Tanya:
Assalamu’alaikum,
Terima kasih Ustadz atas jawaban pertanyaan yang lalu. Sekarang mau tanya lagi:
Apa pengertian Sholat Hajat? Dan bagaimana tata cara melaksanakannya (niat, bacaan, dan doanya)? Wassalamu’alaikum
(Bu Elly, Pontianak)
Jawab:
Wa’alaikumsalam.
Sholat hajat adalah sholat yang dilakukan ketika ada hajat (keperluan). Namun perlu diketahui, bahwasanya tidak dalil yang shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya sholat hajat. Oleh karena itu kita tidak boleh mengamalkannya karena ibadah adalah tauqifiyyah (terima jadi).
Lembaga Tetap untuk Riset dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa hadist-hadist yang berkaitan dengan shalat hajat dha’if (lemah) dan munkar (Fatawa Al-Lajanah Ad-Daimah 8/160).
Diantara hadist-hadist tersebut adalah hadist Abdullah bin Abi Aufa bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين ثم ليثن على الله وليصل على النبي صلى الله عليه و سلم ثم ليقل لاإله إلا الله الحليم الكريم سبحان الله رب العرش العظيم الحمد لله رب العالمين أسئلك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والغنيمة من كل بر والسلامة من كل إثم لا تدع لي ذنبا إلى غفرته ولا هما إلا فرجته ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين
“Barangsiapa yang memiliki keperluan kepada Allah atau kepada seseorang dari anak Adam maka hendaknya dia berwudhu dan memperbaiki wudhunya, kemudian hendaknya dia shalat 2 rakaat kemudian memuji Allah, dan bershalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian membaca:
لاإله إلا الله الحليم الكريم سبحان الله رب العرش العظيم الحمد لله رب العالمين أسئلك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والغنيمة من كل بر والسلامة من كل إثم لا تدع لي ذنبا إلى غفرته ولا هما إلا فرجته ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين
“Tidak sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Al-Halim Al-Karim, Maha Suci Allah Pemilik Arsy yang besar, segala puji bagi Allah, rabb semesta alam, aku memohon kepadaMu apa-apa yang mendatangkan rahmatMu, dan ampunanMu, dan aku memohon kepadaMu untuk mendapatkan setiap kebaikan dan keselamatan dari setiap dosa, janganlah Engkau tinggalkan bagi ku dosa kecuali telah Engkau ampuni, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku rasa gelisah kecuali Engkau beri jalan keluar, dan jangan Engkau tinggalkan bagiku keperluanku yang engkau ridhai kecuali Engkau tunaikan untukku, wahai Yang Maha Penyayang.” (HR. At-tirmidzy 2/344, dan Ibnu Majah 1/44, berkata Syeikh Al-Albany: Dhaif jiddan (lemah sekali)).
Syeikh Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwasanya shalat hajat ini tidak disyari’atkan (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad Al-Utsaimin 14/323 no: 894).
Oleh karena seorang muslim hendaknya mengamalkan amalan yang ada dalilnya dan meninggalkan amalan-amalan yang tidak ada dalilnya. Ahamdulillah disana ada cara yang lebih baik bagi kita untuk memenuhi hajat kita, yaitu dengan cara berdoa kepada Allah, terutama di waktu dan keadaan yang mustajab.
Berkata Asy-Syuqairy rahimahullah:
وأنت قد علمت ما في هذا الحديث من المقال ، فالأفضل لك والأخلص والأسلم أن تدعو الله تعالى في جوف الليل وبين الأذان والإقامة وفي أدبار الصلوات قبل التسليم ، وفي أيام الجمعات ، فإن فيها ساعة إجابة ، وعند الفطر من الصوم ، وقد قال ربكم ( أدعوني أستجب لكم ) وقال : ( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان ) وقال : ( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )
“Dan anda sudah tahu bahwa hadist ini (tentang shalat hajat) ada pembicaraan (tentang kelemahannya), maka yang afdhal, lebih ikhlash, dan lebih selamat engkau berdoa kepada Allah di tengah malam, dan antara adzan dan iqamat, di akhir shalat sebelum salam, pada hari jumat karena di dalamnya ada waktu ijabah (dikabulkan doa), dan ketika berbuka puasa, Allah telah berfirman:
( أدعوني أستجب لكم )
“Berdoalah kepadaKu maka akan kabulkan.”
Dan Allah juga berfirman:
( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان )
“Dan jika hambaKu bertanya tentang diriKu maka katakanlah bahwasanya Aku dekat, Aku akan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaKu.”
Allah juga berfirman:
( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )
“Dan bagi Allahlah nama-nama yang baik, maka berdoalah denganNya” (As-Sunan wal Mubtada’at hal: 124).
Wallahu a’lam.
Ustadz Abdullah Roy, Lc.
Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com
__________________________________________________________________
SISI LAIN tentang SHALAT HAJAT
Shalat hajat, dalam hal ini perlu didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud hajat. Dari sini, kita akan mengetahui apakah shalat tersebut disyariatkan atau tidak.
Hal itu karena saya dapati sebagian ulama menetapkan adanya shalat hajat, sedangkan yang lain meniadakannya bahkan menganggapnya bid’ah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang menetapkan atau yang membid’ahkan, maksud masing-masing mereka terhadap shalat tersebut berbeda.
Penamaan shalat hajat itu sendiri bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi dari para ulama. Sebagian mereka melihat sebuah hadits shahih yang memuat anjuran untuk melakukan shalat terkait dengan suatu kebutuhan atau hajat. Adapun ulama lain melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan sebuah hajat, mereka pun menyimpulkan shalat hajat tidak ada karena haditsnya lemah. Oleh karena itu, di sini kami akan menyebutkan kedua-duanya.
Ulama yang menetapkan adanya shalat hajat di antaranya al-Mundziri dalam kitab beliau at-Targhib wat Tarhib. Lalu beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
Seorang buta datang kepada Nabi lalu mengatakan, “Berdoalah engkau kepada Allah untukku agar menyembuhkanku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Apabila kamu mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik. Namun, apabila engkau mau, aku akan mendoakanmu.” Orang itu pun mengatakan, “Doakanlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan memperbagus wudhunya serta shalat dua rakaat kemudian berdoa dengan doa ini, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabiyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku’.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam kitab ad-Da’awat dan beliau mengatakan hadits hasan shahih gharib, Ibnu Majah dalam kitab ash-Shalah, dan beliau memberikan judul Shalat Hajat untuk hadits ini, serta an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Sebagian ulama lagi menetapkan adanya shalat hajat, tetapi maksudnya adalah shalat istikharah. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Hadits shalat istikharah, disebut juga shalat hajat, karena istikharah adalah dalam hal kebutuhan yang sedang dialami seseorang, sehingga disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan shalat dua rakaat dan memanjatkan doa istikharah dalam hal itu.”
Beliau rahimahullah juga menyebut shalat taubat dengan shalat hajat. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165)
Adapun ulama yang meniadakan shalat hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam hadits dhaif berikut ini. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mempunyai kebutuhan kepad Allah atau kepada seseoqang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlag dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengucapkan (doa di atas), ‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji milik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR. At-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya)
Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini gharib [1]. Dalam sanadnya ada pembicaraan, dan Faid bin Abdurrahman dilemahkan dalam hadits.”
Para ulama pun mencela perawi tersebut (Faid bin Abdurrahman).
Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Mungkarul hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Al-Imam Ahmad mengatakan, “Matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu (Para ulama meninggalkannya).”
Adapun Ibnu Hajar mengatakan, “Matrukun ittahamuhu (Dia ditinggalkan haditsnya, para ulama menuduhnya sebagai pendusta).”
Atas dasar itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaifun jiddan (lemah sekali).
Dari kelemahan hadits itulah sebagian ulama meniadakan shalat hajat, yakni yang dilakukan dengan cara semacam itu. Wallahu a’lam.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Adapun yang disebut shalat hajat, telah datang hadits yang dhaif dan mungkar -sebatas pengetahuan kami-, tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits tersebut.” (Ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161)
Demikian pula asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Shalat hajat tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam segera menuju shalat, karena Allah berfirman:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun 'ala ad-Darb]
Demikian juga hadits:
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau melakukan shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”)
Perhatian
Dalam buku-buku mazhab terdahulu juga dibahas shalat hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang shahih. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Dalam beberapa cetakan Sunan at-Tirmidzi disebutkan, “Hasan gharib”. Namun, Ahmad Syakir menyalahkan penyebutan ‘hasan’ tersebut, karena pada semua manuskrip lama tidak terdapat kata tersebut, kecuali hanya satu manuskrip.
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 73-76.
Hukum mengerjakan shalat hajat adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ: فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.
Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi) lantas dia menjadi sembuh.”
Takhrij hadits:
Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini shahih, dalam buku beliau At-Tawassul, hlm. 75–76.
Fikih Hadits:
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan tentang shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 157, dan Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan pendapat Syekh Salim Al-Hilali dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika (beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i, seperti: untuk belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
_________________________________________________________________
HUKUM MENGERJAKAN SHALAT HAJAT
Hukum mengerjakan shalat hajat adalah sunnah, berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ: فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.
Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi) lantas dia menjadi sembuh.”
Takhrij hadits:
Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi. Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini shahih, dalam buku beliau At-Tawassul, hlm. 75–76.
Fikih Hadits:
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan tentang shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 157, dan Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan pendapat Syekh Salim Al-Hilali dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika (beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i, seperti: untuk belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Dikutip dari: Majalah Al-Furqon, Edisi 11, Tahun II, 1424 H.
Dengan pengeditan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar