Rabu, 25 Juli 2012

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa


 
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.

Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. 


Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)

(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya.

Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa.

Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa.

Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:

 
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).

Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman.
 
Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. 

Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. 

Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.

Rasulullah Shalallahualaihi wassalam bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. 

Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian.
Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. 

Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. 

Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. 

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus.

Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.





9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. 


Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)

Puasa Tetapi Tidak Berjilbab...


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shalallahualaihi wassalam, keluarga dan sahabatnya.

Kita telah mengetahui bersama mengenakan jilbab adalah suatu hal yang wajib. Sebagaimana kewajibannya telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup kita. Namun kenyataaan di tengah-tengah kita, masih banyak yang belum sadar akan jilbab termasuk pada bulan Ramadhan. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimanakah status puasa wanita yang tidak berjilbab. Semoga bermanfaat.

Kewajiban Mengenakan Jilbab

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14).

Orang yang tidak menutupi auratnya artinya tidak mengenakan jilbab diancam dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128).

 Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah: (1) Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang; (2) Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  17: 190-191).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa wajibnya wanita mengenakan jilbab dan ancaman bagi yang membuka-buka auratnya. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa berpakaian tetapi telanjang alias tidak mengenakan jilbab termasuk dosa besar. Karena dalam hadits mendapat ancaman yang berat yaitu tidak akan mencium bau surga. Na’udzu billahi min dzalik.

Puasa Harus Meninggalkan Maksiat

Setelah kita tahu bahwa tidak mengenakan jilbab adalah suatu dosa atau suatu maksiat, bahkan mendapat ancaman  yang berat, maka keadaan tidak berjilbab tidak disangsikan lagi akan membahayakan keadaan orang yang berpuasa. Kita tahu bersama bahwa maksiat akan mengurangi pahala orang yang berpuasa, walaupun  status puasanya sah. Yang bisa jadi didapat adalah rasa lapar dan haus saja, pahala tidak diperoleh atau berkurang karena maksiat. Bahkan Allah sendiri tidak peduli akan lapar dan haus yang ia tahan. Kita dapat melihat dari dalil-dalil berikut:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277).
Mala ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).

Al Baydhowi rahimahullah mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah mengekang berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak demikian, sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak akan menerimanya.” (Fathul Bari, 4: 117).

Penjelasan di atas menunjukkan sia-sianya puasa orang yang bermaksiat, termasuk dalam hal ini adalah wanita yang tidak berjilbab ketika puasa. Oleh karenanya, bulan puasa semestinya bisa dijadikan moment untuk memperbaiki diri. Bulan Ramadhan ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan diri menjadi lebih baik. Pelan-pelan di bulan ini bisa dilatih untuk berjilbab. Ingatlah sebagaimana kata ulama salaf, “Tanda diterimanya suatu amalan adalah kebaikan membuahkan kebaikan.”

Belum Mau Berjilbab

Beralasan belum siap berjilbab karena yang penting hatinya dulu diperbaiki?
Kami jawab, “Hati juga mesti baik. Lahiriyah pun demikian. Karena iman itu mencakup amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya pemahaman keliru dari aliran Murji’ah yang menganggap iman itu cukup dengan amalan hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh realisasi dalam tindakan dan amalan”

Beralasan belum siap berjilbab karena mengenakannya begitu gerah dan panas?
Kami jawab, “Lebih mending mana, panas di dunia karena melakukan ketaatan ataukah panas di neraka karena durhaka?” Coba direnungkan!

Beralasan belum siap berjilbab karena banyak orang yang berjilbab malah suka menggunjing?
Kami jawab, “Ingat tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap orang yang berjilbab seperti itu. Itu paling hanya segelintir orang yang demikian, namun tidak semua. Sehingga tidak bisa kita sebut setiap wanita yang berjilbab suka menggunjing.”

Beralasan lagi karena saat ini belum siap berjilbab?

Kami jawab, “Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa nanit jika sudah pipi keriput dan rambut ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita menunda amalan baik. Jika tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan besok lagi? Dan kita tidak tahu besok kita masih di dunia ini ataukah sudah di alam barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita sejam atau semenit mendatang. So … jangan menunda-nunda beramal baik. Jangan menunda-nunda untuk berjilbab.”
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut seharusnya menjadi renungan,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416).

 Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan sholeh. Juga sikap ini menjadikan kita sedikit dalam berpanjang angan-angan. Demikian kata Ibnu Baththol ketika menjelaskan hadits di atas.

Moga di bulan penuh barokah ini, kita diberi taufik oleh Allah untuk semakin taat pada-Nya. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 4 Ramadhan 1432 H (04/08/2011)
www.rumaysho.com

Selasa, 24 Juli 2012

Aku dan ramadhan...



Alhamdulillah, Ramadhan kali ini aku masih bisa bernafas
masih bisa menghirup udara segar di bumiNya ini..

Alhamdulillah, aku masih mampu merasakan semerbaknya udara Ramadhan nikmat terhirup sukmaku…

Alhamdulillah, lembut belaian angin Ramadhan masih sempat membelai jiwaku, lenyapkan gundah gulana, sirnakan sesak di dada…

Alhamdulillah, Ramadhan kali ini, tubuhku sehat, jiwa ku pun tak terlalu luka, aku masih mampu menahan gejolak hati yang tak beraturan…

Alhamdulillah, Ramadhan ini aku masih mampu untuk menahan lapar, haus hingga sang surya-Mu tenggelam, Namun aku berharap pertolongan-Mu ya Robb, untuk menguatkan aku menjalani Ritual suci ini hingga hingga akhir Ramadhan-Mu, dan pula aku berharap pertolongan-Mu, setelah Ramadhan nanti Engkau kuatkan aku untuk terus dan terus melakukan kebiasaan – kebiasaan baik yang aku lakukan di Ramadhan ini, Tolong hamba ya Robb…, untuk senantiasa memohon pertolongan-Mu ketika  aku akan beramal karena aku sadar bahwa aku hanyalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:

وخلق الإنسان ضعيفا

 “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

Aku bersyukur padaMu ya Robb…, betapa indahnya kehidupan yang Engkau karuniakan kepadaku, Engkau jumpakan aku dengan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan ini, betapa tidak, sehari sebelum Ramadhan tetanggaku engkau panggil untuk menghadapmu, padahal tahun lalu kami masih sama – sama menjalankan Ibadah Ramadhan…


Ya Robbi…, panjangkan dan berkahilah umurku, tetapkanlah senantiasa dalam ketaatan dan kepatuhan kepada-Mu ya Rahman…

Mudahkanlah aku dalam menjalankan ketaatan (ibadah) kepada-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu, mengingat dosaku kini sebanyak buih lautan, tanpa pertolongan-Mu, maka aku akan tersesat dalam lupur dosa. Rasul- Mu shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkanku bahwasannya,

 كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
    
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Ramadhan adalah jalan Taubat, untuk itu ya Robb…, terimalah taubatku, berilah aku ampunan, berilah aku rahmat dan kemuliaan.

Aku ingin Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang penuh dengan kebajikan, penuh dengan kemanfaatan dan keberkahan dalam kehidupanku…

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبهمن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه


“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk Ramadhanku yang lebih baik...

Jkt, 4 Ramadhan 1433 H 
abie sabiella

Senin, 23 Juli 2012

Fidyah di Dalam Puasa



(Oleh: Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro)

Allâh Ta'ala telah menurunkan kewajiban puasa kepada Nabi-Nya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berkehendak, maka dia boleh tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allâh Ta'ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa’at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah ( فدية ) atau fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء ) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[1]
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allâh Ta'ala telah menyebutkan tentang fidyah dalam Kitab-Nya Yang Mulia.
Allâh Ta'ala berfirman:
(QS Al Baqarah/2 : 184)
Maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian (di bulan Ramadhan),
wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin.
Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain)
maka itu lebih baik baginya,
dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.
(QS Al Baqarah : 184)

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allâh Ta'ala :
(QS Al Baqarah : 184)
"Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya),
maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin"

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah?

Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa‘ radhiyallâhu'anhu, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allâh Ta'ala:

(QS Al Baqarah/2 : 185)
"Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan,
maka hendaklah dia berpuasa."
(Al Baqarah ayat 185)

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

Dari ‘Atha radhiyallâhu'anhu, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu membaca ayat:
(QS Al Baqarah/2 : 185)
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu berkata:
“Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir).[3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa’di rahimahullâh di dalam tafsirnya:
“Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat tersebut maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar”. [4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allâh Ta'ala menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah”. [5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1.
Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa’id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Auza’i. [6]
2.
Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.
Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allâh Ta'ala menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa. [7]
Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :
1. Wanita hamil dan wanita yang menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.
Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah? Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat pertama, wajib bagi mereka untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha‘ tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha‘ dan membayar fidyah.

Dalil dari pendapat ini ialah surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha‘ puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:
hadist
Wanita menyusui dan wanita hamil,
jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan.
(HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)
Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullâh di dalam Irwa’.
Ibnu Qudamah berkata,

”Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha‘. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha‘ dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi’i.” [8]

Pendapat kedua, tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha’, akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.
Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas radhiyallâhu'anhu:
hadist
Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui.
(HR Al-Khamsah)

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu tidak menyebutkan untuk mengqadha’, namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.*)
Pendapat ketiga, wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja. Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha’, karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan.
Adapun hadits :

“Sesungguhnya Allâh menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”,

maka yang dimaksud ialah, bahwa Allâh Ta'ala menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha’i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha’ (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, pendapat inilah yang paling kuat.[9] Beliau (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:

hadist
Sesungguhnya Allâh telah menggugurkan dari musafir setengah shalat,
dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa.
(HR Al-Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih)

Akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha’ dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]

Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.

Pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daimah.

Soal :
Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha’? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha’, tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha’? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

Jawab :
Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa.
Allâh Ta'ala berfirman:

(Qs Al-Baqarah/2 : 184)
Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan,
maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain.
Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha’ saja. Dan semoga Allâh Ta'ala memberikan taufiq.[11]

2. Orang yang mempunyai kewajiban untuk mengqadha’ puasa,
akan tetapi dia tidak mengerjakannya tanpa udzur hingga Ramadhan berikutnya"

Pendapat yang pertama
, wajib baginya untuk mengqadha’ dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi’i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha’ puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).

Dalil dari pendapat ini adalah: Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha’ bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat kedua, tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha’ puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha’i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

Berkata Imam Asy Syaukani:
“Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)”.[14]

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:

“Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu dan Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha` “. [15]

Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan meng-qadha’ hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama. Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha’, kemudian mati sebelum mengerjakannya.

Kedua. Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha’nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’, tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga. Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH
Tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur‘an atau As-Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.

Pendapat ulama tentang kadar dan jenis fidyah.
Berkata Imam An Nawawi:
“(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada”.
Imam An Nawawi juga berkata:
“Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja”. [17]

Ukuran Satu Mud
Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram.[18]
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram.[19]
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.
Pertama. Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.
Disebutkan dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil).
Kedua. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata:
“Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha’ dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allâh Ta'ala yang telah disebutkan”.

6. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas radhiyallâhu'anhu ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Wallahu Ta’ala A’lam.
Maraji‘:
1.
Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2.
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402H.
3.
Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4.
Asy Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416H.
5.
Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
6.
Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7.
Irwa’ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
8.
Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma’rifah, Beirut.
9.
Fatawa Islamiyah, Jama’: Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.

[1]
Lihat Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi. Cet. Maktabah Lubnan, hlm. 435.
[2]
Lihat Nailul Maram Min Tafsiir Ayatil ahkam, ‘Allamah Shiddiq Khan, hlm. 90-91.
[3] Fathul Bari (8/135)
[4] Lihat Tafsir As Sa’di, hlm. 69
[5] Asy Syarhul Mumti’, (6/334)
[6] Lihat Al Mughni (3/141)
[7]
Lihat Asy Syarhul Mumti’ (6/453).
[8]
Lihat Al Mughni (3/139).
[9]
Syarhul Mumti’, 363.
[10]
Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 45
[11]
Fatawa Islamiyah (2/148).
[12] Lihat Nailul Authar (3/175).
[13] Lihat Al Mughni (3/145).
[14] Nailul Authar (3/177).
[15] Syarhul Mumti’ (6/451).
[16] Lihat Syarhul Mumti’ (6/452-453).
[17] Al Majmu’ Syarh Al Muhadz-dzab (6/420)
[18] Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti’ (6/176)
[19] Taudhih Al Ahkam (3/178)
*) Dalam majalah As-Sunnah Edisi 06/IX/1426 H/2005 M halaman 45, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali merajihkan pendapat yang kedua ini- redaksi.)

(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (07-08)/Tahun IX)

Jumat, 20 Juli 2012

Amalan-amalan terlarang di waktu shaum Ramadhan



Arrahmah.com - Shaum Ramadhan memiliki keutamaan yang sangat agung dan manfaat yang sangat banyak dari berbagai aspek; jasmani, ruhani, medis, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Semua keutamaan dan manfaat tersebut akan mengantarkan seorang muslim mencapai derajat takwa. Buahnya bisa dilihat secara nyata dalam hidup keseharian seorang muslim selama sebelas bulan setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan.Sepanjang tahun, ia akan menunjukkan keshalihan pribadi dan sosial. Secara vertikal, hablun minallah, ia memiliki hubungan ibadah dan taqarrub yang sangat kuat dengan Allah SWT.

Dan secara horisontal, hablun min an-naas, ia menampilkan akhlak yang baik kepada sesama manusia; anak, istri, tetangga, kerabat, lingkungan kerja, dan lainnya. Ia hidup lebih sabar, disiplin, jujur, bertanggung jawab, amanah, ulet, penyayang, peduli sesama, dan sederhana. Ia jauh dari kebohongan, egoisme, kekikiran, pemborosan, penipuan, kezaliman, dan kemaksiatan. Ia sukses menjadi lebah yang senantiasa menebar kebaikan dan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Buah yang indah dan keutamaan yang agung tersebut bukanlah hasil dari sebuah 'shaum  biasa'. 'Shaum biasa' adalah shaum yang sekedar menggugurkan kewajiban. Ia melakukan shaum karena semua muslim di sekitarnya juga melakukannya. Ia melakukan shaum sekedar mengacu kepada hukum-hukum fiqihnya: memenuhi syarat dan rukun serta menjauhi pembatalnya semata. Shaum baginya hanyalah tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri sejak fajar fajar sampai matahari tenggelam.

Secara hukum fiqih, apa yang ia lakukan memang sudah benar. Shaumnya sah dan ia telah menunaikan kewajibannya. Hanyasaja, Islam menginginkan lebih jauh dari shaumnya. Bukan hanya rukun dan syarat shaum yang dipenuhi, serta pembatal-pembatalnya yang dijauhi. Agar sampai kepada derajat takwa yang sesungguhnya, ia juga dituntut untuk menjaga adab-adab dan sunah-sunah Ramadhan. Ada kebiasaan-kebiasaan buruk, bahkan hal-hal yang kelihatannya sepele, yang selayaknya ditinggalkannya. Ada kebiasaan-kebiasaan baik yang harus ia latih sehingga terbiasa dan pada gilirannya menjadi bagian dari perangainya. Ia mesti mempraktekkan berbagai akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela, agar shaumnya berpahala dan membawa sejuta manfaat.

Di antara adab-adab yang harus diperhatikan olehnya adalah pesan-pesan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ))

Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Shaum adalah perisai. Maka janganlah orang yang shaum melakukan hal yang jorok dan jangan pula melakukan tindakan yang bodoh. Jika seseorang mengganggunya atau mencaci makinya, maka hendaklah ia menjawab: 'Aku sedang melakukan shaum 2X.' Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum dari bau minyak wangi. Ia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku SWT semata. Shaum itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya balasan. Dan satu amal kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya." (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( ليس الصيامُ من الأكلِ والشربِ ، إنما الصيامُ من اللغو والرفث ، فإن سابَّك أحدٌ أو جهل عليك ، فقل : إني صائم ، إني صائم ))

Dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Shaum itu bukanlah sekedar tidak makan dan minum. Lebih dari itu, shaum yang sebenarnya adalah menahan diri dari hal-hal yang sia-sia dan hal-hal yang jorok. Jika seseorang mencaci maki kamu atau berbuat bodoh kepadamu, maka katakanlah kepadanya: 'Aku sedang melakukan shaum. Aku sedang melakukan shaum." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: Shahih menurut syarat imam Muslim. Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam Shahih Targhib wa Tarhib no. 1082)

Dalam hadits-hadits ini dijelaskan bahwa orang yang melakukan shaum harus meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela yang bisa merusak shaum atau minimal mengurangi keutamaan dan manfaatnya. Hal-hal tercela tersebut adalah:

Pertama, Fa laa Yarfuts 
Janganlah melakukan hal yang jorok. Istilah ar-rafats secara bahasa memiliki arti perkataan yang jorok dan keji. Adapun dalam istilah agama memiliki beberapa pengertian; ucapan yang keji dan jorok, hubungan seksual, pengantar menuju hubungan seksual (mencium, memeluk, mencumbu), mengobrol tentang lawan jenis, pornografi, pornoaksi, dan hal-hal yang semakna dan setujuan dengannya. Ibnu Abbas, Sa'id bin Jubair, As-Sudi, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Mujahid, Az-Zuhri, dan Malik bin Anas menyatakan maksud dari ar-rafats adalah hubungan seksual. Ibnu Umar, Thawus bin Kaisan, Atha' bin Abi Rabah, dan beberapa ulama salaf mengartikan ar-rafats adalah ucapan yang keji dan jorok. Sementara pakar bahasa Abu Ubaidah menafsirkan ar-rafats adalah perkataan yang sia-sia. (Fathul Qadir, 1/251)

Dalam hadits yang kedua, selain dilarang ar-rafats, orang yang shaum juga dilarang dari al-laghwu. Istilah al-laghwu diambil dari kata kerja dasar laghaa-yalghuw-laghwun dan laghaa-yalghii-laghyun. Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-laghwu memiliki pengertian: ucapan yang tidak diperlukan, ucapan yang tidak memiliki kebaikan, dan ucapan yang tidak ada nilainya. (Fathul Qadir, 1/289). Dalam bahasa Indonesia, al-laghwu sering dialih bahasakan menjadi 'perkataan yang sia-sia, tidak ada manfaatnya, sendau-gurauan dan ucapan main-main'.

Bila hal itu kita komparasikan dengan realita kaum muslimin, maka kita bisa tercengang. Betapa banyak muda-mudi yang melakukan rafats tanpa sadar akan bahaya besarnya bagi nilai shaum mereka. Rafats telah menjadi fenomena umum di kota dan desa; sekolah, kantor, pabrik, pasar, dan tempat kerja; bahkan di masjid!

Sudah menjadi pemandangan umum, muda-mudi bukan mahram yang jalan-jalan bergandengan tangan ba'da Subuh atau ba'da Tarawih sambil ngobrol ngalor-ngilur tak karuan. Sudah umum, muda-mudi bukan mahram yang menunggu datangnya waktu berbuka dengan memadati mall-mall dan tempat hiburan sambil 'cuci mata'. Sudah lazim, muda-mudi bukan mahram yang mengisi waktu luangnya dengan SMS-SMS-an, calling-calling-an, chating-chating-an, facebook-an dan twitter-an dengan lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan oleh syariat. Betapa banyak ibu-ibu dan remaja putri yang mengisi waktunya dengan menikmati acara-acara info selebritis di TV, yang notabenenya mengobral aurat, percintaan, ghibah, dan seterusnya. Obrolan di sekolah, kantor, pabrik, pasar, kendaraan umum, dan tempat-tempat umum lainnya juga seringkali dibumbui (jika bukan menjadi menu utamanya) dengan pembicaraan tentang lawan jenis dan hal-hal semakna dengannya.

Demi keutamaan dan pahala shaum yang agung, semua bentuk rafats seperti ini harus kita tinggalkan. Pada awalnya pasti sangat berat, namun dengan kerja keras, kesungguhan, tekad baja, dan meminta pertolongan Allah…insya Allah kita akan mampu meninggalkannya. Selanjutnya, menggantinya dengan hal-hal yang membawa manfaat dunia dan akhirat.  
    
Kedua, Wa laa yajhal
Janganlah bertindak bodoh. Maksudnya, janganlah melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak, tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal yang sejenis dengannya. Dalam pengertian bahasa Arab dan syariat Islam, al-jahl (kebodohan) memiliki empat makna: pertama, tidak memiliki ilmu. Kedua, memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya. Ketiga, memiliki ilmu namun ilmunya bertolak belakang 180 % dengan kebenaran. Keempat, gegabah, emosional, tidak santun, dan tidak mampu mengendalikan amarahnya. Imam An-Nawawi mengartikan al-jahl di sini sebagai ucapan dan tindakan yang tidak bijaksana dan tidak benar. (Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, Al-Mufradat fii Gharibil Qur'an, dan Syarh Shahih Muslim)

Bila hadits ini kita tarik kepada realita kaum muslimin, maka lagi-lagi kita mengelus dada. Betapa banyak pemuda dan remaja yang asyik memetik gitar dan berdendang ria di gardu-gardu jaga, padahal masjid yang hanya berjarak seratusan meter dari situ tengah melaksanakan shalat tarawih berjama'ah. Berapa banyak anak-anak dan remaja yang menghabiskan berjam-jam waktunya bersama play station? Berapa ribu jumlah petasan yang dibakar oleh anak-anak, remaja, pemuda, dan bahkan orang tua di saat umat Islam yang lain tengah khusyu' shalat dan tadarus Al-Qur'an? Berapa pula yang begadang menunggu datangnya waktu sahur dengan kartu, papan catur, dan alat-alat musik? Seringkali suara petasan dan musik jahiliyah lebih keras dari lantunan tadarus Al-Qur'an!

Shaum menuntut kita untuk menjauhi semua perilaku buruk dan bodoh tersebut. Buruk karena menyalahi syariat. Bodoh karena jelas tidak membawa manfaat dunia dan akhirat. Tidak ada nilai ketaatan, taqarrub, pahala, dan manfaat di dunia maupun akhirat dalam tindakan-tindakan semacam itu. Shaum menuntut kita memaksimalkan setiap detik dalam bulan suci ini dalam amal ketaatan yang wajib maupun sunah. Jika melakukan hal yang asalnya mubah, maka itu pun harus diniatkan sebagai rehat dan sarana mengembalikan stamina untuk melakukan amal kebajikan berikutnya.

Ketiga, perkelahian, adu mulut, dan caci maki
Orang yang melakukan shaum dituntut untuk tidak melayani percek-cokan, perkelahian, dan caci makian dari orang lain. Sebagian riwayat hadits di atas memakai lafal وَإِنْ اِمْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ "Jika seseorang memerangi atau mencaci maki dirinya". Dalam lafal lain memakai lafal   فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ قَاتَلَهُ "Jika seseorang mencaci maki atau memeranginya". Dalam riwayat yang lain juga dipergunakan lafal فَإِنْ سَابَّهُ أَحَد أَوْ مَارَاهُ "Jika seseorang mencaci maki atau mendebatnya." 

Shaum mengharuskan seseorang untuk bersikap sabar, lapang dada, santun, pemaaf, dan tenang. Shaum membiasakan diri pelakunya untuk meredam kemarahan, kejengkelan, kekecewaan, emosi, dendam, iri hati, kebencian, dan permusuhan dari dalam hatinya. Oleh karenanya, ketika ia dicaci maki, diajak adu mulut, atau ditantang berkelahi, maka ia mampu menahan diri. Ia ucapkan perkataan yang mantap إِنِّي صَائِم "Saya tengah mengerjakan shaum". Ia tidak membalas perilaku kurang ajar yang memancing emosi itu dengan tindakan bodoh. Dengan bijak, ia kendalikan emosinya. Jika orang lain berbuat gila kepada kita, kita tidak perlu ikut-ikutan gila. Itulah yang diajarkan oleh hadits ini.  

Menurut penjelasan imam An-Nawawi, ucapan "aku tengah mengerjakan shaum' memiliki dua pengertian:
  • Ia mengucapkannya dengan keras sehingga orang yang mencaci maki, mengajak cek-cok, dan menantang kelahi tersebut mendengarnya. Biasanya, mereka akan sadar dan tidak melanjutkan niatnya.
  • Ia mengucapkannya dalam hatinya sendiri, agar hatinya selalu waspada dan berhati-hati. Dengan demikian, ia tidak akan bereaksi negatif; balik mencaci maki, cek-cok, dan berkelahi dengan orang yang menyakitinya. Ia tetap berhati-hati agar shaumnya tidak terkotori oleh hal-hal yang mengurangi keutamaan dan pahalanya.
Tentu saja, ujar imam An-Nawawi, jika kedua hal ini dilakukan sekaligus, maka hasilnya akan lebih baik.
Selanjutnya….

Imam Al-Quthubi dan An-Nawawi mengingatkan, meski ar-rafats, al-jahl, al-mukhashamah (cek-cok) dan al-mujaadalah (debat) dilarang pada saat melaksanakan shaum, bukan berarti keempat hal buruk itu boleh dilakukan di luar Ramadhan atau oleh orang yang tidak shaum. Keduanya tetap haram dilakukan oleh orang yang tidak shaum atau di luar Ramadhan. Hanyasaja, keharamannya semakin kuat pada bulan Ramadhan dan pada saat orang tengah melakukan shaum.
Saudaraku seislam dan seiman…
Mari kita jaga shaum Ramadhan kita dari segaa ucapan dan perbuatan yang buruk, keji, dan tidak bermanfaat. Semoga shaum kita bisa diterima dan diberi balasan yang sempurna di sisi Allah SWT. Amien. 
Refrensi:
  1. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari
  2. Shahih Muslim bi-Syarh An-Nawawi
  3. Madarijus Salikin fi Manazili Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in
  4. Fathul Qadir
Risalah Ramadhan Arrahmah.com
Oleh: Muhib al-Majdi
http://arrahmah.com

Menggemarkan Membaca Al-Qur’an di Bulan Ramadhan



 Bulan Ramadhan, dikenal juga dengan ‘Bulan Al Qur’an’ karena pada bulan inilah AlQur’an diturunkan
Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” Qs Al Baqarah : 185

Bersungguh sungguhlah untuk memperbanyak bacaan Al-Quran yang penuh berkah, terutama pada bulan ini, bulan diturunkannya Al-Qur’an. pembacaan AlQu’an pada bulan ini memiliki keistimewaan tersendiri.

Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam setiap tahun sekali pada bulan ramadhan. Pada tahun wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali untuk mengokohkan dan memantapkannya.

Para salafus shaalih rahimahumullah memperbanyak membaca AlQur’an pada bulan ramadhan, baik di dalam maupun di dalam shalat. Berikut ini adalah beberapa contohnya.

Imam az-zuhri rahimahullohu berkata, pada saat memasuki bulan ramadhan, “Ini adalah bulan pembacaan AlQur’an dan pemberian makanan.”

Ketika memasuki ramadhan, Imam malik rahimahulloh meninggalkan pembacaan hadits dan majelis majelis ilmu lalu beliau memfokuskan diri untuk membaca AlQur’an dengan memakai mushaf.
Qatadah selalu mengkhatamkan Qur’an setiap tujuh malam, namun pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Quran dalam tiga hari, bahkan pada sepuluh malam terakhir, beliau mengkhatamkannya setiap malam.

Ibrahim an Nakha’i rahimahullah menkhamkan Al-Quran setiap tiga malam da pada sepuluh malam terakhir beliau mengkhatamkannya tiap dua malam.

Adapun Al-Aswad rahimahulloh, beliau membaca seluruh ayat alQur’an setiap duahari pada setiap bulan.
Maka, jadikanlah orang orang pilihan tersebut sebagai teladan kalian. Ikutilah jalan mereka dan pergunakanlah kesempatan pada waktu siang dan malam dengan sebaik baiknya untuk mendekatkan diri kalian kepada Yang maha Perkasa lagi maha Pengampun. Ketahuilah, umur itu hilang dengan cepat dan waktu itu akan sirna seluruhnya, seolah olah hanya sekejap mata saja.

Ya Allah, berilah karunia kepada kami untuk dapat membaca kitabMu sesuai dengan cara yang Engkau Ridhai dari kami. Dengannya tunjukkanlah kami jalan jalan keselamatan dan keluarkanlah kami dari kegelapan kepada cahaya. Wahai pemilik dan Pengatur alam Semesta, jadikanlah ia sebagai hujjah yang memperkuat kami, bukan hujjah yang mencelakakan kami.

Disalin dari Majelis Bulan Ramadhan – Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin -rahimahulloh-, Pustaka Imam Syafi’i 

http://muslimah.or.id/

Rabu, 18 Juli 2012

JELANG RAMADHAN DENGAN BERTAUBAT

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Itulah waktu, berlalu sangat cepat. Jatah ajal yang telah ditetapkan semakin dekat. Selayaknya kita melakukan introspeksi diri sebelum datang musim ketaatan dan selama masih ada kesempatan. 

Hanya tinggak beberapa jam saja akan tiba Ramadhan yang Mulia. Bulan penuh berkah, rahmah, ampunan, dan pembebasan dari neraka.

Siapa yang mendapati Ramadhan dan tidak mendapatkan keberkahannya, di antaranya ampunan maka sungguh ia orang merugi. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sangat merugi, sangat merugi, sangat merugi; orang yang mendapati Ramadhan dan dosanya tidak terampuni." (HR. Al-Hakim dan lainnya. Al-hakim dalam Mustadraknya berpendapat bahwa isnad hadits ini shahih.)

Maka sangat tepat dipesankan sebelum datang Ramadhan yang segera datang, agar kita melakukan taubat nasuha dan menyesali dosa-dosa yang telah kita kerjakan.

Sesungguhnya dosalah adalah penyebab dada terasa sesak dan bumi teras sempit. Dosa pula yang menyebabkan perasaan gundah dan galau, hidup dihimpit kesedihan dan kemalasan. Dosa pula yang menyebabkan hilangnya barakah dalam hidup; baik yang menimpa harta, waktu, dan umur. Doa juga menjadi penyebab berbagai bencana alam, gempa bumi, banjir, dan kesulitan-kesulitan.

Kemaksiatan menjadi sebab hilangnya nikmat, datangnya adzab, wajah menghitam, hati mengeras, melamahkan fisik, dan mengurangi rizki. Apalagi nanti di akhriat, dosa dan maksiat menyebabkan seseorang mendapat siksa di akhirat.

Dan sesungguhnya siapa yang bertaubat kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan taubat kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Allah Ta'ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.  Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.  Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Zumar: 53)

Tuntutan dari taubat adalah dengan meninggalkan dosa dan maksiat. Terlebih sebentar lagi Ramadhan, maka meninggalkan maksiat harus semakin kuat. Bertaubat pada musim ketaatan akan semakin ringan. Oleh karenanya, harapan besar untuk diberikan ampunan harus semakin membaja.

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

 "Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Nisa': 110)

Dalam hadits Qudsi, Allah Ta'ala berfirman,

يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي

"Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku niscaya Aku ampuni engkau seberapapu dosamu dan Aku tidak peduli." (HR. al-Tirmidzi)

Maka jadikan Ramadhan kali ini sebagai penghapus dosa-dosa kita. Sehingga kita keluar dari Ramadhan menjadi manusia suci dari berbagai dosa dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Siapa yang berpuasa Ramadhan di dasari iman dan berharap pahala (kepada Allah) diampuni dosanya yang telah lalu." (Muttafaq 'Alaih dari hadits Abu Hurairah)

Wahai para pelaku maksiat, bertaubatlah kepada Allah dan menyesalah dengan sesungguhnya atas dosa dan maksiat yang telah engkau perbuat!

Wahai para pelaku maksiat, pantaskah engkau durhaka kepada-Nya padahal engkau tinggal di atas bumi yang telah diciptakan-Nya dan bernaung di bawah langit yang dibentangkan-Nya!

Wahai para pelaku maksiat, pantaskah engkau durhaka kepada-Nya padahal engkau makan dan minum dari nikmat-Nya, dan bernafas dari oksigen yang berasal dari-Nya!

Wahai para pelaku maksiat, sebentar lagi datang bulan ampunan, sucikan dirimu dari berbagai dosa dan kemaksiatan. Manfaatkan bulan berkah dan rahmat untuk mendapatkan limpahan karunia dan ampunan dari-Nya. Engkau keluar dari Ramadhan dalam keadaan suci dari dosa-dosa. 

Wallahu Ta'ala A'lam. 

[PurWD/voa-islam.com]