Rabu, 22 Maret 2017

Bersabar dalam bersahabat



Bersahabat itu seperti kita mengayuh sampan di sebuah sungai, lihat..., tidak semua permukaan sungai landai tanpa bebatuan...                       
Ada yang dalam, ada yang dangkal, ada batu batu terjal, ada permukaan berpasir bahkan ada endapan Lumpur yang dapat menjerembabkan kita...
                     
Bersahabat harus sabar dengan watak dan perangai sahabatnya...
Karena sahabat adalah cerminan dari diri kita...

Kebaikan agama kita sangat bergantung dengan Siapa kita bersahabat...
                      
Maklumilah sahabatmu, jangan kau tinggalkan, ia pun sebagaimana engkau, akan sedih jika di tinggalkan...                     
Bantulah sahabatmu, tuk kembali meneguhkan hatinya...
                       
Jangan kau hakimi,
Jangan kau Stample li,
Jangan kau labeli dengan hal hal yang tak mengenakan...                       
Karena ia juga ingin ISTIQOMAH sebagaimana engkau...

Ia juga ingin komitmen seperti halnya kalian berkomitment...
Udzurlah, maafkanlah sahabatmu ini...

Aku memang memimpikan seorang sahabat sejati, tetapi
diri ini tidak cukup sejati dalam bersahabat…

Memang kadangkala Allah titipkan ujian dalam persahabatan ini...
Untuk menguji agar kita kenal betapa manisnya dalam berukuwah ini,

Ketahuilah sesungguhnya hanya takdir Allah yang mempertemukan kita dan takdir Allah jualah yang mampu memisahkan kita...

Al fakier ilallah
αβie




Selasa, 21 Maret 2017

BELAJAR BANYAK DARI SOSOK JULAIBIB





Al Kisah,
Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil dan pendek. Nama Julaibib adalah nama yang tidak biasa dan tidak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Bukan pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibunya. Demikian pula orang-orang, semua tidak tahu, atau tidak mau tahu tentang nasab Julaibib. Bagi masyarakat Yatsrib, tidak bernasab dan tidak bersuku adalah cacat sosial yang sangat besar.

Julaibib yang tersisih

Tampilan fisik dan kesehariannya juga menjadi alasan sulitnya orang lain ingin berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan tak menarik, pendek, bungkuk, hitam, dan fakir. Kainnya usang, pakaiannya lusuh, kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan.

Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tidak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam Shollallahu ‘alaihi wasallam sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam,

“Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil,
“Tidakkah engkau menikah?”

“Siapakah orangnya Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, kata Julaibib, “yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam juga tersenyum.

Mungkin memang tidak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menanyakan hal yang sama.

“Julaibib, tidakkah engkau menikah?”.

Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.

“Aku ingin menikahkan putri kalian.”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pada si empunya rumah, “

“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya.

“Ooh.. Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”

“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis

“Ya. Untuk Julaibib.”

“Ya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”

“Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tidak bernasab, tidak berkabilah, tidak berpangkat, dan tidak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun,

“Siapa yang meminta?”
Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab : 36)

Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Masyaa Allah Doa yang sangat indah…
Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu . Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.

Pelajaran dari Kisah Julaibib

Kita belajar dari Julaibib untuk tidak meratapi diri sendiri, untuk tidak menyalahkan takdir, untuk selalu pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tidak mudah menjadi Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas.

Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia tidak akan membebani kita melebihi yang kita sanggup memikulnya.

Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertakwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Maka sekali lagi, Urusan kita adalah taat kepada Allah.

Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tidak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang istri shalehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tidak terlalu bersahabat padanya.

Julaibib pun syahid pada sebuah peperangan, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tidak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.

“Tidak Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam!”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tidak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menghela nafasnya.

“Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para sahabat tersadar,

“Carilah Julaibib!”

Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di sekitarnya tergolek tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam menshalatkannya secara pribadi.

Dan Nabi shalallahu alaihi wassalam berdoa, “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tidak selalu terungkap di awal pagi.

Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang ini, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menysutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan.

Dan semua akan berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikanNya.

Apalah artinya rupa yang elok nan cantik dan kedudukan yang tinggi, jika taat tak menjadi perhiasan hidupnya, Apalah yang dibanggakan dengan harta kekayaan yang melimpah namun hati kering tanpa hidayah.

Semoga kita bisa memetik pelajaran dari kisah sahabat mulia Julaibib Radhiallahuanhu…

@Tebet di guyur hujan
21032017
Abie sabiella