Oleh: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz
Tanya:
Apabila waktu shalat telah masuk dan seseorang masih di kediamannya, kemudian dia safar sebelum mengerjakan shalat, maka apakah diperbolehkan baginya untuk qashar dan menjama’? Demikian pula seseorang yang shalat Dhuhur dan Ashar -misalnya- dengan diqashar dan dijama’, kemudian sampai di daerahnya pada waktu Ashar, apakah perbuatan dia itu benar? Padahal dia tahu -pada waktu qashar dan jama’- bahwa dia akan sampai di daerahnya pada waktu kedua?
Apabila waktu shalat telah masuk dan seseorang masih di kediamannya, kemudian dia safar sebelum mengerjakan shalat, maka apakah diperbolehkan baginya untuk qashar dan menjama’? Demikian pula seseorang yang shalat Dhuhur dan Ashar -misalnya- dengan diqashar dan dijama’, kemudian sampai di daerahnya pada waktu Ashar, apakah perbuatan dia itu benar? Padahal dia tahu -pada waktu qashar dan jama’- bahwa dia akan sampai di daerahnya pada waktu kedua?
Jawab:
Apabila waktu shalat telah masuk dan orang yang akan safar masih di
di daerahnya, kemudian pergi sebelum mengerjakan shalat tersebut, maka
diperbolehkan baginya untuk mengqashar jika dia meninggalkan negeri yang
dihuni menurut pendapat yang paling shahih di antara ucapan para ulama
dan ini juga merupakan pendapat jumhur.
Namun jika dia menjama’ dan mengqashar pada suatu perjalanan kemudian
kembali ke daerahnya sebelum masuk waktu kedua atau di waktu yang
kedua, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengulanginya, sebab dia
telah melakukan shalat dengan cara yang sesuai dengan syariat. Namun,
apabila dia melaksanakannya lagi bersama kaum muslimin, maka hal itu
merupakan amalan sunnah baginya. Semoga Allah memberikan taufik.
Tanya:
Apa pendapat yang mulia tentang safar yang
diperbolehkan untuk mengqashar shalat, apakah ada batasan jarak
tertentu? Dan apa pendapat anda tentang orang yang berniat untuk menetap
dalam safarnya lebih dari empat hari, apakah ada keringanan baginya
untuk tetap mengqashar shalat?
Jawab:
Mayoritas ulama berpandangan bahwa hal itu terbatas dengan jarak satu
hari satu malam perjalanan dengan onta atau perjalanan yang wajar
antara 80 kilometer. Karena jarak perjalanan ini dianggap sebagai safar
secara makna, berbeda dengan yang di bawah batasan.
Jumhur juga berpandangan bahwa orang yang bertekad untuk menetap di
suatu tempat lebih dari empat hari, maka wajib baginya untuk shalat
dengan sempurna dan berpuasa pada bulan Ramadhan, namun jika kurang dari
empat hari masih boleh bagi dia untuk menjamak dan mengqashar dan
berbuka puasa pada bulan Ramadhan, karena hukum asal bagi orang yang
mukim adalah menyempurnakan. Hanya saja disyariatkannya qashar bagi dia
jika tengah dalam perjalanan. Telah tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Bahwa beliau tinggal ketika haji Wada’ selama empat hari
mengqashar shalatnya kemudian berjalan menuju Mina dan Arafah.” Itu
menunjukkan bahwasanya diperbolehkan bagi orang yang berniat singgah
dalam safarnya selama empat hari atau kurang untuk mengqashar shalatnya.
Adapun singgahnya beliau selama sembilan belas hari pada penaklukan
kota Mekkah dan dua puluh hari pada perang Tabuk dimungkinkan bahwa pada
saat itu beliau tidak berniat untuk menetap hanya saja singgah tanpa
tahu kapan akan kembali berjalan.
Demikianlah para ulama memahami singgahnya beliau di Mekkah ketika
penaklukannya dan di Tabuk pada saat terjadi perang Tabuk, dalam rangka
menjaga agama dan beramal dengan hukum asalnya, yaitu wajibnya
melaksanakan shalat empat rakaat bagi orang yang mukim pada shalat
Dhuhur, Ashar dan Isya’. Adapun orang yang tidak meniatkannya menetap di
suatu tempat bahkan dia tidak tahu kapan akan berjalan lagi, maka boleh
baginya untuk mengqashar, menjama’ dan berbuka puasa di bulan Ramadhan
sampai dia membulatkan tekad untuk menetap lebih dari empat hari atau
kembali pulang ke negerinya. Semoga Allah memberikan taufik.
Tanya:
Jika kita tengah bersafar dan melewati suatu
masjid pada waktu Dhuhur, misalnya, apakah disunnahkan bagi kami untuk
shalat Dhuhur bersama jamaah kaum muslimin kemudian kami shalat Ashar
dengan qashar ataukah dengan sendirian? Dan apakah jika kami shalat
bersama jamaah tersebut dan kami ingin shalat Ashar harus segera berdiri
setelah salam agar bisa berturut-turut ataukah kami berdzikir kepada
Allah, bertasbih dan bertahlil dahulu baru kemudian kami mengerjakan
shalat Ashar?
Jawab:
Yang lebih utama bagi kalian adalah kalian shalat sendiri dan
mengqashar, karena yang sunnah bagi kalian adalah mengqashar shalat yang
empat dan jika kalian shalat bersama orang-orang yang mukim, wajib bagi
kalian untuk menyempurnakan sebagaimana telah sebagaimana telah shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika kalian ingin menjama’
maka yang dituntunkan untuk kalian adalah bersegera untuk itu dalam
rangka mengamalkan sunnah seperti pada jawaban nomer 67, setelah membaca
istighfar 3 kali dan ucapan:
“Allahumma antas salam wa minkas salam tabarakta ya dzal jalali wal
ikram (Ya Allah Engkau adaLAH As-Salam dari-Mulah keselamatan, Maha
Agung Engkau Ya Allah Dzat yang Agung lagi mulia).”
Akan tetapi jika orang yang safar sendirian maka wajib bagi dia untuk
shalat bersama jamaah yang mukim dan menyempurnakan shalat, karena
melaksanakannya shalat secara berjamaah merupakan kewajiban dan
mengqashar shalat adalah sunnah, maka yang wajib adalah mendahulukan
yang wajib dari yang sunnah. Semoga Allah memberi taufik.
Tanya:
Apa hukum shalatnya orang yang mukim di
belakang orang musafir atau sebaliknya? Apakah bagi orang yang musafir
ketika itu dibolehkan mengqashar shalatnya baik dia sebagai imam atau
makmum?
Jawab:
Shalatnya musafir di belakang orang mukim atau shalatnya orang mukim
di belakang musafir tidak ada dosa atas keduanya. Akan tetapi apabila
yang menjadi makmum yang musafir maka wajib bagi dia untuk
menyempurnakan shalatnya sebagai bentuk mengikuti imam, sebagaimana yang tsabit dalam Musnad Imam Ahmad dan Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang bagaimana shalatnya seorang musafir di belakang imam yang mukim empat rakaat, maka beliau menjawab bahwa itu adalah sunnah.
menyempurnakan shalatnya sebagai bentuk mengikuti imam, sebagaimana yang tsabit dalam Musnad Imam Ahmad dan Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang bagaimana shalatnya seorang musafir di belakang imam yang mukim empat rakaat, maka beliau menjawab bahwa itu adalah sunnah.
Adapun jika orang yang mukim shalat di belakang musafir pada
shalat-shalat empat rakaat, maka dia (orang yang mukmin tadi)
menyempurnakan shalatnya setelah imamnya salam.
Tanya:
Mereka bersilang pendapat tentang mana yang lebih utama antara mengerjakan shalat sunnah rawatib dengan qashar dalam safar, maka ada yang mengatakan, disunnahkan mengerjakan rawatib dengan qashar, dan yang lain mengatakan tidak disunnahkan karena yang wajib saja diqashar, maka bagaimana pendapat anda dalam hal ini? Demikian pula shalat-shalat sunnah lainnya seperti shalat malam.
Mereka bersilang pendapat tentang mana yang lebih utama antara mengerjakan shalat sunnah rawatib dengan qashar dalam safar, maka ada yang mengatakan, disunnahkan mengerjakan rawatib dengan qashar, dan yang lain mengatakan tidak disunnahkan karena yang wajib saja diqashar, maka bagaimana pendapat anda dalam hal ini? Demikian pula shalat-shalat sunnah lainnya seperti shalat malam.
Jawab:
Yang sunnah bagi musafir adalah meninggalkan shalat sunnah rawatib
pada shalat Dhuhur, Maghrib dan Isya’ dan tetap mengerjakan shalat
sunnah Fajar, dalam rangka mengikut contoh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hal ini, demikian pula disyariatkan untuk melaksanakan
shalat tahajjud di malam hari dan witir ketika safar, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu, demikian pula semua
shalat-shalat sunnah lainnya yang tidak ada sebabnya atau yang memiliki
sebab seperti sunnah shalat Dhuha, shalat sunnah setelah wudhu, shalat
gerhana, demikian juga disyariatkan bagi dia untu sujud tilawah dan
tahiyatul masjid jika masuk masjid untuk shalat atau tujuan lain, maka
dia shalat tahiyatul masjid.
Sumber:
Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam &
Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu
Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan
Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, Sukoharjo. Pertanyaan no.
63, 64, 68, 69 dan 71, hal. 434-436, 439-440 dan 442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar