Senin, 17 November 2014

Hikmah dari Sebuah Pertemuan



Hampir setiap kita pernah terlibat dalam sebuah pertemuan, baik pertemuan antar pribadi atau atau pertemuan yang bersifat kelompok bahkan massal.

Sungguh apa yang direncanakan Allah bukan lah sia-sia. Semuanya mengandung hikmah yang tak terhingga andai kita mampu menguak semua hikmah yang ada di setiap peristiwa (pertemuan) yang terjadi dalam kehidupan kita.

Hari ini aku bertemu dengan sahabat- sahabat yang luar biasa dalam hal solidaritas. Aku tak pernah menyangka kalau mereka mempunyai rasa kebersamaan yang tak pernah ku perhitungkan, bagaimana tidak, selama ini kami hanya bertemu di tempat yang kita mempunyai kepentingan yang sama, Kemenag, ya…, tempat yang wajah – wajah kami sering bertatapan namun jarang terlibat obrolan yang bias di bilang serius, karena kami di sibukan dengan urusan kami masing – masing.

Hari ini aku bertandang ke kantor salah satu dari mereka dalam sebuah pekerjaan, aku siapkan sesuatu buat mereka sekedar untuk menggembirakan hati mereka, karena ini adalah kali pertama aku datang menemui mereka. Aku berikan sejumlah uang buat sekedar untuk ngopi atau makan siang, ternyata mentah – mentah mereka tolak, aku paksain mereka untuk menerima, hal yang sama merekapun memaksaku untuk menyimpannya kembali, sambil berkata, “ seperti orang lain saja ente.., “kite kan sama – sama orang lapangan…”, aku gak pernah sangka mereka begitu solidernya. Hari ini aku belajar dari mereka…

Ya…, ada dua kemungkinan dalam sebuah pertemuan, kita akan mengambil ibroh dari orang yang kita temui atau orang lain akan mengambil pelajaran dari kita. Namun sesungguhnya kita hanya sebagai sebab, karena sesungguhnya Ibroh (petunjuk) hanya dari DIA, Dia yang Maha pemberi petunjuk.
Allah berfirman yang artinya;

 “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

Sedekat apapun kita dengan manusia, tentu Allah lebih dekat dengan kita, bahkan Allah lebih dekat dari urat leher kita. Maka Allah lebih tahu tentang kita di banding diri kita sendiri, karena kita mahlukNya. Sehingga siapapun yang hadir dalam kehidupan kita, baik yang hanya sepintas selalu hadirnya ataupun yang membersamai sepanjang usia kita, mereka semua itu hadir bukan karena factor kebetulan, melainkan semua karena kehendak Allah.

Segala puja dan puji untuk-Mu ya Robb…
Semuanya telah ditetapkan. Dan ketahuilah, setiap manusia yang kita jumpa, semuanya adalah perjumpaan terbaik yang telah Allah atur dalam hidup kita.

Alhamdulillah ya Robb…, yang telah mentakdirkanku untuk berjumpa dengan makhluk Mu yang hebat, yang telah mengajariku apa itu persahabatan.

jkt, 171114

~abie sabiella~

Kamis, 13 November 2014

negeri tanpa Ayah...

Jika memiliki anak sudah ngaku-ngaku jadi Ayah, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola ngaku-ngaku jadi pemain bola.

Ayah itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak bukan sekedar ‘membuat’ anak. Jika Ayah mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini teratasi. Ayah yang tugasnya cuma ngasih uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM. Didatangi saat anak butuh saja .

Akibat hilangnya fungsi tarbiyah dari Ayah, maka banyak Ayah yang tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah. Sementara anak dituntut sholat shubuh padahal ia dalam keadaan junub. Shalatnya tidak sah. Dimana tanggung jawab Ayah ?

Jika ada anak durhaka, tentu ada juga Ayah durhaka. Ini istilah dari Umar bin Al Khathab. Ayah durhaka bukan yang bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Tetapi Ayah yang menuntut anaknya shalih dan shalihah namun tak memberikan hak anak di masa kecilnya. Ayah ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya. Ayah ingin dimuliakan oleh anaknya tapi tak mau memuliakan anaknya

Negeri ini hampir kehilangan Ayah. Semua pengajar anak di usia dini diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap fatherless country. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini. Dimana Ayah sang pengajar utama ?

Dunia Ayah saat ini hanyalah KOTAK, yakni koran, televisi dan komputer. Ayah malu untuk mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Banyak anak yang sudah merasa yatim sebelum waktunya sebab Ayah dirasakan tak hadir dalam kehidupannya

Semangat Al Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan Ayah sebagai tokoh. Kita kenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, Imron. Mereka adalah contoh Ayah yang peduli. Ibnul Qoyyim dalam Kitab Tuhfatul Maudud berkata: “Jika terjadi kerusakan pada anak penyebab utamanya adalah Ayah.”
Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada Ayahnya bukan ibu. Nasab yang merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.

Rasulullah yang mulia sejak kecil ditinggal mati oleh Ayahnya. Tapi nilai-nilai keayahan tak pernah hilang didapat dari sosok kakek dan pamannya. Nabi Ibrahim adalah Ayah yang super sibuk. Jarang pulang. Tapi dia tetap bisa mengasuh anak meski dari jauh. Terbukti 2 anaknya menjadi nabi.
Generasi Sahabat menjadi generasi gemilang karena Ayah amat terlibat dalam mengasuh anak bersama ibu. Mereka digelari umat terbaik.

Di dalam Al Quran ternyata terdapat 17 dialog pengasuhan, 14 diantaranya yaitu antara Ayah dan anak. Ternyata Ayah lebih banyak disebut.

Mari ajak Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan baik di rumah, sekolah dan masjid. Harus ada sosok Ayah yang mau jadi guru TK dan TPA. Agar anak kita belajar kisah Umar yang tegas secara benar dan tepat. Bukan ibu yang berkisah tapi Ayah. Ayah pengasuh harus hadir di masjid. Agar anak merasa tentram berlama-lama di dalamnya. Bukan waswas atau merasa terancam dengan hardikan. Jadikan anak terhormat di masjid. Agar ia menjadi generasi masjid. Dan Ayah yang membantunya merasa nyaman di masjid.

Ibu memang madrasah pertama seorang anak. Dan Ayah yang menjadi kepala sekolahnya. Ayah kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya. Selain juga membuat nyaman suasana sekolah yakni ibunya.

Jika Ayah hanya mengurusi TV rusak, keran hilang, genteng bocor di dalam rumah, ini bukan Ayah ‘kepala sekolah’ tapi Ayah ‘penjaga sekolah’.

Ibarat burung yang punya dua sayap. Anak membutuhkan kedua-duanya untuk terbang tinggi ke angkasa. Kedua sayap itu adalah Ayah dan ibunya. Ibu mengasah kepekaan rasa, Ayah memberi makna terhadap logika. Kedua-duanya dibutuhkan oleh anak. Jika ibu tak ada, anak jadi kering cinta. Jika Ayah tak ada, anak tak punya kecerdasan logika. Ayah mengajarkan anak menjadi pemimpin yang tegas. Ibu membimbingnya menjadi pemimpin yang peduli.[]Ustadz Bendri Jaisyurrahman