia nyata atau porsinya sangat sedikit. Padahal menuntut ilmu agama di dunia nyata dengan menghadiri majelis-majelis ilmu sangat banyak faidah dan manfaatnya dan tidak bisa dicapai melalui dunia maya. Dan hasilnya tentu jauh berbeda.
Berikut beberapa keutamaan yang tidak didapatkan jika lebih banyak menuntut ilmu di dunia maya dan lebihsedikit porsi menuntutnya imu di dunia nyata:
Tidak mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan hati
Duduk didepan komputer atau berinternet dengan HP tentu berbeda dengan menghadiri mejelis ilmu. Memang ia mendapatkan ilmu dengan membaca sendiri atau mendengarkan rekaman kajian, akan tetapi ketahuilah bahwa majelis ilmu di dunia nyata mempunyai banyak sekali keutamaan yang tidak bisa didapatkan melalui dunia maya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699; Abu Dawud, no. 3643; Tirmidzi, no. 2646; Ibnu Majah, no. 225; dan lainnya].

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-menyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2700).

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata,
المراد بمجالس الذكر وأنها التي تشتمل على ذكر الله
بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة
كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة
وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي
ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر
والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير
ونحوهما والتلاوة حسب وإن كانت قراءة الحديث ومدارسة العلم
والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى
 “Yang dimaksud dengan majelis-majelis dzikir adalah mencakup majlis-majlis yang berisi dzikrullah, dengan macam-macam dzikir yang ada (tuntunannya, Pent) berupa tasbih, takbir, dan lainnya. Juga yang berisi bacaan Kitab Allah Azza wa Jalla dan berisi doa kebaikan dunia dan akhirat. Dan menghadiri majelis pembacaan hadits Nabi, mempelajari ilmu agama, mengulang-ulanginya, berkumpul melakukan shalat nafilah (sunah) ke dalam majlis-majlis dzikir adalah suatu visi. Yang lebih nyata, majlis-majlis dzikir adalah lebih khusus pada majlis-majlis tasbih, takbir dan lainnya, juga qiraatul Qur’an sajaWalaupun pembacaan hadits, mempelajari dan berdiskusi ilmu (agama) termasuk jumlah yang masuk di bawah istilah dzikrullah Ta’ala”. [Fathul Bari, 11/212, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah.

Jika pada diri manusia masih bersisa sebagian jiwa hanifnya dan hatinya tidak tertutup total maka ketika ia menghadiri majelis ilmu, maka hilanglah stres, lelah dan kepenatan kehidupan dunia yang semu. Maka istirahatlah jiwa kita dari kepenatan dunia yang hanya sangat sementara ini di taman surga. Majelis dzikir adalah taman surga di dunia ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا
قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510 dan lainnya. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562.]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
إن للذكر من بين الأعمال لذة لا يشبهها شيء،
فلو لم يكن للعبد من ثوابه إلا اللذة الحاصلة للذاكر والنعيم
الذي يحصل لقلبه لكفى به، ولهذا سميت مجالس الذكر رياض الجنة
“Sesungguhnya dzikir di antara amal memiliki kelezatan yang tidak bisa diserupai oleh sesuatupun, seandaikan tidak ada balasan pahala bagi hamba kecuali kelezatan dan kenikmatan hati  yang dirasakan oleh orang yang berdziki, maka hal itu [kenikmatan berdzikit saja, pent] sudah mencukupi, oleh karena itu majelis-majelis dzikir dinamakan taman-taman surga.” [Al-Wabilush Shayyib hal. 81, Darul Hadist, Koiro, cet. Ke-3, Asy-Syamilah]

Tidak mendapat contoh langsung akhlak dan takwa dari ustadz/syaikh
Inilah salah satu yang terpenting dan tidak kita dapatkan di dunia maya. Bahkan ini juga yang terkadang dilalaikan oleh mereka yang menghadiri majelis ilmu di dunia nyata. Sebagian dari kita hanya berharap ilmu saja ketika menghadiri majelis ilmu, padahal yang terpenting adalah contoh langsung akhlak, takwa, kesabaran, tawaddu’ dan wara’ dari para ustadz/syaikh. Karena jika sekedar ilmu maka semua orang bisa berbicara akan tetapi untuk menerapkannya dan mencontohkannya maka hanya beberapa orang yang Allah beri taufik yang bisa melakukannya.

sehingga perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya. Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik anaknya, beliau memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,
قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “،
فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة،
ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها،
ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول:
” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Inbul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)

Tidak dapat bertemu dengan orang-orang shalih dan berorientasi akhirat
Di majelis ilmu maka kita akan bertemu dengan beberapa orang yang shalih yang tidak kita dapati di depan komputer dunia maya. Bertemu dengan orang-orang shalih bisa memperkuat iman kita, bisa memuculkan persaingan sehat dan berlomba-lomba mengenai akhirat. Salah satu contohnya sebagimana dikisahkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, beliau berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه،
فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله
وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة
 “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami  mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang. [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]

Tidak punya guru kemungkinan salah pahamnya lebih banyak
Salah satu kekurangan menuntut ilmu agama dengan hanya membaca di dunia maya adalah tidak ada bimbingan guru. Sehingga dengan hanya membaca saja maka ada kemungkinan ia bisa salah paham, masih mending jika salah ilmu dunia, akan tetapi ini salah mengenai ilmu akhirat yang bisa jadi ujung-ujungnya adalah neraka,wa’liyadzu billah.
Oleh karena itu diperlukan seorang guru yang membimbing dalam menutut ilmu, membimbing materi apa yang harus dipelajari, kemudian membimbing kitan apa yang selamat akidahnya dan membimbing metode belajar disetiap materi ilmu. Walaupun bisa belajar dengan hanya membaca-baca saja akan tetapi ada kemungkinan salah paham dan memerlukan waktu yang lama dan memerlukan keseriusan yang lebih. Lebih-lebih ia masih penuntut ilmu pemula dan belum memiliki berbagai dasar ilmu.

Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu ketika ditanya,
هل يجوز تعلم العلم من الكتب فقط دون العلماء وخاصة
إذا كان يصعب تعلم العلم من العلماء لندرتهم؟
وما رأيك في القول القائل:
من كان شيخه الكتاب كان خطؤه أكثر إلى الصواب
“Apakah boleh memperlajari ilmu dari buku-buku saja tanpa bimbingan ulama/guru, khususnya jika sulit mempelajari ilmu dari ulama karena sedikitnya jumlah mereka, bagaimana pendapatmu dengan perkataan, ‘barangsiapa yang gurunya adalah buku, maka kesalahannya lebih banyak dari benarnya?”

Beliau menjawab,
لا شك أن اعلم يحصل بطلبه عند العلماء وبطلبه في الكتب
… ولكن تحصيل العلم عن طريق العلماء أقرب من تحصيله
عن طريق الكتب؛ لأن الذي يحصل عن طريق الكتب يتعب
أكثر ويحتاج إلى جهد كبير جداً… ومع ذلك فإنه قد تخفى
عليه بعض الأمور… وأما قوله: “من كان دليله كتابه فخطؤه
أكثر من صوابه” ، فهذا ليس صحيحاً على إطلاقه ولا فاسداً
على إطلاقه، أما الإنسان الذي يأخذ العلم
من أي كتاب يراه فلا شك أنه يخطئ كثيراً
“Tidak diragukan lagi bahwa ilmu bias diperoleh dengan melalui ulama/guru dan melalui buku-buku…akan tetapi memperoleh ilmu melalui ulama/guru lebih bisamencapai hasil daripada melalui buku-buku. Karena menuntut ilmu melalui buku-buku lebih susah dan membutuhkan kesungguhan yang lebihdan juga terkadang bisa jadi samar baginya beberapa perkara…adapun perkataan ‘barangsiapa dalilnya adalah bukunya maka kesalahannya lebih banyak dari benarnya maka ini tidak mutlak benar dan tidak mutlak juga salah, adapun yang mengambil ilmu dari buku apa saja yang ia lihat maka tidak diragukan lagi bahwasanya ia banyak kesalahannya” [Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 114, Darul Itqaan, Iskandariyah]

Belajar tidak sistematis
Salah satu juga yang kurang baik jika lebih banyak menuntut ilmu di dunia maya terutama bagi mereka yang pemula dan belum memiliki dasar-dasar ilmu adalah belajar tidak sistematis. Belajar apa yang ia temukan berupa link dan situs-situs, ia juga hanya belajar “semau gue” apa yang ingin dibaca ia baca, jika sedang malas maka tidak dibaca. Maka cara seperti ini tidak akan menghasilkan ilmu yang kokoh, tidak memulai dari dasar dan bisa jadi malah kebingungan yang berdampak pada kebosanan. Seharusnya seseorang belajar secara sistematis, menyelesaikan satu kitab dasar, kemudian berpindah ke kitab lanjutan dan seterusnya dengan istiqamah.
Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata mengenai hal ini,
ألا يأخذ من كل كتاب نتفة، أو من كل فن قطعة ثم يترك؛
لأن هذا الذي يضر الطالب، ويقطع عليه الأيام بلا فائدة،
فمثلاً بعض الطلاب يقرأ في النحو : في الأجرومية ومرة
في متن قطر الندي، ومرة في الألفية. ..وكذلك في الفقه:
مرة في زاد المستقنع، ومرة في عمدة الفقه، ومرة في المغني ،
ومرة في شرح المهذب، وهكذا في كل كتاب، وهلم جرا ،
هذا في الغالب لا يحصلُ علماً، ولو حصل علماً
فإنه يحصل مسائل لا أصولاً
Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-sepotong kemudian meninggalkannya, karena ini membahayakan bagi penuntut ilmu dan menghabiskan waktunya tanpa faidah, misalnya sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu, ia belajar kitab Al-Jurumiyah sebentar kemudian berpindah ke Matan Qathrun nadyi kemudian berpindah ke Matan Al-Alfiyah..demikian juga ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar, kemudian Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-Muhazzab, dan seterusnya. Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu, seandainya ia memperoleh ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah dan dasar-dasar.” [Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 39, Darul Itqaan, Iskandariyah]

Berlama-lama di dunia maya bisa terjebak fitnah yang banyak
Ini juga hal yang terpenting, karena berlama-lama di dunia maya dengan tidak diiringi takwa maka bisa terjerumus dalam banyak fitnah dan bahaya. Walaupun niat awalnya menuntut ilmu akan tetapi hati manusia ini lemah. Bahaya tersebut bisa berupa fitnah wanita dan lawan jenis, membuang-buang waktu, chatting dan mengobrol yang kurang penting dengan berlebihan, curhat yang tidak penting dan mengadu kepada manusia, dakwah berlebihan di dunia maya sampai lupa dakwah dengan orang-orang disekitar kita. Dan masih banyak lagi
Perlu kita sadari bahwa kita hidup di dunia nyata, maka luangkan waktu lebih banyak di dunia nyata, menuntut ilmu di majelis ilmu, berdakwah dengan orang-orang disekitar kita dan lebih banyak berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di dunia nyata.
Demikianlah yang dapat kami jabarkan, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
18 Shafar 1433 H bertepatan 12 Januari 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis
Artikel http//muslimafiyah.com

Minggu, 19 Januari 2014

Beberapa Hikmah dan Manfaat di Balik Musibah



Berikut beberapa hikmah di balik terjadinya musibah dan cobaan[1].

Pertama: Agar Hamba Mengenal Keagungan Rubûbiyah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan Kemuliaan-Nya
Bila Allah Jalla Jalâluhû menghendaki kejelekan bagi hamba, tiada seorang pun yang dapat menolak kejelekan itu.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Dan apabila Allah menghendaki kejelekan terhadap suatu kaum, tak ada yang dapat menolak (kejelekan) itu; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, kecuali Dia.” [Ar-Ra’d: 11]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir) lalu mengurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” [Ar-Ra’d: 41]
Kedua: Mengenal Kehinaan dan Kerendahan Diri dalam Menegakkan Ibadah kepada-Nya
Saat dilanda musibah, manusia akan menyadari keadaannya sebagai para hamba dan di bawah kekuasaan Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Mereka semua tidak terlepas dari ketetapan dan pengaturan Allah serta qadha dan takdir-Nya. Hal ini tersirat dari pengakuan orang-orang beriman sebagaimana dalam firman-Nya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang, apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn‘sesungguhnya kami hanyalah untuk Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami dikembalikan’.’.”[Al-Baqarah: 156]
Ketiga: Mengantar Hamba kepada Pintu Ikhlas
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, tiada yang dapat menghilangkan (kemudharatan) itu, kecuali Dia sendiri.” [Al-An’âm: 17]
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka, apabila menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya; (Namun), tatkala (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka pun (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabût: 65]
Keempat: agar Hamba Bertaubat dan Kembali kepada Allah ‘Azza Wa Jalla
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabb-nya dengan kembali kepada-Nya; (Namun) kemudian, apabila (Rabb-nya) memberi nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia mohonkan (kepada Allah) untuk (dihilangkan) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya engkau termasuk sebagai penghuni neraka.’.” [Az-Zumar: 8]
Kelima: Adanya Doa dan Penyerahan Diri kepada Allah Jalla Jalâluhû
Allah Jalla Jalâluhû berfirman,
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa saja yang kalian seru, kecuali Dia. (Namun), tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling (dari-Nya). Dan adalah manusia itu selalu tidak berterima kasih.” [Al-Isrâ`: 67]
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,
بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ
“(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kalian seru maka Dia menghilangkan bahaya yang, karena (bahaya) itu, kalian berdoa kepada-Nya jika Dia menghendaki, dan kalian meninggalkan (sembahan-sembahan) yang kalian persekutukan (dengan Allah).” [Al-An’âm: 41]
Pada ayat lain, Rabb kita Jalla Jalâluhû menegaskan,
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan,) ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.’.’.” [Al-An’âm: 63]
Keenam: Menumbuhkan Sifat Hilm ‘Berakal, Kedewasaan, Kesabaran’ saat Terjadi Musibah
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah beliau ikrirkan kepada bapaknya itu. Oleh karena itu, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri dari (bapak)nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seseorang yang hatinya sangat lembut lagi sangat hilm.” [At-Taubah: 114]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyajj Abdul Qais,
إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
“Sesungguhnya, pada engkau, ada dua (akhlak) yang Allah cintai: hilm dan anâh ‘sikap tidak tergesa-gesa’.”[2]
Ketujuh: Adanya Sifat Memberi Maaf kepada Orang-Orang yang Tertimpa Musibah
Sifat memberi maaf merupakan sifat yang sangat terpuji. Dalam firman-Nya, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâberfirman menjelaskan sebagian sifat orang-orang yang bertakwa,
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
“Dan memaafkan (kesalahan) manusia.” [Âli ‘Imrân: 134]
Allah Jalla Jalâluhû juga berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.” [Asy-Syûrâ: 40]

Kedelapan: Mendidik Diri untuk Bersabar
Kesabaran adalah akhlak yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ cintai. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan Allah menyukai orang-orang sabar.” [Âli ‘Imrân: 146]
Kesabaran adalah sebab dilipatgandakannya kebaikan tanpa batasan. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâberfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang pahala mereka dicukupkan tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Dan tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” [3]
Kesembilan: Musibah Menggugurkan Dosa dan Kesalahan
Seorang mukmin, yang bersabar dan ridha akan ketentuan Allah saat tertimpa musibah, dosa dan kesalahannya akan digugurkan.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang mukmin ditimpa oleh sakit terus-menerus, keletihan, penyakit, kesedihan, hingga gundah gulana yang menyusahkannya, kecuali bahwa dia akan digugurkan dari kesalahan-kesalahannya.”[4]
Kesepuluh: Kegembiraan karena Adanya Sejumlah Manfaat di Balik Musibah
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنْ كَانُوا لَيَفْرَحُوْنَ بِالْبَلاَءِ كَمَا تَفْرَحُوْنَ بِالرَّخَاءِ
“Sungguh mereka (para nabi) sangat bergembira dengan musibah sebagaimana kalian bergembira dengan kemudahan.” [5]
Kesebelas: Bersyukur terhadap Musibah Lantaran Berbagai Manfaat
Berbagai manfaat yang dipetik di balik musibah adalah bagian dari anugerah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ telah memerintah,
وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” [An-Nahl: 114]
Telah dimaklumi bahwa orang sakit kadang mensyukuri perbuatan seorang dokter yang mengamputasi tubuhnya guna kesembuhannya. Walaupun harus merelakan ketiadaan sebagian anggota tubuhnya, dia bersyukur akan kesembuhannya.
Kedua Belas: Rasa Rahmat dan Iba kepada Mereka yang Tertimpa Musibah
Musibah, yang melanda seorang muslim, sering menggerakkan hati muslim lain untuk berbuat kebaikan bagi saudara-saudaranya tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan kasih-mengasihi bagaikan satu jasad. Bila sebagian anggota jasad mengeluh (kesakitan), hal itu akan dirasakan oleh seluruh anggota jasad dalam bentuk tidak bisa tidur atau demam.” [6]
Ketiga Belas: Mengenal Besarnya Nikmat Afiat
Nikmat afiat serta nikmat perihal terhindarnya seseorang dari musibah dan petaka akan terasa saat orang tersebut dilanda musibah atau menyaksikan musibah yang menimpa orang lain. Oleh karena itu, Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,
مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلاَءُ
“Barangsiapa yang menyaksikan orang yang tertimpa ujian, hendaknya dia membaca, ‘Alhamdulillâhil ladzî ‘âfânî mimmâb talâka bihi wa fadhdhalanî ‘alâ katsîrin mimman khalaqa tafdhîlan ‘segala puji bagi Allah yang memberi afiat kepadaku terhadap sesuatu yang menimpamu, dan (Allah) telah menberi keutamaan kepadaku di atas banyak makhluk-Nya’.’ Pasti ujian itu tidak akan menimpanya.” [7]
Keempat Belas: Pahala yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ Persiapkan di Akhirat
Dari sejumlah penjelasan yang telah berlalu, tampak berbagai pahala akhirat di balik keberadaan musibah dan petaka. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ                                                                                                           
“Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” [8]
Kata kebaikan, yang dijanjikan dalam hadits, adalah segala hal yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat, baik dalam bentuk pahala maupun selainnya.
Namun, harus diketahui pula bahwa pahala tersebut adalah bagi siapa saja yang menerima musibah dengan kesabaran. Juga, pahala yang diberikan berjenjang sesuai dengan kekuatan sabar. AllahSubhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kalian diberi balasan terhadap segala sesuatu yang telah kalian kerjakan.” [Ath-Thûr: 16]
Kelima Belas: Berbagai Manfaat yang Tersembunyi di Balik Musibah
Di antara hikmah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah bahwa terkadang, pada musibah, ada kebaikan-kebaikan yang tidak disangka oleh seorang hamba.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk untuk kalian; Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada sesuatu itu.” [An-Nisâ`: 19]
Pada ayat lain, Allah Jalla Jalâluhû berfirman pula,
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu berasal dari golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, tetapi hal itu adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dia kerjakan. Dan siapa saja di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, adzab yang besar bagi dia.”[An-Nûr: 11]
Keenam Belas: Musibah Menahan Manusia untuk Berlaku Sombong, Congkak, dan Sewenang-Wenang
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menjelaskan salah satu sifat manusia dalam firman-Nya,
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat bahwa dirinya serba cukup.” [Al-‘Alaq: 6-7]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Dia menurunkan apa-apa yang Dia kehendaki dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ: 27]
Dengan musibah dan cobaan, seorang hamba akan menahan diri dari segala sifat keangkuhan.
Ketujuh Belas: Merupakan Pendidikan bagi Hamba untuk Ridha kepada Ketentuan dan Takdir Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya, besarnya pahala bersama dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya, apabila mencintai suatu kaum, Allah akan menguji (kaum) tersebut. Barangsiapa yang ridha, untuknya keridhaan (Allah), (tetapi) barangsiapa yang murka, baginya kemurkaan (Allah).” [9]
Kedelapan Belas: Menampakkan Konsekuensi dan Keagungan Nama-Nama yang Maha Baik dan Sempurna (Al-Asma` Al-Husna) Milik Allah Jalla Jalâluhû
Di antara Al-Asma` Al-Husna milik Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah Ar-Rabb (Yang Maha bersendirian dalam kepemilikan, pengaturan, kekuasaan, penciptaan, dan perbuatan) dan Al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa). Keagungan nama-nama ini akan terasa dengan menyaksikan musibah dan petaka yang Allah ‘Azza Wa Jallaturunkan, yang kehendak Allah tersebut tidak akan mampu ditolak oleh siapapun. Demikian pula kandungan dan konsekuensi Al-Asma` Al-Husna yang lain.
Kesembilan Belas: Keberadaan Musibah di Tengah Manusia Akan Membuat Seorang Hamba Tersadar bahwa Seluruh Manusia Sangat Bergantung kepada Penjagaan dan Perlindungan AllahSubhânahû Wa Ta’âlâ 
Apabila tidak ada rahmat dan perlindungan Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dia akan binasa di tengah badai musibah dan petaka. 
Kedua Puluh: Seorang Hamba yang Didera oleh Petaka Akan Banyak Merenungi Sebab yang Mendatangkan Petaka
Dengan demikian, dia akan terdidik untuk banyak memperbaiki diri, membenahi aib dan keburukannya, serta menahan diri dari membahas aib orang lain.
Kedua Puluh Satu: Musibah Menyingkap bahwa Kehidupan Dunia Hanyalah Sementara, bukan Kehidupan Kekal Abadi
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan permainan belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui.” [Al-‘Ankabût: 64]
Wallâhu Ta’âlâ A’lam


------------------------------------------------------------

[1] Tujuh belas poin pertama dirangkum dari Fawâ`id Al-Balwâ wa Al-Mihan karya Al-‘Izz bin Abdus Salam, selebihnya dibahasakan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Zâd Al-Ma’âd Fî Hadyi Khair Al-‘Ibâd 4/ 188-196 dan Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain 2/362-372.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbâs dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhum.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasâ`iy dari Abu Sa’îd Al-Khudryradhiyallâhu ‘anhû.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhumâ, serta oleh At-Tirmidzy, dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.
[5] Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Râsyid, Ahmad, Ibnu Mâjah, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 2047.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân bin Basyir radhiyallâhu ‘anhumâ.
[7] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 602.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhû.
[9] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 146.
Sumber : http://dzulqarnain.net/beberapa-hikmah-dan-manfaat-di-balik-musibah.html