Langit
Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental
dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan
berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan
mataharipun turut enggan menampakan wajahnya.
Seakan-akan
seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat
sekalian alam.
Inna
lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang
paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di
hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga
shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wassalam.
Sementara
di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria berkulit legam tengah menangis
tanpa bisa menahan tangisnya.
Hingga
waktu shalatpun telah tiba.
Bilal
bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa:
mengumandangkan adzan.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar…”
Suara
beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk
Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang
selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi
masjid.
“Asyhadu
anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara
bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar
tak beraturan.
“Asy…hadu..
an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara
bening itu tak lagi terdengar jelas...
Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar
hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup
berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir
deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu,
hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas
air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik
air hujan.
Ia
mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua
kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul
ALLAH.
“Asy…ha..du.
.annna…”
Kali
ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya
mulai limbung.
Sahabat
yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.
Saat
itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid
Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua
merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua
menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis
Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa
Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.
Ia
pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan.
Saat
mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya di saat ia selalu terhina,
hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga
mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah
saudari perempuanmu dengannya”.
Pria
legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria
berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.
Kenangan-kenangan
akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia
mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami
dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa
dibendung.
Kini
tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun
teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan
Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal
berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai
Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini
tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang
ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat.
Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di
depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat.
Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu
untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu
saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak
tersebut. Hati Bilal makin perih.
Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah
bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah
tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu
Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak
mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk
meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut
kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan
semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota
itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin
berduka.
Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan
budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya,
ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus
mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya
berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah,
maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu
Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku
memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal
menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa
pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu
Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah
bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah
Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak
mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah
Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah
cukup lama.
Jazirah
Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi
wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar
Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar
kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu,
menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali.
Setelah dua
tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan
mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya
menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar
berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh
kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada
Rasul-Nya.
Umar
membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan
Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk
dan membujuk.
“Hanya
sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat
yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada
Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal
tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali,
saat waktu Subuh...
Hari
saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita
tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin
memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu
anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu
anna Muhammadarrasulullah…”
…
Sampai
di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi
dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih
indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang
adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat
kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara
spontan.
“Asyhadu
anna Muhammadarrasulullah…”
Kini
getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam
rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu
kembali basah akan air mata.
“Hayya
‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak
ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya
`alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan
akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin
meningkat dan membuncah.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah
yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada
selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La
ilaha illallah…”
Tiada
tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah
wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
…
Namanya
adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah
kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang
sepanjang zaman.
Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran
untuk mendengarnya.
Bilal
lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama
Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam
yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan
sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal
dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani
Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin
Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika
Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi
wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk
orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini
hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu,
seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin
Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan
al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal
merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun.
Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia,
sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di
jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa
pun.
Orang-orang
Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku
yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun)
dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga
orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan
penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang
ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Sementara
itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila
matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi
perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian
orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan
membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.
Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka
sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya,
saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang
tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan
orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap
pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya.
Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan
kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang
Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama
para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun
Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada
telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad,
Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap
mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka
memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah
dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal
menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan
mereka semakin hebat dan keras.
Apabila
merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher
Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak
berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang
Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena
membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan
agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa
merasa bosan dan lelah.
Suatu
ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia
mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju,
walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai
transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar
sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu
Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun,
maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika
Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah
membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu,
biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq
Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk
hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu.
Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin
Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda,
Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai
malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku
bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah
suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah
aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak
perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya;
merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya
iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan
Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal
tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy
yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk
menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun
beliau pergi.
Selalu
bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya
dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah
lepas dari pemiliknya.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di
Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang
mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.
Biasanya,
setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal
falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat
beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu
ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk
barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak,
sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab,
tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat
itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan
shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat
melakukan shalat di luar masjid.
Bilal
menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong
tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang
pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf
tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir
deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan
di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal
bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu
Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai
kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan
Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat
Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik
dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung
itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk
mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul
Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan
dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan
pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat adzan yang
dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan
sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa
kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat
adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah
binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang,
kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah
membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas
dalam Perang Badar.
Khalid
bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku
dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal
sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara
al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati
saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam
bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang
budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara
Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa
pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti
akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal
menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup.
Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara
yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan
kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
…
Tahun
20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70
tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis,
menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui
Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan
menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain.
Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.”
Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara
langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam
kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini
ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih
di dunia.
Referensi:
-
Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya
Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya