Safar akan
membuka jati diri seseorang…,
Ya, seperti
itulah yang pernah penulis ketahui dari penjelasan – penjelasan para pendakwah,
karena memang kalau kita lihat makna dari kata “Safar” itu sendiri salah
satunya adalah bermakna “membuka” (as-safaru–safran).
Berikut
pengertian as-safar السَّفَرُ yaitu memisahkan diri dari negeri.
Seseorang keluar dari negerinya menuju ke negeri yang lain. Disebut safran سَفْرًا lantaran terambil dari makna al-isfar الْإِسْفَارُ yang mengandung pengertian keluar
dan terang, nyata. Seperti disebutkan dalam ungkapan أَسْفَرَ الصُّبْحُ yang bermakna bersinar atau
bercahaya. Ada yang menyebutkan pula bahwa secara makna disebut
as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya,
menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak
jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar (bepergian) bersamanya.
Ketika dalam safar itulah jati diri senyatanya, yaitu perangai dan wataknya
bisa diketahui.
Di antara
watak atau karakter yang sering dan mudah terlihat pada saat safar di antaranya
soal mempertahankan kesabaran. Ketika di negerinya mungkin seseorang terlihat
sabar dan mudah menerima keadaan, namun ketika dalam safar bisa jadi ia tidak
mampu mempertahankan kesabarannya, karena banyak factor yang
melatarbelakanginya, missal; kondisi fisik yang terlalu lelah, hati yang tidak
tenang atau tertekan perasaannya karena melihat hal – hal yang ia tidak
sukainya dalam safarnya itu.
Namun
sesungguhnya dapat kita simpulkan sejatinya ia seperti itulah karakter
sesungguhnya yang ia miliki. Sabar di saat tenang, nyaaman damun tidak ketika
ia mendapatkan sedikit tekanan.
Karakter
lain dapat kita lihat pula ketika kita bersafar secara berjamaah (berkelompok
atau Group) maka akan nyata sekali karakter – karakter yang akan bermunculan
pada saat itu. Misal; ada orang yang punya karakter sukanya minta hak – haknya
saja tapi tidak mau tahu dengan kewajibannya sebagai peserta dalam group
perjalanan tersebut. Namu ada pula
karakter – karakter yang menyenangkan, tipe – tipe karakter sahabat sejati, dan
dalam perjalanan (safar) kali inipun aku menemukannya. Tipe inilah yang
menjadikan perjalanan menjadi sebuah khafilah Rahmah, sebuah komunitas solid
yang mampu menghadapi segala rintangan yang ada dalam sebuah ekspedisi.
Singkatnya dari sebuah perjalanan kita mampu mengenali berbagai karakter
manusia dan bisa mengambilnya sebagai pelajaran penting dalam kehidupan kita,
karena dengan mengenali berbagai karakter dari banyak orang kita akan mampu
bersikap bijak, mampu menerima banyaknya perbedaan serta terlebih penting kita
mampu mengenali karakter – karakter yang tidak menguntungkan kita dan mampu
terhindar darinya dan kita bisa berhati hati terhadapnya.
Tak
mengherankan bila kemudian Umar bin Al-Khaththab Radhiallahu’an apabila ada
seseorang yang merekomendasikan temannya, lantas Umar Radhiallahu’an bertanya:
“Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul
dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar Radhiallahu’an pun menerimanya. Jika
jawabannya “Belum pernah”, maka Umar Radhiallahu’an akan mengatakan, “Engkau
belum mengetahui jati diri senyatanya tentang orang itu.” (Syarh Riyadhish
Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, 2/1214)
Bagi
sebagian orang, bepergian adalah satu aktivitas biasa. Bepergian dianggap
sebagai bagian dari rutinitas dalam hidupnya. Ini bisa terjadi manakala skala
aktivitasnya sudah tidak lagi pada tataran lokal, tapi mengglobal: lintas
wilayah bahkan lintas mancanegara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa syariat
telah memberi rambu terkait masalah bepergian ini. Rasulullah Shalallahualaihi
wassalam menuntunkan bahwa seseorang
yang telah menyelesaikan urusan safarnya, hendaklah bersegera kembali pulang menemui
keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’an, sungguh Rasulullah
Shalallahualaihi wassalam telah
bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ
مِنَ الْعَذَابِ
يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَنَوْمَهُ، فَإِذَا
قَضَى أَحَدُكُمْ
نَهْمَتَهُ مِنْ
سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ
إِلَى أَهْلِهِ
“Bepergian
itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan
tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia
menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.” (Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan
Shahih Muslim no. 179)
Terkait
hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah
mengungkapkan bahwa tatkala seseorang melakukan bepergian, sesungguhnya dia
telah meninggalkan keluarganya. Kala itu, kadang keluarga membutuhkan
kehadirannya. Keluarga yang di rumah membutuhkan bimbingan, pengarahan,
pendidikannya, atau selainnya. Karenanya, Rasulullah Shalallahualaihi
wassalam memerintahkan sebagaimana
disebutkan dalam hadits di atas.
Adapun
maksud azab dalam hadits tersebut, meliputi azab berupa hal-hal yang
bersifat fisik dan non fisik. Terutama keadaan orang-orang yang safar pada
zaman dahulu. Di mana mereka menggunakan kendaraan unta, hingga mengalami
kesukaran yang amat sangat. Mereka merasakan panas kala musim panas, juga
merasakan dingin kala muslim dingin membalut alam.
Mereka tak lagi bisa
menikmati makan dan minum sebagaimana biasa di hari-hari saat tak bersafar.
Begitu pun dengan istirahatnya, tak lagi bisa tidur senyaman kala di tempat
mukimnya. Karenanya, diperintahkan bagi orang-orang yang safar untuk bersegera
kembali pulang ke negerinya, menjumpai keluarganya serta beristirahat
bersamanya. Menjaga dan mendidik mereka.
Hadits dari
Abu Hurairah Radhiallahu’an di atas menjadi dalil keutamaan untuk tinggal
bersama keluarga dibanding melakukan safar, kecuali jika ada keperluan yang
harus dipenuhi dengan safar. Dari sisi kebutuhan keluarga ini pula, maka ketika
seorang sahabat bernama Malik bin Al-Huwairits Radhiallahu’an tiba di Madinah
bersama rombongan kaumnya yang berjumlah 20 orang guna menemui Nabi
Shalallahualaihi wassalam, di mana mereka tinggal (di Madinah) selama 20 hari.
Saat terlihat di antara mereka rasa rindu kepada keluarganya, maka Rasulullah
Shalallahualaihi wassalam bersabda:
ارْجِعُوا إِلَى
أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا
فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ
“Kembalilah kepada keluarga kalian.
Tinggallah bersama mereka. Ajarilah dan didiklah mereka.” (Shahih Al-Bukhari no. 631)
Ini
menunjukkan betapa seseorang itu tidak semestinya meninggalkan keluarganya
kecuali lantaran ada kebutuhan. Inilah yang lebih utama. (Syarh Riyadhi
Ash-Shalihin, 2/1230)
وَكَانَ رَسُولُ
اللهِ n رَحِيمًا
رَفِيقًا
“Adalah Rasulullah Shalallahualaihi
wassalam begitu kasih dan lembut.”
(Shahih Al-Bukhari no. 631)
Begitulah
yang dinyatakan Malik bin Al-Huwairits Radhiallahu’an kala rombongannya telah
merasakan kerinduan kepada keluarga lantas Rasulullah Shalallahualaihi wassalam
memerintahkan mereka pulang. Begitulah Islam, agama nan penuh rahmah, kasih
sayang, dan kelembutan.
Jkt, 26 Juni
2013
Abie sabiella