Minggu, 04 Maret 2012

Kisah seorang Istri Teladan...



oleh: Nisa

Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai Ashar, seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk di sampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu.
"Anti sudah menikah?"
"Belum, Mbak," jawabku.
Kemudian akhwat itu .bertanya lagi, "Kenapa?".
Hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.

"Mbak menunggu siapa?" aku mencoba bertanya.
"Nunggu suami," jawabnya. Aku melihat ke samping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana Mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya, "Mbak kerja dimana?". Entahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

"Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi," jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab, "Karena inilah satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami" jawabnya tegas. Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

"Ukhti, boleh saya cerita sedikit? Saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat."

"Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta per bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka kepadanya."

"Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali, Ukhti. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, 'Abi, Umi pusing nih. Ambil sendirilah'."

"Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat Isya. Pada pukul 23.30 WIB saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya lihat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang mencucinya kalau bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. "Astagfirullah, kenapa Abi mengerjakan semua ini? Bukankah Abi juga pusing tadi malam?" hati saya membatin."

"Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap Abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya Abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, panas sekali pipinya, keningnya. Masya Allah, suami saya demam tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya."

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg diusapnya.

"Anti tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan, 1/100 dari gaji saya. Malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah kepada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu kepada saya. Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata, "Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah, diambil ya! Buat keperluan kita. Tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho," begitu katanya."

"Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya," lanjutnya. "Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja. Mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami," lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

"Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orangtua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain." ujarnya. Aku masih terdiam, membisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

"Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini. Ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun dia takmau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu". ujarnya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.

“Anti tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan karena apa yang dikatakan adik saya itu benar. Saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud di malam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga, Ukhti, dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya," ceritanya.

"Semoga jika Anti mendapatkan suami seperti saya, Anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami Anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya, Ukhti, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram," ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis kepadaku.

Mengambil tas laptopnya, ia bergegas ingin meninggalkanku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor tak terlalu bagus mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm. Sambil mengucapkan salam, mereka meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.

sumber : rumahzakat.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar