Jumat, 04 November 2011

Pokok Iman (Ashlul-Imaan) Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah


Sebelum membahas ini, maka penting diketahui bahwasannya iman menurut Ahlus-Sunnah adalah perkataan dan perbuatan, sebagaimana definisi yang dikatakan Al-Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
Dan iman itu bercabang-cabang yang terdiri dari :
1.     Cabang iman yang ada dalam hati; ada dua macam, yaitu : (a) perkataan hati berupa tashdiiq (pembenaran), dan (b) perbuatan/amal hati, berupa inqiyaad (ketundukan), taslim (kepasrahan), khudluu’, kecintaan, dan yang lainnya.
2.     Cabang iman yang ada dalam lisan; seperti dzikir kepada Allah yang diantaranya adalah pengucapan kalimat tauhid yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam wilayah Islam, dan seluruh perkataan-perkataan lain yang telah ma’ruf.
3.     Cabang iman yang ada dalam anggota tubuh/jawaarih; yaitu berupa amal-amal badan seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].
Hadits di atas menjelaskan bahwa cabang-cabang atau bagian-bagian iman itu tidaklah berada dalam satu tingkatan. Sebagian lebih utama daripada sebagian yang lain. Dan termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah adalah bahwa iman terbagi menjadi pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’u).
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان جميعا
 وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح
........
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح غير أن له أصلا وفرعا
“Dan jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya. Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’)” [Al-Iimaan, 1/331].
Lantas, apa yang dimaksudkan dengan ashlul-iimaan (pokok iman) ?.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ، والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه يراه
“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan (al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak (al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/358].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :
وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم
“Mereka adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman (ashlul-iimaan) bersamanya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 92].
Ashlul-iimaan dinamakan juga muthlaqul-iimaan.[1] Iman ini merupakan tingkatan iman paling rendah[2] yang tidak menerima adanya pengurangan, karena ia merupakan batas Islam pembeda antara kekafiran dan keimanan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya, sehingga iman ini wajib dimiliki oleh siapa saja yang masuk dalam wilayah Islam (baca : muslim). Keberadaan pokok iman ini bagi seseorang merupakan jaminan keselamatan dari kekekalan neraka. Barangsiapa saja yang tidak mempunyai ashlul-imaan, maka kafir hukumnya. Berikut akan dibawakan beberapa perkataan ulama kita tentang ashlul-iimaan.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
Ashlul-iimaan itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan. Dan iman yang ada di dalam hati sudah semestinya menampakkan konsekuensinya dan kebutuhannya pada anggota badan (jawaarih). Apabila ia tidak mengamalkan konsekuensi dan kebutuhannya pada amal anggota badan (jawaarih), itu menunjukkan ketiadaan dan kelemahannya" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/644].
Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
فأصل الإيمان الإقرار والتصديق
“Maka ashlul-iimaan adalah iqraar dan tashdiiq” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/519].
Al-Kalaabadziy rahimahullah (w. 380 H) berkata :
أصل الإيمان : إقرار اللسان بتصديق القلب، وفروعه : العمل بالفرائض
Ashlul-iimaan adalah pengakuan lisaan terhadap pembenaran hati, dan cabang (furuu’) iman adalah mengerjakan hal-hal yang diwajibkan...” [At-Ta’arruf bi-Manhajit-Tashawwuf, hal. 80].
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Dan pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.
“Dan telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga” [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].
Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan sebagaimana perkataan para ulama di atas.
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد ‏
“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...”[3] [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].
فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس بمؤمن؛
“Dan ashlul-imaan yang berupa iqraar (penetapan) terhadap segala sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka inilah ashlul-iimaan yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin[4]” [Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].
و‏[‏الإيمان‏]‏‏:‏ اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه‏.‏ و‏[‏الكفر‏]‏‏:‏  اسم جامع لكل ما يبغضه الله وينهى عنه، وإن كان لا يكفر العبد إذا كان معه أصل الإيمان وبعض فروع الكفر من المعاصى، كما لا يكون مؤمنًا إذا كان معه أصل الكفر وبعض فروع الإيمان ـ
“Iman adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridlai oleh Allah. Dan kufur adalah satu nama yang mencakup semua hal yang dimurkai dan dilarang oleh Allah. Dan seandainya seorang hamba tidak dikafirkan apabila ada padanya ashlul-iimaan dan sebagian cabang-cabang kekafiran dari perbuatan maksiat; maka hal itu sebagaimana tidak menjadi orang beriman apabila ada padanya ashlul-kufr (pokok kekafiran) dan sebagian cabang-cabang keimanan....” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 15/283].
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” [QS. Al-Ahqaaf : 13].
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ "
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl[5] : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid[6], dari Al-Auza’iy[7], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umairah bin Haani’[8], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Junaadah bin Abi Umayyah[9], dari ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersyahadat/bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah utusan-Nya; dan (bersyahadat/bersaksi) bahwasannya ‘Iisaa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh daripada-Nya; dan (bersaksi) bahwasannya surga itu benar, neraka adalah benar; maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga betapa pun amal yang telah diperbuatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3435].
Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.
Timbul pertanyaan :
Apakah amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan ?.
Menurut jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya (kamaalul-iimaan).
Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu. Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan. Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].
Bagian pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah ashlul-imaan – sebagaimana menjadi bahasan - , karena sesuatu yang menyebabkan kafirnya seorang muslim apabila ditinggalkan hanyalah ashlul-iimaan sebagaimana telah lewat penjelasannya. Bagian kedua dan ketiga adalah furuu’ul-iimaan yang tidak menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan.
Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :
لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....
“Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikan ashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].
Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :
ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ  ، وهي كمالُ الإيمانِ
“Agama tegak dengan iman di hati secara ilmu dan keadaannya merupakan pokok. Dan amal-amal dhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].
Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarih sebagai berikut :
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
Tentang riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad – berkata :
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء الفرائض......
Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal[10]. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].
Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :
الإيمان والإسلام اسمان لمعنين : فالإسلام : عبارة عن الشهادتين مع التصديق بالقلب. والإيمان : عبارة عن جميع الطاعات؛ خلافا لمن قال : الإسلام والإيمان سواء إذا حصلت معه الطمأنينة
“Iman dan Islam itu adalah dua nama untuk dua makna. Islam adalah perkataan/ungkapan dari dua kalimat syahadat bersamaan dengan pembenaran/tashdiiq dengan hati. Dan iman adalah perkataan/ungkapan dari seluruh ketaatan. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa Islam dan iman itu sama (maknanya) apabila terdapat bersamanya thuma’niinah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/406].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata :
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها، وتركها تهاونا؛ فنحن وإن كان قاتلناه على فعلها، فلا نكفرها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء - كلهم - ، وهو الشهادتان
“Rukun Islam yang lima, awalnya adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun Islam yang empat (shalat, zakat, puasa, dan haji – Abul-Jauzaa’). Jika ia mengikrarkannya, kemudian ia meninggalkannya dengan meremehkannya, maka kami – meskipun memerangi pelakunya – tidak mengkafirkannya. Dan ulama berselisih pendapat tentang kekafiran orang yang meninggalkannya karena malas tanpa adanya pengingkaran. Dan kami tidaklah mengkafirkan kecuali apa-apa yang telah disepakati ulama seluruhnya, yaitu : (meninggalkan) syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102].
Dr. Nu’aim Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi mengikrarkan dengan lisannya. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].
Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits syafaa’at :
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أنّ اللهَ تعَالى يخرِجُ مِن النّارِ مَن لَم يعمَل خَيراً قَط ، بِمَحضِ رحمَتهِ ، وهذَا انتِفَاعٌ بِغَيرِ عمَلِهِم
“Bahwasannya Allah ta’ala mengeluarkan dari neraka orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun, dengan kemurnian rahmat-Nya. Dan ini bermanfaat tanpa adanya amal mereka” [Jaami’ur-RasaailAl-Majmuu’atul-Khaamishah - , hal. 203. Lihat pula yang semisalnya dalam Majmuu’ Al-Fataawaa, 16/47].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
والمرادُ بقولِه «لُم يعملُوا خَيراً قَط» مِن أعمالِ الجَوارِح ، وإن كانَ أصلُ التَّوحِيد معَهُم ، ولِهذَا جاءَ في حديثِ الّذِي أمرَ أهلَه أن يحرِقوُه بعدَ موتِه بالنّارِ إنه «لم يعَمَل خَيراً قَط غيرَ التَّوحِيد»
“Dan yang dimaksudkan dengan sabda beliau : ‘tidak beramal kebaikan sedikitpun’, yaitu dari amal-amal jawaarih (anggota badan), apabila ashlut-tauhiid (pokok tauhid) ada pada mereka. Oleh karena itu ada pada hadits yang mengkisahkan seseorang yang memerintahkan keluarganya agar membakarnya dengan api setelah kematiannya, bahwasannya ia tidak beramal kebaikan sedikit pun selain tauhiid” [At-Takhwiif minan-Naar, 1/259].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ
“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal (jawaarih)” [Fathul-Majiid, hal. 48, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, Cet. 7/1377].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
فيخرجون أولا من كان في قلبه مثقال دينار من إيمان، ثم الذي يليه، ثم الذي يليه، [ثم الذي يليه] حتى يخرجوا من كان في قلبه أدنى أدنى أدنى مثقال ذرة من إيمان ثم يخرج الله من النار من قال يومًا من الدهر: "لا إله إلا الله" وإن لم يعمل خيرًا قط، ولا يبقى في النار إلا من وجب عليه الخلود، كما وردت بذلك الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى: { ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا }
“Lalu akan keluar pertama kali (dari neraka) orang-orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dinar, kemudian orang setelahnya, kemudian orang setelahnya. Hingga keluar dari dari mereka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dzarrah. Kemudian Allah mengeluarkan dari neraka orang yang pernah mengucapkan Laa ilaaha illallaah ketika masa hidupnya, meskipun belum pernah beramal kebaikan sedikitpun. Dan tidaklah tersisa di neraka kecuali orang yang memang diwajibkan kekal di dalamnya, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut’ (QS. Maryam : 72)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/256-257].
Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhiid :
لا، بل ظاهرها : أنهم لم يعملوا خيرا قط كما صرح به في بعض الروايات أنهم جاءوا بإيمان مجرد لم يضموا إليه شيئا من العمل
“Tidak, bahkan maknanya sebagaimana dhahirnya : Bahwasannya mereka tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat bahwasannya mereka datang dengan iman saja, tanpa menyertakan padanya amal sedikitpun” [Tahqiq Kitaab At-Tauhiid li-Ibni Khuzaimah, hal. 309].
Dan yang lainnya dari perkataan ulama.[11]
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ، وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ......"
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[12], dari Jariir bin Haazim[13] : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim[14] : Telah menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy[15], ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman itu berupa perkara-perkara yang diwajibkan, syari’at-syari’at, huduud, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka sempurna imannya. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka tidaklah sempurna imannya......” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].
Sisi pendalilan dari atsar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ini : Kewajiban dan syari’at-syari’at Islam dimasukkan olehnya (‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz) sebagai penyempurna iman yang barangsiapa meninggalkannya, maka imannya tidak sempurna, lagi tidak dikafirkan.[16]
Satu catatan penting :
Mafhum perkataan Al-Baihaqiy di atas, bahwa ada sebagian ulama yang tidak berpendapat sebagaimana dijelaskan. Memang benar, ini tidak terlepas dari bahasan kafir tidaknya orang yang meninggalkan amal yang menjadi bagian dari rukun Islam yang empat. Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر، وأما الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،
“Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat, para ulama berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/302].
Kemudian beliau menyebutkan pendapat-pendapat tersebut, yang diantaranya beliau berkata :
وخامسة‏:‏ لا يكفر بترك شيء منهن، وهذه أقوال معروفة للسلف‏
“Pendapat kelima, tidak dikafirkan orang yang meninggalkan sesuatu dari keempat hal tersebut. Inilah pendapat-pendapat yang dikenal oleh salaf” [selesai].
Misalnya tentang permasalahan shalat, Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :
واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).
   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.
Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.
Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa mereka kafir dengannya, selama orang tersebut meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].
Maka, barangsiapa yang menghukumi/menganggap satu atau lebih amalan jawaarih dari rukun Islam yang empat yang bila ditinggalkan menyebabkan kekafiran (akbar), maka baginya amal tersebut bagian dari ashlul-imaan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya.
Oleh karena itu tampak dari penjelasan di atas bahwa perselisihan apakah (sebagian) amal jawaarih masuk bagian dari ashlul-iimaan atau tidak, merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah – sebagaimana klaim sebagian orang.[17]
Jika amal tidak masuk bagian dari ashlul-iimaan oleh jumhur ulama, lantas apa bedanya dengan Murji’ah ?.
Murji’ah menyelisihi Ahlus-Sunnah karena mereka mengeluarkan amal dari hakekat iman. Dan dengan sebab itu mereka dinamakan Murji’ah karena mengakhirkan amal dari iman.
Murji’ah ada tiga kelompok, sebagaimana dijelaskan para ulama, yaitu :
1.     Murji’ah Jahmiyyah, yaitu mereka yang menyatakan bahwa iman hanyalah sekedar ma’rifat dengan hati saja, dan mereka menyangka kekufuran kepada Allah adalah kejahilan (ketidaktahuan).
2.     Murji’ah Karraamiyyah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman hanyalah sekedar perkataan lisan saja, tanpa adanya pembenaran (tahsdiiq) dalam hati.
3.     Murji’ah Fuqahaa’, yaitu mereka yang mengatakan bahwa iman adalah pembenaran (tahsdiiq) hati dan ucapan lisan.
Ketiga kelompok Murji’ah itu sepakat bahwasannya iman itu adalah sesuatu yang satu yang tidak bertingkat-tingkat, dan tidak menerima adanya penambahan ataupun pengurangan. Mereka juga menolak adanya istitsnaa’ dalam iman, karena menurut mereka, hal itu merupakan keraguan dalam iman [At-Tabara’atu Al-Imaam Al-Muhaddits min Qaulil-Murji’ah Al-Muhdats oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, hal. 6].[18]
Perkataan mereka jauh sekali dari kebenaran, karena iman itu bertingkat-tingkat sebagaimana dijelaskan dalam hadits cabang-cabang iman di atas. Begitu pula iman dapat bertambah maupun berkurang, inilah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Berikut beberapa riwayat dari salaf mengenai hal itu :
أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: سَمِعْتُ مَالِكًا، وَالأَوْزَاعِيَّ، وَابْنَ جُرَيْجٍ، وَالثَّوْرِيَّ، وَمَعْمَرًا يَقُولُونَ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy[19], ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Sahl bin ‘Askar[20] : Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaaq[21], ia berkata : Aku mendengar Maalik[22], Al-Auza’iy[23], Ibnu Juraij[24], Ats-Tsauriy[25], dan Ma’mar[26] berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits no. 7; shahih].
أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ، قَالَ: قَالَ يَحْيَى: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad Ad-Duuriy[27], ia berkata : Telah berkata Yahyaa (bin Ma’iin)[28] : “Iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah, no. 1010; shahih].
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ شَبُّوَيْهِ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ، يَقُولُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ ". وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " إِنَّا لَنَحْكِي كَلامَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَحْكِيَ كَلامَ الْجَهْمِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal[29], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Syabbuwaih Abu ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq[30] berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[31] berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang”. Perawi berkata : Dan aku mendengarnya berkata : “Sesungguhnya kami menceritakan/menukil perkataan orang Yahudi dan Nashrani, namun kami tidak bisa menceritakan/menukil perkataan Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 71; shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَبِي الزَّرْقَاءِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، قَالَ: " خِلَافُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُرْجِئَةِ ثَلَاثٌ: نَقُولُ: الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَهُمْ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ وَلَا عَمَلَ. وَنَقُولُ: الْإِيمَانُ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ. وَنَحْنُ نَقُولُ: النِّفَاقُ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا نِفَاقَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy[32], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Abiz-Zarqaa’[33], dari Sufyaan Ats-Tsauriy, ia berkata : “Khilaf yang terjadi antara kami (Ahlus-Sunnah) dengan Murji’ah ada tiga. (1) Kami berkata : iman itu perkataan dan perbuatan; sedangkan mereka berkata : iman itu perkataan saja, tanpa perbuatan. (2) Kami berkata : iman dapat bertambah dan berkurang; sedangkan mereka berkata : iman itu tidak bisa bertambah dan berkurang. (3) Kami berkata : (Dapat terjadi) kemunafikan; sedangkan mereka berkata : tidak ada kemunafikan” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Shifatun-Nifaaq wa Dzammul-Munaafiqiin, no. 99; hasan].
Dan yang lainnya.
Jadi perbedaannya adalah jelas, karena mereka (Murji’ah) tidak memasukkan amal dalam iman serta tidak mengakui bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Adapun jumhur ulama yang tidak memasukkannya dalam ashlul-iimaan, maka mereka tetap memasukkan amal sebagai bagian dari iman dan memasukkannya dalam maraatib kedua, yaitu al-iimaanul-waajib. Tetap mengakui bahwa iman itu bisa bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Orang yang telah mengatakan hal ini, tidak bisa disebut memiliki pemahaman Murji’ah[34].
Telah berkata Al-Imam Al-Barbahaariy rahimahullah :
ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.
“Barangsiapa yang mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161].
Pendek kata, tidak dimasukkannya amal dhaahir atau amal jawaarih dalam ashlul-iimaan tidak berkonsekuensi mengeluarkan amal dari iman. Lebih-lebih mengkonsekuensikan berpemahaman irja’.
Tulisan ini saya tutup dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
وقيل‏:‏ بل الأعمال في الأصل ليست من الإيمان، فإن أصل الإيمان هو ما في القلب، ولكن هي لازمة له، فمن لم يفعلها كان إيمانه منتفياً؛ لأن انتفاء اللازم يقتضي انتفاء الملزوم لكن صارت بعرف الشارع داخلة في اسم الإيمان إذا أطلق، كما تقدم في كلام النبي صلى الله عليه وسلم، فإذا عطفت عليه ذكرت، لئلا يظن الظان أن مجرد إيمانه بدون الأعمال الصالحة اللازمة للإيمان يوجب الوعد، فكان ذكرها تخصيصاً وتنصيصاً ليعلم أن الثواب الموعود به في الآخرة وهو الجنة بلا عذاب لا يكون إلا لمن آمن وعمل صالحاً، لا يكون لمن ادعى الإيمان ولم يعمل، وقد بين سبحانه في غير موضع أن الصادق في قوله‏:‏ آمنت، لابد أن يقوم بالواجب، وحصر الإيمان في هؤلاء يدل على انتفائه عمن سواهم‏.‏.......
ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون شيء من الأعمال؛ ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع المسبب ولا يجعلونها لازمة له‏.‏ والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة، ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“Dan dikatakan juga : Bahkan, amal-amal pada asalnya tidak termasuk iman, karena pokok iman (ashlul-iman) adalah di dalam hati. Akan tetapi kemudian amal-amal tersebut menjadi satu keharusan bagi iman. Barangsiapa yang tidak melakukannya (amal), maka imannya dinafikkan (dianggap tidak ada), karena ketiadaan yang mengharuskan merupakan ketiadaan yang diharuskan (malzuum). Bahkan menurut redaksi Syaari’ (yaitu Allah ta’ala), yang masuk dalam nama iman adalah bila dimutlakkan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[35] Apabila amal-amal disandarkan kepada iman, maka maksudnya adalah agar tidak ada yang beranggapan bahwasannya hanya dengan keberadaan imannya saja tanpa amal shaalih yang merupakan konsekuensi dari iman, sudah cukup untuk mendapatkan janji (surga). Penyebutan amal-amal shaalih itu merupakan pengkhususan terhadap nash-nash-nash yang telah ada, agar diketahui bahwa pahala yang dijanjikan di surga tanpa adzab, tidaklah dapat diraih kecuali mereka yang beriman dan beramal shaalih. Hal itu tidak akan terjadi bagi orang yang beriman tanpa mengerjakan amal. Allah subhaanahu wa ta’aala telah telah menjelaskan dalam beberapa tempat, bahwa orang yang benar dalam perkataannya :‘aku telah beriman’ ; harus melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pembatasan iman pada diri mereka menunjukkan penafikkan selain mereka..........
(Termasuk kekeliruan mereka, yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di dalam hati akan menjadi sempurna tanpa adanya amal sedikitpun. Karena itu mereka menjadikan amal-amal sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat. Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman. Padahal, iman yang sempurna di dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah pasti itu. Tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa adanya amal dhaahir….. [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].
Saya banyak mengambil faedah dari kitab : Burhaanul-Bayaan bi-Tahqiiqi Annal-‘Amal minal Iimaan oleh Abu Shuhaib Al-Minsyaawiy & Abu Haani’ Asy-Syatharaat; Tabara-atu Al-Imaam Al-Muhaddits oleh Ibraahiim Ar-Ruhailiy, dan Syarh Alfaadhas-Salaf wa Naqdu Alfaadhil-Khalaf fii Masaailil-Iimaan oleh Ahmad Az-Zahraaniy. Dan ditambah dari sumber yang lain.


[1]      Perlu dibedakan antara istilah muthlaqul-iimaan (مطلق الإيمان) dan al-iimaanul-muthlaq (الإيمان المطلق). Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa al-iimaanul-muthlaq meliputi semua perbuatan yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, dan meninggalkan semua perkara yang diharamkan [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/446]. Hal yang mirip dikatakan oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah dalam Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah hal. 490.
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata :
فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ، ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله
“Adapun al-iimaanul-muthlaq (iman mutlak), masuk padanya seluruh perkara agama, baik yang dhaahir maupun baathin, yang ushul (pokok) maupun yang furuu’ (cabang). Dan masuk pula padanya keyakinan-keyakinan yang wajib diyakini dari setiap yang terkandung dari kitab ini. Dan masuk pula amal-amal hati, seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 90].
Faedah Penting !!
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah berkata :
والفرق بين الشيء المطلق ومطلق الشيء: أن الشيء المطلق يعني الكمال، ومطلق الشيء؛ يعني : أصل الشيء
فالمؤمن الفاعل للكبيرة عنده مطلق الإيمان؛ فأصل الإيمان موجود عنده، لكن كماله مفقود
“Dan perbedaan antara sesuatu yang mutlak (asy-syai’ul-muthlaq) dengan kemutlakan sesuatu (muthlaqusy-syai’) : Bahwasannya sesuatu yang mutlak yaitu kesempurnaan (sesuatu). Dan kemutlakan sesuatu yaitu pokok dari sesuatu (ashlusy-syai’). Maka, seorang mukmin yang melakukan dosa besar, padanya terdapat muthlaqul-iimaan. Pokok iman (ashlul-iimaan) ada padanya, akan tetapi kesempurnaannya menjadi hilang (tidak ada)” [Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waashithiyyah, 2/237-238].
[2]      Dalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah (1/332-333) disebutkan :
هو وصف المسلم الذي معه أصل الإيمان والذي لا يتم إسلامه إلا به، بل لا يصح إلا به، فهذا أدنى مراتب الدين
“(Muthlaqul-iimaan) adalah pensifatan seorang muslim yang bersamanya ada pokok iman (ashlul-iimaan), dimana tidak sempurna keislamannya kecuali dengannya, bahkan tidak shahih/benar kecuali dengannya. Ini adalah tingkatan agama yang paling rendah” [selesai].
[3]      Sebagian muhaqqiq menisbatkan perkataan ini kepada muridnya, yaitu Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah. Wallaahu a’lam.
[4]      Yaitu : kafir.
[5]      Shadaqah bin Al-Fadhl, Abul-Fadhl Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 223 H/226 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 452 no. 2934].
[6]      Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadlis taswiyyah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 119 H, dan wafat tahun 194 H/195 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1041 no. 7506].
[7]      ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqah, jaliil, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 593 no. 3992].
[8]      ‘Umair bin Haani’ Al-‘Ansiy, Abul-Waliid Ad-Dimasyqiy Ad-Daaraaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 127 H atau sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 754 no. 5224].
[9]      Junaadah bin Abi Umayyah Kabiir Al-Azdiy Az-Zahraaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-1, diperselisihkan ulama tentang status kebershahabatannya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 203 no. 980].
[10]     Perhatikan point penting ini !. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ashlul-iimaan tidak lah menerima pengurangan. Dan di sini, Al-Imaam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa berkurangnya iman adalah dengan meninggalkan amal. Dan beliau mencontohkan amal-amal tersebut adalah shalat, haji, dan berbagai kewajiban yang lainnya.
[11]     Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa orang yang dikeluarkan dari neraka tanpa beramal kebaikan sedikit pun kecuali tauhid, adalah orang-orang di akhir jaman yang diberikan ‘udzur karena ketidaktahuan mereka akan syari’at shalat, zakat, puasa, dan yang lainnya.
Perkataan-perkataan di atas adalah perkataan musykil dipahami. Bagaimana bisa seseorang yang tidak tahu akan syari’at, bersamaan ketauhidan melekat dalam hatinya, menduduki tingkat terjelek dengan dikeluarkan paling akhir dari neraka ?. Bukankah hukum asal orang yang diberi ‘udzur semacam itu adalah dimaafkan ?.
[12]     Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,  At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak memudlaratkannya.
[13]     Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy, Abun-Nadlr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 170 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 196 no. 919 dan Tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911].
[14]     ‘Iisaa bin ‘Aashim Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 768 no. 5337].
[15]     ‘Adiy bin ‘Adiy bin ‘Amiirah Al-Kindiy, Abul-Farwah Al-Jazriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 120 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 672 no. 4575].
[16]     Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
و الفرق بين هذا و بين قول السلف الصالح أنَّ السلف لم يجعلوا كل الأعمال شرطاً في الصحة، بل جعلوا كثيراً منها شرطاً في الكمال، كما قال عمر بن عبد العزيز فيها: من استمكلها استكمل الإيمان، و من لم يستمكلها لم يستكمل الإيمان. و المعتزلة جعلوها كلها شرطاً في الصحة و الله أعلم
“Dan perbedaan antara perkatan ini dengan perkataan as-salafush-shaalih bahwasannya salaf tidak menjadikan semua amal sebagai syarat keshahihan (iman). Bahkan mereka menjadikan kebanyakan amal sebagai syarat kesempurnaan (iman), sebagaimana dikatakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz padanya : ‘Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka imannya sempurna. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka imannya tidak sempurna’. Adapun Mu’tazilah telah menjadikan seluruh amal sebagai syarat keshahihan iman. Wallaahu a’lam” [Ma’aarijul-Qabuul, hal. 446].
[17]     Dan banyak orang yang membahas tingkatan-tingkatan iman – termasuk bahasan ashlul-iimaan – yang menghukumi orang yang tidak memasukkan amal jawaarih dalam ashlul-iimaan sebagai Murji’ !!. Rekan-rekan dapat membacanya di berbagai artikel di internet berbahasa Indonesia sebagaimana yang saya maksudkan.
[18]     Namun ada juga sebagian ulama yang menjelaskan bahwa perbedaan jumhur Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah Fuqahaa dari Abu Haniifah dan ulama madzhabnya adalah perbedaan secara lafdhiy, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/181, 218, 297], Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah], Anwar Al-Kasymiiriy [Faidlul-Baariy Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 1/53-54], Al-Albaaniy [Muqaddimah Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 58], dan yang lainnya.
Ada juga ulama lain yang memerincinya, bahwa khilaf antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah Fuqahaa’ itu ada yang lafdhiy dan haqiqiy, seperti Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Masyhuur Hasan Salmaan, dan yang lainnya.
[19]     Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia adalah Abul-‘Abbaas As-Sarraaj; seorang yang haafidh, tsiqah, lagi mutqin. Lahir tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun [lihat : Zawaaid Rijaal Shahiih Ibni Hibbaan oleh Yahyaa bin ‘Abdillah Asy-Syahriy, hal. 1117-1124 no. 520, desertasi Univ. Ummul-Qurra’].
[20]     Muhammad bin Sahl bin ‘Askar At-Tamiimiy, Abu Bakr Al-Bukhaariy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 251 H. Dipakai oleh Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 851 no. 5974].
[21]     Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 126, dan wafat tahun 211 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092].
[22]     Maalik bin Anas bin Maalik bin Abi ‘Aamir bin ‘Amru Al-Ashbahiy Al-Humairiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-Faqiih; imam Daarul-Hijrah, tsiqah, yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 913 no. 6465].
[23]     Telah lewat penyebutan keterangan tentangnya.
[24]     ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].
[25]     Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[26]     Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[27]     ‘Abbaas bin Muhammad bin Haatim bin Waaqid Ad-Duuriy, Abul-Fadl Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 185 H, dan wafat tahun 271 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 488 no. 3206].
[28]     Yahyaa bin Ma’iin bin ‘Aun/Ghiyaats bin Ziyaad Al-Murriy Al-Ghathafaaniy, Abu Zakariyyaa Al-Baghdaadiy; seorang yang haafidh, tsiqah, masyhuur, dan imam dalam bidang al-jarh wat-ta’diil. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 158 H, dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1067 no. 7701].
[29]     ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].
[30]     ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 692 no. 4740].
[31]     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[32]     Muhammad bin Al-Mutawakkil bin ‘Abdirrahmaan bin Hassaan Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-‘Asqalaaniy – terkenal dengan nama Ibnu Abis-Sariy; seorang yang shaduuq, ‘aarif, namun banyak mempunyai keraguan. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 238 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 892 no. 6303].
[33]     Zaid bin Abiz-Zarqaa’ Yaziid At-Tsa’labiy Al-Maushiliy, Abu Muhammad; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Abu Daawud dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 353 no. 2150].
[34]     Sebagaimana tuduhan orang-orang belakangan yang mengklaim paling paham tentang Murji’ah, namun kenyataannya tidak memahaminya.
[35]     Misalnya hadits :
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ لَا وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوا وَمَنْ ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قِيلَ وَمَا بَوَائِقُهُ قَالَ شَرُّهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak – demi Allah – tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak beriman, tidak – demi Allah – tidak beriman”. Para shahabat bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Orang yang tetangganya tidak merasa aman terhadap gangguannya”. Dikatakan : “Apa maksud gangguannya itu ?”. Beliau menjawab : “Kejelekannya”  [Diriwayatkan oleh Ahmad].
Di sini beliau memutlakkan nama iman kepada perbuatan tidak mengganggu kepada tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar