Sejalan dengan makin berumurnya usia
pernikahan, tak jarang kita akan temukan di keluarga – keluarga muslim sebuah
kondisi dimana kekakuan dan ketidak harmonisan mulai Nampak, bahkan cendrung
mendominasi situasi di tengah – tengah keluarga itu.
Banyak factor yang melatarbelakanginya seperti
rasa jenuh terhadap situasi di dalam rumah tangga anda yang terlalu monoton,
sehingga timbullah rasa kebosanan, ini yang sering di keluhkan banyak laki –
laki.
Sedang di pihak Istri (yang tidak bekerja) atau tepatnya profesi sebagai
ibu rumah tangga adalah adanya kejenuhan dimana ia merasa telah berbuat banyak,
mengurus anak, suami, rumah tangga, dan lain-lain, tetapi yang didapat hanya
letih. Tak seorangpun yang tahu kelelahannya. Pekerjaan masih menumpuk, ada lagi
dan ada lagi. Seolah-olah tak kunjung selesai, dari bangun tidur hingga
menjelang tidur lagi. Karenanya kondisi ini sering membuat seorang wanita
gampang tersinggung, suka cemberut, atau bahkan mudah marah. Sekalipun profesi ini
adalah propesi yang sungguh mulia. Namun ada kalanya dalam menjalankan tugas yang
mulia ini seorang ibu rumah tangga tetap saja merasakan adanya satu kejenuhan.
Situasi yang tidak kondusif ini, jika
didiamkan, akan menjadi semakin parah, sisa – sisa serpihan cinta akan
berserakan, ada namun tak memberikan dampak. Dan Setiap orang pasti akan
mengalami masa-masa itu. Rasa bosan pasti pernah singgah dalam kehidupan rumah
tangga Anda. Bahkan mungkin suatu waktu akan datang kembali…
Untuk para suami, engkaulah penentu
perubahan situasi ini, jangan hanya bisa menyalahkan tapi tak memberikan solusi.
Ternyata ada sebuah solusi yang dapat
menumbuhkan rasa cinta kita yang sudah di ujung Nadir, asal…, kita mau
melakukannya.
Amaliyah ini bisa di nilai sepele,
remeh atau mungkin bisa juga di bilang “kurang kerjaan”. Tapi tidak semua orang
menyangka justru sesuatu yang remeh ini mampu memberikan dampak yang luar
biasa, dan ini pernah di lakukan oleh Baginda Nabi Shalallahualaihi wassalam
dan para Sahabatnya.
Apa sebenarnya pekerjaan yang remeh itu…?
Sehingga orang Termulia dan orang – orang Terbaik sampai – sampai melakukannya…?
Kalimat Dasyat inilah yang mampu
membuat perubahan besarrrr…!!!
“Jadilah engkau bocah di depan istrimu.”
Kata-kata Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu itu adalah pesan beliau untuk kalian para
suami. Meski Umar dikenal sebagai muslim paling kuat dan pemberani, ia bisa
memposisikan sebagai bocah saat bersama istrinya. Dan karenanya, ia memberikan
tips itu kepada sahabat lainnya, hingga keluarga sakinah mawaddah wa rahmah pun
digapainya.
Lalu bagaimana cara menjadi bocah di depan istri? Berikut ini 3 makna dan caranya:
1. Bocah itu Manja
Menjadi bocah di depan istri, artinya kita menghadirkan sikap “manja” kita sebagai ekspresi cinta. Rasulullah mencontohkan, beliau kerap bersikap “manja” dengan istrinya. Misalnya meletakkan kepala di paha istrinya, bahkan memposisikan kepala beliau agar istri bisa menyisirnya saat beliau sedang i’tikaf. Subhanallah... jika saat i’tikaf saja se-“manja” itu, betapa beliau di hari-hari biasa?
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah bermanja-manja dengan istri hingga cinta makin menyala atau kita jaim hingga terkesan kaku pada istri?
2. Bocah itu Pemaaf
Tidak ada bocah yang pendendam. Lihatlah bocah-bocah di sekitar kita. Mungkin suatu saat mereka berselisih dengan temannya. Mungkin suatu saat ada diantara mereka yang berkelahi dengan temannya. Tetapi setelah perselisihan itu selesai, mereka kembali beraktifitas bersama seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan setelah berkelahi, mereka kembali akrab seperti semula. Tak ada dendam, mereka langsung memaafkan.
Pun demikian seharusnya menjadi suami istri. Tidak mungkin tak pernah ada masalah dalam hitungan tahun pernikahan. Tetapi, masalah atau perselisihan hanya berlangsung sebentar dan tidak pernah berkarat menjadi dendam. Suami yang baik, ia seperti bocah yang suka memaafkan.
3. Bocah itu Suka Bermain
Dunia bocah adalah dunia bermain. Suami yang menjadi bocah di depan istrinya juga suka bermain. Rasulullah mencontohkan, beliau pernah bermain lomba lari dengan Aisyah. Pertama kali lomba, Rasulullah kalah. Pada kesempatan berikutnya, ketika Aisyah menjadi gemuk, Rasulullah memenangkan lomba lari kali itu. Pernahkah kita berlomba lari dengan istri?
“Permainan” yang lebih “dewasa” juga dicontohkan Rasulullah. Beliau mandi bersama Aisyah dalam satu bejana. Pernahkah kita melakukannya bersama istri kita? Mandi bersama dalam bathtub yang sama?
Berikutnya, kita bisa mengembangkan “permainan-permainan” lainnya. Dengan berbagai posisi, dengan berbagai gaya.
“Istri-istrimu adalah (seperti) ladang bagimu, maka datangilah ladang itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai” (QS. Al Baqarah : 223)
Itulah Tips yang pernah di lakukan oleh orang – orang yang pantas menjadi teladan, dan kita wajib mengikutinya, mengamalkannya. Dengan Izin Allah rasa cinta yang mulai pudar yang menjadikan akar permasalahan dalam rumah tangga, bisa tumbuh kembali, tumbuh dan tumbuh terus. Mudah – mudahan tidak ada lagi kekakuan, atau komunikasi tidak nyambung antar suami – Istri, dan yang ada adalah keharmonisan, kemesraan, saling mengerti dan saling memahami satu sama lainnya.
Lalu bagaimana cara menjadi bocah di depan istri? Berikut ini 3 makna dan caranya:
1. Bocah itu Manja
Menjadi bocah di depan istri, artinya kita menghadirkan sikap “manja” kita sebagai ekspresi cinta. Rasulullah mencontohkan, beliau kerap bersikap “manja” dengan istrinya. Misalnya meletakkan kepala di paha istrinya, bahkan memposisikan kepala beliau agar istri bisa menyisirnya saat beliau sedang i’tikaf. Subhanallah... jika saat i’tikaf saja se-“manja” itu, betapa beliau di hari-hari biasa?
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah bermanja-manja dengan istri hingga cinta makin menyala atau kita jaim hingga terkesan kaku pada istri?
2. Bocah itu Pemaaf
Tidak ada bocah yang pendendam. Lihatlah bocah-bocah di sekitar kita. Mungkin suatu saat mereka berselisih dengan temannya. Mungkin suatu saat ada diantara mereka yang berkelahi dengan temannya. Tetapi setelah perselisihan itu selesai, mereka kembali beraktifitas bersama seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan setelah berkelahi, mereka kembali akrab seperti semula. Tak ada dendam, mereka langsung memaafkan.
Pun demikian seharusnya menjadi suami istri. Tidak mungkin tak pernah ada masalah dalam hitungan tahun pernikahan. Tetapi, masalah atau perselisihan hanya berlangsung sebentar dan tidak pernah berkarat menjadi dendam. Suami yang baik, ia seperti bocah yang suka memaafkan.
3. Bocah itu Suka Bermain
Dunia bocah adalah dunia bermain. Suami yang menjadi bocah di depan istrinya juga suka bermain. Rasulullah mencontohkan, beliau pernah bermain lomba lari dengan Aisyah. Pertama kali lomba, Rasulullah kalah. Pada kesempatan berikutnya, ketika Aisyah menjadi gemuk, Rasulullah memenangkan lomba lari kali itu. Pernahkah kita berlomba lari dengan istri?
“Permainan” yang lebih “dewasa” juga dicontohkan Rasulullah. Beliau mandi bersama Aisyah dalam satu bejana. Pernahkah kita melakukannya bersama istri kita? Mandi bersama dalam bathtub yang sama?
Berikutnya, kita bisa mengembangkan “permainan-permainan” lainnya. Dengan berbagai posisi, dengan berbagai gaya.
“Istri-istrimu adalah (seperti) ladang bagimu, maka datangilah ladang itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai” (QS. Al Baqarah : 223)
Itulah Tips yang pernah di lakukan oleh orang – orang yang pantas menjadi teladan, dan kita wajib mengikutinya, mengamalkannya. Dengan Izin Allah rasa cinta yang mulai pudar yang menjadikan akar permasalahan dalam rumah tangga, bisa tumbuh kembali, tumbuh dan tumbuh terus. Mudah – mudahan tidak ada lagi kekakuan, atau komunikasi tidak nyambung antar suami – Istri, dan yang ada adalah keharmonisan, kemesraan, saling mengerti dan saling memahami satu sama lainnya.
Soal masalah akan tetap menjadi masalah, artinya tidak
ada yang salah dengan adanya masalah tersebut tapi yang menjadi masalah adalah
kita yang menghadapinya, contoh kecil saja misal kita terjebak dalam sebuah
kemacetan, itu adalah masalah. Jika kita marah dengan orang atau kendaraan yang
ada di depan kita atau memaki-maki polisi,membunyikan klakson keras-keras maka
sama saja menambah masalah. Namun jika kita mampu bersabar dan mengalihkan
perhatian kemacetan dengan mendengarkan berita di radio misalnya, atau membaca
buku, berdzikir maka akan lebih banyak bermanfaat karena hati dan pikiran kita
terjaga dari prasangka buruk…
Demikian, Semoga bermanfaat…
Jkt, 10 okt 2013
Abie Sabiella
Rujukan:
http://stishidayatullah.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar