Rabu, 17 Juli 2013

Memburu kesenangan atau kebahagiaan..?




Senang...? apa bahagia...
Bahagia apa senang...?

Orang akan merasa senang jika mampu menggapai kebahagiaan, begitupun orang akan merasa bahagia jika hatinya merasa senang...
 Lalu, apa bedanya antara senang dengan bahagia...

Begini aja dech...,
Pernahkah terpikir suatu jawaban jika kita ditanya: "Apa yang membuat anda bahagia ?" Coba berhenti sejenak membacanya, kemudian mulai pejamkan mata dan renungkan apa jawabannya.

Sudah...?

Jika jawaban kita adalah "memiliki" berbagai hal yang ada di luar diri kita seperti : banyak harta, punya  istri cantik atau punya suami yang baik & setia, anak yang sholeh, kesehatan yang prima, dll. Jika demikian, maka sebetulnya yang kita cari dalam hidup ini adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. 

Kenapa...?

Karena, kesenangan unsur pembentuknya berasal dari "faktor eksternal", artinya apa saja yang merasa pas, sreg dengan suasana hati kita pada sat itu, maka akan menyenangkan kita, namun kita tidak mampu mengontrolnya sehingga suasana tersebut selalu menyenangkan hati kita. Itulah kesenangan, berbeda dengan kebahagiaan yang unsur pembentuknya berasal dari "faktor internal" yakni kondisi hati, yang sepenuhnya ada dalam kontrol kita, terlepas kondisi eksternal yang terjadi.

Pemburu kesenangan akan sering terampas kesenangannya ketika mendapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, seperti; kekurangan harta, jatuh sakit, terkena musibah, dizalimi orang, dan lain sebagainya.

Pemburu kebahagiaan akan melihat setiap kejadian dari "kacamata spiritual", semua yang terjadi adalah hal yang wajar atau bahkan justru menguntungkan dirinya karena semua dalam pengaturan Allah : ditinggal mati orang yang dikasihi dianggap wajar, karena meyakini semua orang pasti mati jika telah tiba waktunya, diuji sakit atau musibah diyakini sebagai penggugur dosa atau peringatan untuk lebih taat kepada Allah; dizalimi orang tetap tenang, tidak terprovokasi, karena meyakini dia sedang "menitipkan pahala" untuk ditransfer di akhirat kelak dari orang yang menzalimi dirinya.

Bagi pemburu kebahagiaan, apapun yang diberikan Allah, jika tidak disukainya ia bersabar dan jika disukainya ia bersyukur. Ia selalu beruntung, beroleh pahala dari sabar dan syukurnya dan kebahagiaannya tidak terusik, apapun kondisi eksternal yang dihadapinya. Ia adalah orang yang kaya hati, mampu mengontrol hatinya karena hatinya dipenuhi oleh keyakinan illahiyah. Dan si pemburu kebahagiaan itu adalah sosok mukmin sejati, karena ia faham betul apa yang menguntungkan bagi dirinya dan agamanya.

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Semoga bermanfaat, 
Tebet City, 9 Ramadhan 1434 H


Abie Sabiella

Seharusnya kita...



Tidak ada ketakutan bagi seorang Muslim,
Karena jiwanya  ada dalam genggaman Allah,
 Rizkinya adalah jaminan Allah.
 Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan,
 Dia yang memberi kekayaan dan meniadakannya,
 Dan di tangan-Nya lah kendali segala urusan…

Karenanya sahabat,
Tak ada satupun mahluk di jagat raya ini yang pantas tuk menyombongkan diri…
Wajah rupawan, tubuh bugar, kulit nan indah, fisik sempurna,
 semua akan hancur perlahan,
Karena yang hidup pasti akan mati…!
 Lalu, apa yang kita persiapkan untuk pulang ke negeri akhirat…?

Harta, Tahta, pangkat, dan jabatan yang kau miliki,
 Sangat berpotensi menimbulkan kesombongan.
 Senantiasalah mohon perlindungan dari Allah atas sifat yang satu ini,
 jangan sampai sifat iblis melekat dalam diri kita…

Sedih, murka, bosan, merenungi diri yang tak kunjung berubah.
 Gemar maksiat, lalai dan marah.
 Ketika dekat dengan seorang alim, hati tergugah.
 Ketika berpisah, hati kembali goyah.

Bagaimana solusinya wahai jiwa yang merindukan kebaikan…?
Solusinya adalah, tetaplah kalian bersama orang – orang Shalih…
Cintailah mereka, reguklah ilmu dari mereka, karena engkau akan bersama orang yang engkau cintai…

Sahabat Annas bin Malik  Radhiallahuan berkisah, bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan kiamat terjadi?” Beliau balik bertanya, “Apa yang telah kaupersiapkan untuknya?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak menyiapkan puasa yang banyak, tidak juga sedekah. Hanya saja, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau bersama yang kaucintai.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Tebet City, 9 Ramadhan 1434 H

Abie Sabiella

Selasa, 16 Juli 2013

"Yang Cantik untuk yang paling bertaqwa"


Suatu ketika Imam hasan al bashri di datangi seseorang, diamana dia adalah ayah dari seorang gadis yang sangat cantik.

Lelaki itu bertanya kepada sang Imam, "wahai Imam, aku mempunyai seorang putri yang sangat cantik, dan banyak sudah lelaki yang mencoba untuk meminangnya, diantara mereka ada anak orang kaya, anak pejabat dan anak seorang hakim, lalu kepada siapa aku harus kawinkan putriku...?"

Imam Hasan al Bashri menjawab,"Kawinkan ia dengan yang paling bertaqwa diantara mereka. Karena, jika dia mencintai putrimu, dia akan memuliakan putrimu, andai dia tidak mencintainya, dia tidak akan mendzaliminya."

SUBHANALLAH...

Dan tujuan puasa adalah untuk menghasilkan pribadi - pribadi yang bertaqwa...


Senin, 08 Juli 2013

Masa dan Nafas Ramadhan...



Dan tahukah kita,
Bahwa setiap hembusan nafas ada dzat yang bernama "Masa"

Begitu berlalu, ia tak akan pernah kembali...

Dan ia pun adalah Nafas, sekali kita hembuskan, ia akan segera pergi karena kita akan segera menghirup nafas yang baru...

Ketika kita sadari, bahwa masa mustahil untuk terulang kembali sebagaimana hembusan nafas yang tak dapat kembali setelah terhembuskan,


Maka, seharusnya kita mengisi masa - masa itu dengan kebaikan - kebaikan, dengan semua hal yang di cintai Allah, dengan semua apa - apa yang mampu membuat semakin mendekatkan diri kepada Allah.., dan mengingat-Nya di setiap hembusan nafas kita...


Dan kita mesti menjadi orang yang pertama dalam perkara kebaikan dan menjadi yang terakhir bila di dapati ada keburukan dalam diri kita...


Dengan demikian setiap masa yang berlalu, setiap nafas yang terhembus, di sana ada mengingat Allah, karena  sesungguhnya masa dan nafas kita ini adalah milik-Nya, milik Allah Jalla wa ala...


Dan,

Nafas sarat makna,
Nafas penuh hikmah,
Nafas bertabur manfaat,
Nafas bernilai pahala itu,

Ia-lah nafas - nafas para ahlus-syiam, para penggiat Ramadhan, sebagaimana sabda Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam,


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ



“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[HR. Muslim no. 1151].

Bau mulut orang yang berpuasa mempunyai keutamaan karena mereka adalah hamba - hamba  yang sabar dalam menahan diri dari berbagai godaan dan merekalah calon - calon pembawa Toga ketaqwaan, karena merekapun akan mendapatkan ampunan atas dosa - dosanya dari Robbnya.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Selamat menunaikan Ibadah Shaum sahabat...


Tebet City, 1 Ramadhan 1434H
Abie Sabiella

Haramnya Hasad dan Dengki



Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تَباغَضُوا وَلا تَحاسَدُوا ولا تَدابَرُوا ولا تَقاطَعُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْواناً. لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخاهُ فَوْقَ ثَلاثٍ

“Jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling hasad, jangan kalian saling membelakangi, jangan kalian saling memutuskan hubungan, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari no. dan Muslim no. 2559)

 Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ. اَلتَّقْوَى هَهُنا – يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمسلمِ عَلَى المسلمِ حَرامٌ: دَمُهُ وَمالُهُ وعِرْضُهُ

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya 3 kali-. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” (HR. Muslim no. 2564)

 Najasy adalah seorang menawar suatu barang dengan harga yang tinggi -padahal dia tidak mau membelinya- untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi. Ini biasanya terjadi dalam proses lelang, dimana pelaku najasy ini adalah dari pihak yang melakukan lelang.
 Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad kecuali pada dua hal: (Pertama) kepada seorang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan, lalu ia membelanjakannya dalam kebenaran. (Dan yang kedua) kepada seorang laki-laki yang diberi Allah hikmah (ilmu), hingga ia memberi keputusan dengannya dan juga mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)

 Hasad di sini bermakna gibthah atau cemburu dalam kebaikan. Yakni keinginan untuk mendapatkan keutamaan yang sama seperti saudaranya tanpa menghendaki hilangnya keutamaan tersebut dari saudaranya.

Penjelasan ringkas:
 Hasad adalah benci melihat orang lain mendapatkan nikmat dan dia berharap nikmat tersebut hilang dari orang tersebut, baik dia mengharap nikmat itu pindah kepada dirinya maupun tidak. Ini adalah sifat yang sangat tercela yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam karena bisa merusak hubungan baik di antara manusia dan menyebabkan sebagian mereka membahayakan sebagian lainnya.

Berbeda halnya dengan gibthah yaitu keinginan untuk mendapatkan nikmat yang sama dengan yang diperoleh oleh orang lain tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari orang tersebut. Karena gibthah ini adalah sifat yang terpuji dan dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Kamis, 04 Juli 2013

Adakah Zakat Profesi Dalam Islam..?



Pertanyaan:

Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Assalamu Alaikum Warohmatulloohi wabarokatuh...
Alhamdulillaah wa Shalatu wassalaammu 'alaa Rosulillaah...

Ustadz yang semoga Allah senantiasa menjagamu...

Tadi pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum Zakat Profesi:
Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Zakat Profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan? di Perusahaan saya sudah lama diberlakukan zakat profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan sebelumnya, ada yang mau dan ada pula yang tidak mau dipotong gajinya.
Terus adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan Zakat Profesi ini!?

- Hasan



Jawaban:

[1]

Zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama' Dari berbagai mazhab telah menyatakan:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ

"Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang."

Berdasarkan kaedah ini, para ulama' menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari'atkannya. Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid'ah:

مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم

"Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak." (Riwayat Muslim)

Coba anda renungkan: Zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain, shalat, puasa, dan haji. Mungkinkah anda dapat menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.

Mungkinkah anda dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila anda tidak menerimanya, maka semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun Islam.

Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al 'atha' dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.

Ditambah lagi, bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.

2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.

3. Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma'/kesepakatan ulama' selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.

4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:

Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Pada awalnya, sahabat Umar radhiallahu 'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: "Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah." (Riwayat Muslim)

Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu 'anhu dibai'at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: "Hendak kemanakah engkau?" Abu Bakar menjawab: "Ke pasar." Umar kembali bertanya: "Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?" Abu Bakar menjawab: "Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?" Umarpun menjawab: "Kita akan meberimu secukupmu." (Riwayat Ibnu Sa'ad dan Al Baihaqy)

Imam Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu 'anhu tentang hal ini:

لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.

"Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka." (Riwayat Bukhary)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama' yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).

Oleh karena itu ulama' ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: "Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci:  Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati." (Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178.)

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:

"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah  berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan  uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu  tahun (haul)." (Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia  9/281, fatwa no: 1360)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم

"Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan." (Muslim)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar anda mengusulkan kepada perusahaan anda atau atasan anda agar menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan zakat profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta'ala a'alam bis showaab.

[2]

Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak perlu anda mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahasa masalah zakat profesi. Cukuplah anda dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama' umat islam sepanjang sejarah. Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama' kita dalam setiap kitab-kitab fiqih. Wallahu a'alam bisshawab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

IKHWAL I'TIKAF



Definisi I’tikaf:
Dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik mahupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.
Dari segi istilah: I’tikaf bermaksud duduk di masjid dalam rangka ibadah yang dilakukan oleh orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)
Dalil-Dalil Pensyariatan I’tikaf:
Dalil al-Quran:
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ البقرة : 187
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(Al Baqarah : 187)
Dalil-dalil As-Sunnah:
Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Baginda beri’tikaf selama dua puluh hari”.[HR. al-Bukhari no. 2044 ]
‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan sehingga Allah mengambil nyawanya, setelah kewafatan baginda isteri-isteri baginda pun beri’tikaf .”[HR. al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172]
Hukum I’tikaf
Al-Imam Ibn al-Munzir berkata: Para ulama’ telah bersepakat/ijma’ bahawa I’tikaf adalah sunat, dan bukan kewajipan kecuali jika seseorang bernazar mewajibkan dirinya untuk melakukan I’tikaf [Al Mughni, 4/456 ]
Al-Imam Ibn Arabi al-Maliki dan Ibn Batthal rahimahumallah menyatakan bahawa I’tikaf merupakan sunnah muakkadah/sunat yang sangat dituntut kerana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam tidak pernah meninggalkannya.
Waktu I’tikaf
I’tikaf boleh dilakukan pada bila-bila masa, dan ia sangat ditekankan pada 10 hari akhir Ramadhan kerana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam sentiasa melakukannya.
Batasan Waktu:
Ulama’ bersepakat bahawa I’tikaf tidak mempunyai had masa maksima, akan tetapi mereka berbeza pendapat tentang minimum waktu I’tikaf.
Majoriti ulama’ berpendapat bahawa tiada masa minima untuk I’tikaf. I’tikaf sah walau hanya duduk seketika di dalam masjid. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Adapun tentang minima tempoh I’tikaf, pendapat yang benar yang diputuskan oleh jumhur ulama’ ialah disyaratkan berada di dalam masjid, dan dibenarkan melakukannya dalam tempoh yang panjang mahupun pendek, hatta walau satu jam mahupun seketika” [al-Majmu’, 6/514]
Shaikh Ibn Bazz menyatakan bahawa Imam Ab Hanifah dan sebahagian ulama’ Maliki berpendapat tempoh minima ialah satu hari. [Majmu’ al-Fatawa 15/441]
Di Manakah Lokasi I’tikaf?
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahawa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[Fathul Bari, 4/271 ]
Ini berdalilkan ayat berikut ayat 187 surah al-Baqarah: “….. Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Para ulama’ berbeza pendapat apakah ia sah dilakukan di semua masjid yang mendirikan solat lima waktu berjemaah, atau hanya untuk masjid jami’/masjid yang dilakukan solat fardhu Jumaat.?
Imam Malik Rahimahullah berpendapat ia sah dilakukan di mana-mana masjid yang didirikan solat fardhu lima waktu secara berjemaah [di dalam istilah di Malaysia, dipanggil surau/musolla]
Al-Imam asy-Syafie Rahimahullah pula mensyaratkan agar ia dilakukan di masjid jami’/masjid yang melakukan solat fardhu Jumaat [Al Mughni, 4/462 ] agar orang tersebut tidak perlu ke tempat lain untuk mendirikan solat Jumaat.
Bilakah bermulanya waktu I’tikaf 10 akhir Ramadhan?
Pendapat pertama: Masuk ke masjid sebelum masuk waktu Maghrib 20 Ramadhan. Ini merupakan pendapat jumhur empat mazhab.
Pendapat kedua: Selepas Solat Subuh 21 Ramadhan. Ini merupakan pendapat Al-ImamAl Auza’ie, Al-Laits dan At-Tsauri, Al Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan Al-Imam As-Son’ani Rahimahumullah. Mereka berdalilkan hadis berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai solat Subuh, baginda masuk ke tempat I’tikaf baginda. [HR. al-Bukhari no. 2041 ].
Untuk lebih berhati-hati dicadangkan agar mengambil pendapat pertama agar tidak terlepas malam Lailatulqadar seandainya ia berlaku pada malam 21 Ramadhan.
Ulama jua berbeza pendapat pada waktu bilakah kita perlu keluar daripada masjid, pada Maghrib hari terakhir Ramadhan, atau selepas solat Aidilfitri.
Bolehkah wanita melakukan I’tikaf?
Ini berdasarkan dalil berikut: ‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ لَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesaiSolat Subuh, baginda masuk ke tempat I’tikaf baginda. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radiallahu ‘anha meminta izin untuk beri’tikaf , maka baginda mengizinkannya. ” [HR. al-Bukhari no. 2041]
‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan sehingga Allah mengambil nyawanya, setelah kewafatan baginda isteri-isteri baginda pun beri’tikaf .”[HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172]
Akan tetapi wanita tersebut hendaklah mendapat keizinan daripada suami, keadaan yang aman daripada fitnah, serta tidak melakukan perkara yang melanggar syara’ seperti berwangi-wangian, berhias-hias dan sebagainya.
Perkara-Perkara Yang Membatalkan I’tikaf
1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada keperluaan yang mendesak.
2) Jima’ (bersetubuh) -Ibn al-Munzir telah menukil ijma’/kesepakatan ulama’ bahawa yang dimaksudkan dengan mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’(hubungan intim) [Fathul Bari,4/272 ].
Adab-adab I’tikaf
Seseorang hendaklah menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdoa, zikir, berselawat pada Nabi, mempelajari Al-Quran dan mengkaji Al-Hadis. Dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. [Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158]
Seseorang hendaklah sentiasa menjaga kebersihan diri ketika beri’tikaf. Dia hendaklah memakai wangi-wangian, berpakai yang elok, mandi, bersikat rambut. Ini terbukti pada kisah ‘Aisyah menyikatkan rambut Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika baginda sedang beri’tikaf.
Kebersihan masjid juga hendaklah dijaga. Peralatan yang dibawa hendaklah dikemaskan agar tidak mengganggu orang yang solat.
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
1) Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak mampu dilakukan di dalam masjid.
2) Melakukan hal-hal harus seperti bercakap-cakap dengan orang lain.
3) Isteri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4) Mandi dan berwudhu di masjid.
5) Membawa kelengkapan tidur seperti tilam, bantal untuk tidur di masjid.
Faedah-Faedah I’tikaf
1. I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi Salllahu ‘Alaihi Wassalam untuk mendapatkan malam Lailatulqadar
2. Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan solat fardhu berjamaah berterusan bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan saf pertama
3. I’tikaf membiasakan jiwa untuk suka berlama-lama tinggal di dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid
4. I’tikaf akan menjaga puasa seseorang daripada perbuatan-perbuatan dosa. Ia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga daripada hal-hal yang diharamkan
5. I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuatkan ramai manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
Memburu Lailatulqadar
Dalil al-Quran:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar . Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al-Qadr: 1-3).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
”Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkati di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah [Tafsir At-Thabari, 21/6 ]. Inilah yang menjadi pendapat majoriti ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma.[Zaadul Masiir, 7/336-337 ]
Hadis-hadis berkaitan Lailatulqadar:
Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu, Nabi Sallallahu ’alaihi wassalam bersabda: “ Sesiapa yang menghidupkan malam lailatulqadar dengan penuh keimanan dan mengharap, nescaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [al-Bukhari:1901 dan Muslim: 760]
Aisyah Radiallahu ’anha berkata, Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam mengasingkan diri (di dalam masjid; beri’tikaf) pada sepuluh (malam) terakhir di dalam Ramadhan. Dan Rasulullah SAW berkata: “Carilah malam al-Qadr pada sepuluh malam terakhir dari Ramadhan.” [al-Bukhari:2020 dan Muslim:219].
Aisyah RA berkata lagi, bahawa Rasulullah SAW berkata: “Carilah malam al-Qadr pada (malam-malam) yang ganjil daripada sepuluh malam yang akhir di bulan Ramadhan.” [al-Bukhari]
Ibn Umar Radiallahu ’anhu berkata: “Beberapa orang daripada sahabat Nabi saw telah melihat malam al-Qadr di dalam tidur pada tujuh (malam) yang terakhir. Maka berkata Rasulullah SAW: “Aku melihat mimpi kamu bertepatan dengan tujuh (malam) yang terakhir. Sesiapa yang benar-benar mencarinya (malam al-Qadr), maka carilah ia di tujuh (malam) yang terakhir. [al-Bukhari:2015 dan Muslim:1165].
Doa di Malam al-Qadar
Daripada ‘Aisyah Radiallahu ‘Anhu:
قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, jika aku berkesempatan bertemu Malam Al-Qadar, apakah yang perlu aku katakan (doa) ?” Bersabda Nabi : disebutlah doa: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, dan amat suka memberi ampun, maka berikanlah daku keampunan”
[HR at-Tirmizi: 3513, Ibn Majah: 3119, Imam at-Tirmizi rahimahullah menyatakan ia hadis Hasan Sahih.]
Rujukan:

Rabu, 03 Juli 2013

FIDYAH DI DALAM PUASA



 Oleh : Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro

 Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

 Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

 Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa'at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

 A. DEFINISI FIDYAH

 Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1].

 Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

 B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH

 Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

 أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

 ا"Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui". [Al Baqarah : 184].

 Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

 "(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".

 Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah:

 فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

 "(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)".

 Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه . Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

 Dari 'Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

 Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir]. [3]

 Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa'di di dalam tafsirnya: "Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat :

 وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

 Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar".[4]

 Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah".[5]

 C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH

 1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.[6]

 2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

 Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

 Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

 Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7]

 Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :

 1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
 Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.

 Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
 Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

 Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah.

 Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:

 اَلْمُرْضِعُ وَالْحُبْلَى إذَا خَافَـتَا عَلىَ أوْلَادِهِمَا أفْطَرَتاَ وَأَطْعَمَتَا

 "Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].

 Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.

 Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i. [8]

 Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.

 Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:

 إنَّ اللهَ وَضَعَ الصِّـيامَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ

 "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui". [HR Al Khamsah].

 Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*]

 Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.
 Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha' (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

 Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu 'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:

 إِنَّ الهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبِْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

 "Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha' dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]

 Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.

 Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
 Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha', tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha'? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

 Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:

 فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

 "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain".

 Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11]

 2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.

 Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).

 Dalil dari pendapat ini adalah:
 Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

 Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

 Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

 Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)". [14]

 Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha". [15]

 Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

 Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

 Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha', kemudian mati sebelum mengerjakannya.

 Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha'nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha', tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.

 Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

 D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.

 Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.

 Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
 Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada".

 Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.

 Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja". [17]

 Ukuran Satu Mud.
 Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18]

 Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. [19]

 Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha' (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

 E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH

 Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.

 Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.

 Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil).

 Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan".

 F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.

 Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.

 Wallahu Ta'ala A'lam.

 Maraji`:
 1. Al Majmu' Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
 2. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402 H.
 3. Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
 4. Asy Syarhul Mumti', Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416 H.
 5. Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
 6. Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
 7. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
 8. Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma'rifah, Beirut.
 9. Fatawa Islamiyah, Jama': Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.

 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
 _______
 Footnote
 [1]. Lihat Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi. Cet. Maktabah Lubnan, hlm. 435.
 [2]. Lihat Nailul Maram Min Tafsiir Ayatil ahkam, Allamah Shiddiq Khan, hlm. 90-91.
 [3]. Fathul Bari (8/135).
 [4]. Lihat Tafsir As Sa'di, hlm. 69
 [5]. Asy Syarhul Mumti', (6/334).
 [6]. Lihat Al Mughni (3/141).
 [*]. Dalam majalah As-Sunnah Edisi 06/IX/1426H/2205M halaman 45, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan Syaikh Salim bin Id al-Hilali merajihkan pendapat yang kedua ini. -redaksi). 
 [7]. Lihat Asy Syarhul Mumti' (6/453).
 [8]. Lihat Al Mughni (3/139).
 [9]. Syarhul Mumti', 363.
 [10]. Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 45
 [11]. Fatawa Islamiyah (2/148).
 [12]. Lihat Nailul Authar (3/175).
 [13]. Lihat Al Mughni (3/145).
 [14]. Nailul Authar (3/177).
 [15]. Syarhul Mumti' (6/451).
 [16]. Lihat Syarhul Mumti' (6/452-453).
 [17]. Al Majmu' Syarh Al Muhadz-dzab (6/420).
 [18]. Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti' (6/176).
 [19]. Taudhih Al Ahkam (3/178).

Selasa, 02 Juli 2013

HADITS LEMAH DAN PALSU YANG POPULER SEPUTAR RAMADHAN



Tidak sedikit hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat dan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan syari’at. Berikut ini adalah beberapa hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) yang populer ditelinga masyarakat dan menjelaskan kedudukan haditsnya.

Adapun hadits-hadits yang dicantumkan di bawah ini adalah hadits-hadits yang lemah dan palsu secara matan (redaksi), sanad (urutan perawi), ataupun keduanya, sebagaimana telah diuraikan penjelasannya di atas. Dan untuk memperjelas kedudukan dari hadits-hadits yang disebutkan selanjutnya, penulis menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk merujuk kepada kitab-kitab yang penulis sebutkan sebagai referensinya.

Diantara hadits - hadits lemah tersebut di antaranya ;

Hadits Tentang Keutamaan Ramadhan

لَوْ يَعْلَمُ الْعِـبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةً كُلُّهَا رَمَضَانَ، إِنَّ الْجَنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ .

Artinya: “Seandainya ummatku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, niscaya ummatku akan menginginkan satu tahun penuh semuanya adalah bulan Ramadhan. Sesungguhnya Surga berhias menyambut Ramadhan setiap tahunnya.”

Derajat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la Al-Mushili dalam Musnad-nya (no. 5251) sebagaimana disebutkan dalam Mathalibul ‘Aliyah (VI/42-44, no. 1010), Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (III/190, no. 1886), Ibnu Abi Dunya dalam Fadha’il Ramadhan (hal. 49, no. 22), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (III/313, no. 3634), dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/547, no. 1119). Lihat juga Dha’if Targhib wa Tarhib (II/303, no. 596).

Dari jalur Jarir bin Ayyub Al-Bajaliy, dari Asy-Sya’biy, dari Nafi’ bin Burdah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud (atau Abu Mas’ud Al-Ghifariy), dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‘Illat(cacat) Hadits:

- Hadits ini terkadang diriwayatkan atas nama Abdullah bin Mas’ud dan terkadang Abu Mas’ud, namun yang benar adalah Abu Mas’ud Al-Ghifariy. Sebagaimana penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Mathalibul ‘Aliyah (VI/42-44, no. 1010).

- Jarir bin Ayyub bin Abi Zur’ah bin ‘Amru bin Jarir Al-Bajiliy Al-Kufiy, menyendiri dalam periwayatannya dan dia seorang yang dha’if, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Yahya bin Ma’in berkata: ليس بشئ

- Abu Hatim berkata: منكر الحديث٬ ضعيف الحديث

- Abu Zur’ah berkata: منكر الحديث

- Ibnu Hibban berkata: كان ممن فحش خطؤه

- Abu Nu’aim berkata: يضع الحديث

- Al-Bukhari berkata: منكر الحديث

- An-Nasa’i berkata: متروك الحديث٬ ليس بثقة٬ ولا يكتب حديثه

- Al-Baihaqiy berkata: ضعيف عند اهل النقل

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (II/503), Al-Majruhin (I/220), Al-Kamil (II/322-323), Al-Mizan (II/116), Lisanul Mizan (II/302), Adh-Dhu’afa (I/198), Ta’jil Al-Manfa’ah (I/384).

Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini palsu dan telah dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/549)]

Imam Asy-Syaukani berkata, “Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalan Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan haditsnya palsu. Kecacatannya terdapat pada Jarir bin Ayyub (Al-Bajaliy). Dan susunan (lafazh)nya adalah susunan yang dapat disaksikan oleh akal bahwa dia adalah hadits palsu.” [Lihat Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahaditsul Maudhu’ah (hal. 88, no. 254)]

Syaikh Al-Albani berkata, “Maudhu’ (palsu).” [Lihat Dha’if Targhib wa Tarhib (II/303, no. 596)]

Al-A’zhamy berkata, “Sanadnya dha’if, bahkan maudhu’.” [Lihat Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah (III/190)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XX/388, no. 967), dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham, telah berkata kepada kami ‘Abbad bin Nafi’ dari Abi Mas’ud al-Ghifariy dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (marfu’).”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh As-Suyuthi dalam Al-Laali’ (II/85) dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Syuraik Al-Ghifari sesungguhnya dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Thahir Ibnu Abi Shaqr dalam Musyikhat (hal. 129, no. 56), dari jalur Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Sarihah al-Ghifariy secara marfu’.

- Al-Hayyaj bin Bustham At-Tamimiy Al-Haruiy Abu Khalid Al-Hanzhaliy. Dia seorang yang dha’if, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Yahya bin Ma’in berkata: ليس بشئ٬ هروى ضعيف

- Ahmad bin Hanbal berkata: متروك الحديث

- Abu Dawud berkata: تركوا حديثه

- Abu Hatim berkata: يكتب حديثه ولا يحتج به

- Ibnu Hajar berkata: ضعيف روى عنه ابنه خالد منكرات شديدة

- Ibnu Hibban berkata: كان مرجئا داعية إلى الإرجاء

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Kamil (VIII/448), Al-Mizan (VII/103-104), Al-Majruhin (III/96), Tahdzibul Kamal (XXX/357), Tahdzibut Tahdzib (IX/98-99), dan Taqribut Tahdzib (hal. 1029)]

- Tidak diragukan lagi bahwa Al-Hayyaj bin Bustham seorang yang majruh (cacat) dalam periwayatannya, dan yang men-tsiqah-kannya sedikit skali, Maka dalam hal ini (الجرح المفسر مقدم على التعديل المطلق ) jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil yang muthlaq, sebagaimana penjelasan Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan lain-lain bahwa dia seorang yang ditinggalkan haditsnya. Sedangkan Imam Ahmad dalam jarhnya daqiq (terperinci) dan sangat wara’ (hati-hati), demikian juga dengan Yahya bin Ma’in, seorang yang paling ‘alim tentang rijal (rawi-rawi hadits).

- Sebagian ahli ilmu seperti Al-Hakim men-tsiqah-kannya bila yang meriwayatkan darinya anaknya yang bernama Khalid, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Yahya bin Sa’id Adz-Dzuhaliy. Sedangkan riwayat ini tidak diriwayatkan oleh anaknya sehingga jelas akan kedha’ifannya.

Al-Haitsamiy berkata, “Telah diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy dalam Mu’jamul Kabir dan didalam sanadnya ada Al-Hayyaj bin Bustham, dia seorang yang dha’if.” [Lihat Al-Majma’ (III/145)]

Al-Mu’alimiy berkata: “Kemudian As-Suyuthi menyebutkan riwayatnya dari Ibnu Najar sampai kepada Al-Hayyaj bin Bustham telah berkata kepada kami Al-‘Abbas dari Nafi’ dari Abi Syuraik Al-Ghifari secara marfu’. Sedangkan Al-Hayyaj tidak diketahui siapa gurunya, dan tidak juga Abu Syuraik.” [Lihat Tahqiq Al-Fawa’id Al-Majmu’at (hal. 88)]

------------------------------------------------------

Hadits Tentang Lima Hal Yang Membatalkan Puasa

خَمْسٌ يُفْـطِرْنَ الصَّائِمَ وَيُنْقِـضْنَ الْوُضُوْءَ: الْكَـذِبُ، وَالْغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ، وَالْيَمِيْنُ الْفاجِرَةُ .

 Artinya: “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa dan wudhu’ seseorang, (yaitu): berkata dusta, ghibah (bergunjing), namimah (mengadu domba), melihat dengan nafsu, dan bersumpah palsu.” 
Derahat: Maudhu’/Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqaniy dalam Abathil wal Manakir (I/351, no. 338), Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (II/560, no. 1131), dan Al-‘Iraqiy dalam Takhrijul Ihya’ (I/738).
 Dari jalur Sa’id bin ‘Anbasah dia berkata, telah berkata kepada kami Baqiyah dia berkata, telah berkata kepada kami Muhammad bin Al-Hajjaj dari Jaban dari Anas dia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. 
 ‘Illat (cacat) Hadits:
 – Sa’id bin ‘Anbasah Ar-Raziy, dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:
 – Yahya bin Ma’in berkata : لا أعرفه٬ هذا كذاب
 – Al-Junaidiy berkata : كذاب
 – Ibnu Abi Hatim berkata : سمع منه أبي ولم يحدث عنه٬ وقال فيه نظر٬ لا يصدق 
 – Dan lain-lain. [Lihat Al-Mizan (III/223) dan Lisan Al-Mizan (IV/43)] 
 – Baqiyah bin Al-Walid, dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:
 – Ibnu ‘Uyainah berkata : لا تسمعوا من بقية ما كان في سنة٬ واسمعوا منه ما كان في ثواب وغيره 
 – Ahmad bin Hanbal berkata : إذا حدث عن قوم ليسوا بمعروفين فلا تقبلوه
 – Ibnu Ma’in berkata : إذا حدث عن الثقات مثل صفوان بن عمرو وغيره فاقبلوه٬ اما إذا حدث عن أولئك المجهولين فلا
 – Abu Mishar Al-Ghassaniy berkata : بقية ليست احاديثه نقية فكن منها على تقية
 – Ibnu Hajar berkata : صدوق كثيى التدليس عن الضعفاء
 – Dan lain-lain. [Lihat Tahdzibut Tahdzib (I/495-498) dan Taqribut Tahdzib (hal. 174)] 
 – Muhammad bin Al-Hajjaj Al-Hamshiy, dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:
 – Al-Azdiy berkata : لا يكتب حديثه
 – Ibnu Makulan berkata : ولا يعرف محمد بن الحجاج إلا انه شيخ لبقية بن الوليد
 – Dan lain-lain. [Lihat Al-Mizan (VI/103), Lisan Al-Mizan (VI/190), Adh-Dhu’afa’ wal Matrukin (III/48) dan Ibnu Makulan dalam Al-Ikmal (II/10)] 
 – Jaban dikatakan juga Musa bin Jaban, dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:
 – Al-Azdiy berkata : متروك الحديث
 – Ibnu Makulan berkata : وجابان مجهول عن أنس بن مالك
 – Dan lain-lain. [Lihat Dzail Al-Mizan (hal. 167), Lisan Al-Mizan (II/285) dan Al-Ikmal (II/10)] 
 Ibnu Abi Hatim berkata: “Aku telah bertanya kepada bapakku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Baqiyah dari Muhammad bin al-Hajjaj dari Maisarah bin ‘Abdillah dari Jaban dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam. Dan menyebutkan hadits diatas, kemudian bapakku menjawab, ini adalah hadits dusta.” [Lihat Kitab Al-‘Illal (I/258-259)]
 Al-Jauraqaniy berkata: “Hadits ini adalah bathil didalam sanadnya ada kegelapan.” [Lihat Al-Abathil (I/351)]
 Ibnul Jauziy berkata: “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/561)]
 As-Suyuthiy berkata: “Maudhu’, Sa’id seorang pendusta dan tiga orang yang diatasnya adalah orang-orang yang cacat.” [Lihat Al-La’ali’ (II/90)]
 Ibnu Makulan berkata: “Hadits munkar.” [Lihat Al-Ikmal (II/10-11)]
 Al-‘Allamah Muhammad Husainiy Ath-Tharabalsiy berkata: “Khabar maudhu’.” [Lihat Kasyful Ilha’ (I/333) dan Nashbur Rayah (II/509)]

 Syaikh Al-Albaniy berkata: “Maudhu’.” [Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah (IV/199, no. 1708)]

_____________________________________________________

Hadits Yang Menyebutkan Bahwa Puasa Dapat Menjadikan Sehat

اغزوا تغنموا وصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وسافروا تستغنوا.

وفي رواية: صُوْمُوْا تَصِحُّوْا.

وفي رواية: سافروا تَصِحُّوْا٬ وصُوْمُوْا تَصِحُّوْا٬ واغزوا تغنموا.

Artinya: “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.”

Derajat: Dha’if/Lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (VIII/174, no. 8312), dan Al-Kabir (XI/63, no. 11052), Abu Nu’aim dalam Thibbun Nabawi (I/236, no. 113), Al-‘Uqailiy dalam Adh-Dhu’afa’ (II/92), Imam Al-‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ (II/754, no. 2771), Al-‘Ajluniy dalam Al-Kasyful Khafa’ (I/445), dan Mushannaf ‘Abdirrazaq (V/168-169, no. 9269 dan V/11, no. 8819). Lihat juga Silsilah Adh-Dha’ifah (I/420, no. 253).

Dari jalur Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud dia berkata, telah berkata kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan Ath-Thabraniy meriwayatkan dari jalur Syaikhnya Musa bin Zakariya dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud dengan sanadnya sampai kepada Abu Hurairah secara marfu’.

‘Illat (cacat) Hadits:

- Musa bin Zakariya, dia seorang yang dha’if, sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Adz-Dzahabiy berkata: تكلم فيه الدارقطني

- Ad-Daruquthniy berkata: أنه متروك

- Al-Hakim berkata: أنه متروك

- Lafazh hadits ini tidak diriwayatkan dari Suhail kecuali Zuhair bin Muhammad Al-Anbariy Al-Khurasaniy, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath (VIII/174, no. 8312).

- Zuhair bin Muhammad seorang yang dha’if dalam riwayat ahli syam, termasuk hadits ini. Sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Yahya bin Ma’in berkata: خراساني ضعيف

- An-Nasa’i berkata: ليس بالقوي

- Abu Hatim berkata: محله الصدق في حفظه سوء

- Al-Bukhari berkata: روى عنه أهل الشام مناكير

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Mizan (VI/541-542), Lisanul Mizan (VII/178), As-Siyar (VIII/188), Al-Kamil (IV/177), Al-Jarh wa Ta’dil (III/590), At-Tarikhul Kabir (III/427), Tahdzibul Kamal (IX/414), dan Taqribut Tahdzib (hal. 205, no. 2049)]

- Apabila ahli syam meriwayatkan suatu hadits dari Zuhair bin Muhammad maka haditsnya munkar, seperti hadits di atas. Telah meriwayatkan darinya Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud Al-Harani, dan dia dari ahli syam. Sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Abu Hatim berkata: منكر الحديث

- An-Nasa’i berkata: لا بأس به

- Ibnu Hajar berkata: صدوق

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (VII/267), Taqribut Tahdzib (hal. 850), Al-Mizan (VI/172), Tsiqat Ibnu Hibban (IX/69), Tahdzibul Kamal (XXV/303), dan Tahdzibut Tahdzib (VII/186)]

Imam Al-‘Iraqi berkata: “Min hadits Abu Hurairah bisanadin dha’if.” [Lihat Takhrijul Ihya’ (II/754, no. 2771)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Adiy (VII/2521), dari jalur Nahsyal bin Adh-Dhahak dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.

- Nahsyal bin Sa’id bin Wardan adalah seorang yang dha’if. Sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Yahya bin Ma’in berkata: ليس بشيء٬ ليس بثقة

- Ishaq bin Rahawaih berkata: كان كذابا

- An-Nasa’i berkata: متروك الحديث

- Abu Dawud Ath-Thayalisiy berkata: كذاب

- Abu Hatim berkata: ليس بقوي، متروك الحديث، ضعيف الحديث

- Abu Zur’ah berkata: خراساني ضعيف

- Al-Bukhari berkata: أحاديثه مناكير

- Ibnu Hajar berkata: متروك، وكذبه إسحاق بن راهويه

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (VIII/496), At-Tarikhul Kabir (VIII/115), Al-Majruhin (III/52), Taqribut Tahdzib (hal. 1009)]

- Keterputusan sanad antara Adh-Dhahhak dengan Ibnu ‘Abbas adalah karena Adh-Dhahhak bin Muzahim tidak mendengarnya dari Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Yahya bin Sa’id Al-Qaththan: كان شعـبة ينكر أن يكون الضحاك لقي إبن عـباس قـط

- Ath-Thayalisiy berkata, aku mendengar ‘Abdul Malik bin Maisarah berkata:

الضحاك لم يلق إبن عـباس 

- Al-Albaniy berkata: لم يسمع من ابن عباس

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Kamil (V/149-152), Al-Mizan (III/446), dan Silsilah Adh-Dha’ifah (I/421, no. 253)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kamil (III/226), dari jalur Al-Husain bin ‘Abdullah bin Dhamirah dari bapaknya dari kakeknya dari ‘Ali secara marfu’.

- Husain bin ‘Abdullah bin Dhamirah bin Dhamrah al-Hamiriy Madaniy, seorang yang dha’if. Sebagaimana di jelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Ahmad bin Hanbal berkata: متروك الحديث٬ لا يساوي شيئا

- Ibnu Ma’in berkata: ليس بثقة ولا مأمون٬ ليس بشيء٬ ليس حديثه شيء

- Abu Hatim berkata: ترك الناس حديث الحسين بن ضميرة٬ هو عندي متروك الحديث كذاب 

- Abu Zur’ah berkata: ليس بشيء٬ ضعيف الحديث٬ أضريب على حديثه

- Al-Bukhari berkata: منكر الحديث٬ تركه علي وأحمد

- Abu Dawud berkata: ليس بشيء

- An-Nasa’i berkata: ليس بثقة ولا يكتب حديثه

- Ibnu Hibban berkata: روى عن ابيه عن جده بنسخة موضوعة

- Ad-Daruquthniy berkata: متروك

- Ibnu Hajar berkata: كذبه مالك

- Dan lain-lain. Lihat, Al-Jarh wa Ta’dil (III/58), At-Tarikhul Kabir (II/388), Al-Majruhin (I/244), Dzail Al-Kasyf (hal. 77), dan Ta’jil al-Manfa’ah (I/450-451)]

Syaikh Al-Albani berkata: “Dha’if.” [Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah (I/420, no. 253)]


Ash-Shaghaniy berkata: “Dan hadits ini adalah maudhu’.” [Lihat Maudhu’at Ash-Shaghaniy (hal. 7, no. 51), Silsilah Adh-Dha’ifah (I/420, no. 253), dan Fawa’idul

_________________________________________________

Hadits Tentang Tidurnya Orang Yang Berpuasa Adalah Ibadah

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَـفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْـفُوْرٌ.

وفي رواية: نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وسُكُته تَسْبِيْحٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَعَمَلُهُ مُقبول.

وفي رواية: نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ونفسه تَسْبِيْحٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ. 

Artinya: “Tidurnya orang yang berpuasa itu dianggap ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya (dibalas) berlipat ganda, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”

Derajat: Dha’if Jiddan/Sangat Lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (III/415, no. 3937), Abu Muhammad bin Sha’id dalam Musnad Ibnu Abi ‘Aufa (II/120), Ad-Dailami dalam Musnad Firdaus (IV/248), Al-Wahidi dalam Al-Wasith (I/65/1), dan Al-‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ (no. 727).

Dari jalur Sulaiman bin ‘Amru dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair dari ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

‘Illat (cacat) Hadits:

- Sulaiman bin ‘Amru dia adalah Abu Dawud An-Nakha’i Al-Qamiy, dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Abu Hatim berkata:ذاهب الحديث متروك الحديث كان كذابا

- Ibnu Ma’in berkata: ليس بشئ يكذب يضع الحديث

- Ibnu Hibban berkata: كان يضاع الحديث وضعا وكان قدريا

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (IV/132) dan Al-Majruhin (I/419)]

Syaikh Al-Albani berkata: “Ini adalah maudhu’, Sulaiman bin ‘Amru seorang pendusta.” [Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah (X/230, no. 4696)]

- ‘Abdul Malik bin ‘Umair al-Hakhmiy Al-Kufiy, Abu ‘Umar Al-Quthbiy. Dia seorang yang dha’if, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Abu Hatim berkata: لم يوصف بالحفظ٬ ليس بحافظ٬ هو صالح تغير حفظه قبل موته

- Ahmad bin Hanbal berkata: مضطرب الحديث مع قلة حديثه

- Ibnu Ma’in berkata: مخلط

- Ibnu Kharrasy berkata: كان شعبة لا يرضاه

- Adz-Dzahabi berkata: طال عمره وساء حفظه

- Ibnu Hajar berkata: ثقة فصيح عالم تغير حفطه وربما دلس

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (III/372), Al-Mizan (IV/405), dan Taqribut Tahdzib (hal. 625)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (III/415) dengan dua jalur:

Jalur pertama, dari Khalf bin Yahya Al-‘Abdiy dari ‘Anbasah bin ‘Abdul Wahid telah berkata kepada kami ‘Abdul Malik bin ‘Umair dari ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa.

- Khalf bin Yahya al-‘Abdiy Qadhiy Khurasan, dia seorang yang dha’if sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Abu Hatim berkata: متروك الحديث كان كذابا لا يشتغل به ولا بحديثه 

- Adz-Dzahabi menukilnya dan berkata: متروك الحديث كان كذابا لا يشتغل به ولا بحديثه

- Ibnu Hajar juga menukilnya dan berkata: متروك الحديث كان كذابا لا يشتغل به ولا بحديثه

- Dan lain-lain. [Lihat Al-Jarh wa Ta’dil (III/372), Al-Mizan (II/454), Al-Lisan (III/246), dan Tarikh Ashbahan (I/209)]

- ‘Abdul Malik bin ‘Umair Al-Hakhmiy Al-Kufiy, Abu ‘Umar Al-Quthbiy, dia seorang yang dha’if dan telah dijelaskan keadaannya di atas.

Jalur kedua, dari Ma’ruf bin Hasan telah berkata kepada kami Ziyad bin Al-A’lam dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair dari ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa.

- Ma’ruf bin Hasan as-Samarqandiy, Abu Mu’adz. dia seorang yang dha’if, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama ahlul hadits, diantaranya:

- Abu Hatim berkata : مجهول

- Ibnu ‘Adiy berkata : منكر الحديث

- Al-Baihaqi berkata : معروف بن حسان ضعيف

- Dan lain-lain. [Lihat Jarh wa Ta’dil (VIII/323), Syu’abul Iman (III/416), Al-Mizan (VI/467), dan Al-Kamil (VIII/30)]

- ‘Abdul Malik bin ‘Umair al-Hakhmiy Al-Kufiy, Abu ‘Umar Al-Quthbiy, dia seorang yang dha’if dan telah dijelaskan keadaannya di atas.

‘Ali Al-Qariy berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dha’if dari ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa.” [Lihat Al-Asrar Al-Marfu’ah (hal. 255)]

Al-‘Iraqiy melemahkan hadits ini dalam Takhrijul Ihya’ (I/182) dan Al-Baihaqiy juga melemahkan seluruh jalurnya dalam Syu’abul Iman (III/415).

Hadits ini diriwayatkan juga oleh As-Suhamiy dalam Tarikh Jurjaniy (hal. 370), dari jalur Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib telah berkata kepadaku, bapakku dari bapaknya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

- Sanad hadits ini munqathi’ mu’dhal.


- Ja’far bin Muhammad adalah Ja’far Shadiq dan bapaknya adalah Muhammad bin ‘Ali bin Husain tidak bertemu dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

***
muslimah.or.id
_______________________________

Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.


Muslim.Or.id