Oleh : cha
Ketika lelaki berpikir tentang perempuan kemudian ia resah karena meragukan si
perempuan yang ia kagumi, itu sudah sebuah kegalauan.
Apakah dia akan diterima?
Apakah wanita itu akan mencintainya, atau…, apakah dia akan mendapatkan wanita
itu selamanya.
Masa hadirnya kegalauan soal asmara bisa datang pada rentan waktu usia yang sangat
muda.
Lalu kegalauan itu akan terus bermetamorfosa
sejalan dengan perkembangan mental tiap-tiap aktor, meski bukan dengan object
yang sama, bahkan tidak hanya dalam hal asmara.
Dia mulai berpikir soal
ujiannya, berpikir soal kerjaannya apa setelah lulus kuliah.
Dia juga akan berpikir tentang pernikahan. Soal nafkah, soal anak anak dia. Bahkan soal mertua dan orang tuanya pula. Kegalauan ini menjadi semakin kompleks.
Dia juga akan berpikir tentang pernikahan. Soal nafkah, soal anak anak dia. Bahkan soal mertua dan orang tuanya pula. Kegalauan ini menjadi semakin kompleks.
Saat sudah menikah, dia tak lagi
berpikir tentang cinta istri padanya. Karena baginya itu sudah cukup, dan dia
yakin istrinya tidak akan kemana mana. Karena dia pikir, istrinya sudah aman
berada di tangannya. Yang kemudian dia pikirkan adalah pencapaian prestasi
hidup pada tahap-tahap berikutnya, semisal; peningkatkan ekonominya, peningkatkan
prestasi karir dan juga peningkatkan pengaruhnya terhadap komunitasnya, baik
dalam lingkup bisnis maupun lingkup lingkungan sosial.
Beda pria, beda pula wanita dalam
hak kegalauan. Pada wanita justru terjadi sebaliknya. Jika pada lelaki, tak ada
kekhawatiran dalam hal cinta seorang istri kepadanya, berbeda halnya dengan
perempuan, semakin lama akan semakin khawatir dengan cinta suami padanya. Ia
sadar semakin tua dan semakin tidak menarik. Sementara suaminya semakin
bersinar dan tetap saja menjadi sosok yang bisa dimiliki oleh siapapun. Sangat
boleh jadi Sang suami bisa disukai oleh banyak wanita di luar sana. Mungkin suaminya
pendiam, tetapi wanita di luar sana bisa saja sangat menggoda.
Hal hal seperti ini harus dipahami. Suami harus bisa memahami istri, demikian pula istri harus bisa memahami suami. Posisi kegalauannya harus didudukkan, begitupun kegelisahannya harus ditenangkan.
Sehingga ketika kegalauan datang,
sementara imunitas jiwa tak terlalu sanggup untuk meredamnya, masih ada sosok
partner yang mengerti akan kegalauan pasangannya, maka solusipun akan mudah
terengkuh, dan kegalauan itu justru menjadi bumbu penyedap dalam sebuah dapur
yang bernama “Mahligai Cinta”, Masyaa Allah…